Desember 2023 menjadi bulan penuh pembelajaran bagiku. Selama tiga hari, kami mahasiswa Ilmu Keperawatan ditugaskan mengobservasi pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Dadi. Dalam singkatnya waktu itu, kami benar-benar tertampar akan situasi yang ada.
Kalian mungkin sudah cukup tahu dengan salah satu fasilitas kesehatan di Makassar ini. Bagaimana tidak, jika pusat rujukan pelayanan kesehatan jiwa Sulsel tersebut kerap kali menjadi bahan bercandaan di tongkrongan. Aku juga tak habis pikir. Padahal tidak tahu apa-apa, hebat juga kalian berlaku seperti itu.
Bermaksud menata pandangan kalian terkait kesehatan jiwa, maka izinkan aku berbagi sedikit kisah selama menempuh tugas mata kuliah Keperawatan Psikiatri semester lampau.
—
“SUSTER!”
Baru pertama masuk ruangan, sorakan pasien terdengar menggema. Saat itu, aku yang sama sekali tak pernah membayangkan suasana bangsal psikiatri, cukup dikejutkan dengan berbagai hal. Bangsal psikiatri benar-benar riuh. Di saat ruang rawat inap membatasi total enam pasien, puluhan pasien dengan latar belakang berbeda justru ditempatkan di ruangan yang sama di bangsal psikiatri.
Tidak hanya sampai di situ, kala mendekat ke kamar itu, aku kembali terkejut melihat kamar mandi tanpa pintu di dalam. Kalau mau dipikir, desain arsitektur ini akan membantu perawat untuk tetap mengawasi para pasien dalam melakukan kegiatannya sehari-hari, khususnya mereka dengan diagnosa risiko bunuh diri.
Di hari yang sama, kami bertujuh mulai berinteraksi dengan pasien. Masing-masing dari kami mewawancarai satu orang terkait bagaimana alasan mereka masuk RSKD Dadi, apa keluhan yang dirasakan, kiat mengatasi masalah tersebut, dan lain sebagainya.
Kala itu, aku berbincang dengan—sebut saja—Pak Roni. Dia bercerita, ini bukan kali pertamanya dirawat. Aku kurang jelas mendengar kisahnya. Suaranya begitu pelan, sedikit tersendat-sendat. Yang paling membekas, Pak Roni berkali-kali menagih rokok ataupun permen di awal, pertengahan, juga akhir percakapan kami.
Semestinya kelompokku pulang pukul 17.00 hari itu, namun karena terlalu penasaran, kami mengobservasi sedikit lebih lama, menunggu jam makan malam pasien tiba. Sebelum makan, mereka akan dipanggil satu per satu untuk minum obat terlebih dahulu. Tentu, semua pasien diperiksa kembali apa benar menelan obat atau justru menyembunyikannya. Setelah itu, barulah mereka disajikan makanan di atas food tray stainless.
Hari kedua, kelompok kami mendapat giliran jaga pagi. Kami ikut senam dipimpin kakak-kakak mahasiswa Profesi Ners kampus sebelah. Cukup menggemaskan berada di antara mereka. Hanya dari olahraga bersama itu, kami sudah bisa menerka siapa saja pasien dengan masalah isolasi sosial. Dari situ pun, kami bisa berinteraksi dengan lebih banyak pasien, sekaligus mulai menentukan pasien mana yang sebaiknya dimasukkan dalam laporan observasi.
Di hari terakhir, aku pribadi lebih memilih banyak berbincang dengan pasien-pasien. Mendengar kisah sekaligus mengamati bahasa tubuh mereka.
“Saya tidak gila, Sus. Saya mau pulang.”
Selama observasi di RSKD Dadi, tak terhitung sudah berapa kali aku mendengar kalimat itu keluar dari mulut pasien. Tak jarang pula mereka mendesak kami menanyakan jadwal kepulangan kepada dokter. Mereka sungguh tak pernah bermaksud masuk ruangan berjeruji dan menetap di sana.
“Kata dokter, saya sudah bisa pulang, tapi belum ada keluarga yang jemput. Makanya masih di sini,” ungkap seorang pasien.
Inilah salah satu hal mengenaskan yang dirasakan para pasien jiwa. Mereka berusaha dengan maksimal tuk pulih, justru dibuang begitu saja oleh keluarga sendiri. Mereka seakan dianggap aib bagi orang sekitar. Karena itu juga, tak sedikit pasien mengaku memilih menetap di bangsal daripada pergi tanpa tujuan pulang.
Dari banyak kisah yang kudengar di bangsal itu, aku dapat merasakan kerinduan para ayah, para suami, para saudara. Mereka menggebu-gebu kala mengulik kenangan bersama yang terkasih. Pantulan cahaya di sepasang mata tak berdaya itu sungguh jujur mengungkap keinginan berjumpa sanak keluarga.
Aku gentar. Tak mampu aku membayangkan, bagaimana jadinya bila ada di posisi mereka. Jauh dari keluarga, dikasihani orang-orang, dikelilingi sosok asing, sampai berpotensi dianiaya. Lalu yang paling menyakitkan, terus disebut sebagai orang gila meskipun telah sembuh, padahal gangguan itu juga tak pernah direncanakan.
Aku yakin. Kalian pun tak ingin diperlakukan begitu. Lantas, apakah kalian masih segan membawa kata “orang gila” dalam lawakan kalian setelah ini?
Nurul Fahmi Bandang
Mahasiswa Fakultas Keperawatan 2021
sekaligus Reporter PK identitas Unhas