“Tiga kalimat yang harus dihindari adalah tidak tahu, tidak bisa, dan tidak mau.”
Itulah prinsip hidup yang dipegang oleh sosok Wahyu Al Mardhani. Melalui ambisinya sejak dini, ia dikenal sebagai filmmaker dokumenter, videografer, dan desainer yang gigih merekam realitas, menjembatani budaya, dan menghargai setiap eksistensi.
Masa kecil Wahyu banyak dihabiskan di Klaten, Jawa Tengah, karena mengikuti lokasi tugas ayahnya sebagai polisi. Namun, titik balik hidupnya ketika sang ayah meninggal dunia, membuat ia memutuskan untuk pindah ke Palopo, kampung halaman ibunya.
Di sanalah semangat barunya tumbuh, tepatnya saat menempuh pendidikan di salah satu SMP favorit dengan program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Di sekolah itu, Wahyu terdorong untuk menguasai Bahasa Inggris, sebuah kemampuan yang kelak membuka banyak pintu dalam proyek-proyek internasionalnya.
Awalnya, Wahyu sempat memiliki cita-cita untuk mengikuti jejak ayahnya sebagai polisi. Namun, ia merasa kesempatan tersebut bukan menjadi prioritas karena postur tubuhnya yang kecil. Hal ini membuatnya menyadari pentingnya soft skill, hingga akhirnya bertemu dengan dunia desain dan visual.
Perjalanan Wahyu di ranah seni visual semakin terasah saat kuliah di Ilmu Komunikasi (Ilkom) Universitas Hasanuddin (Unhas) pada 2014. Ia sangat gemar menonton film dan memiliki koleksi pribadi mencapai sekitar 200 GB. Kecintaannya pada industri ni menarik perhatian senior-seniornya di Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (KOSMIK) Unhas, yang melihat potensi dalam dirinya.
Awalnya, ia tidak pernah menduga akan menyukai videografi. Namun perannya sebagai koordinator film di KOSMIK memaksanya untuk menekuni dunia tersebut. Wahyu sempat mencoba peruntungan di proyek-proyek wedding sebagai videografer, hanya saja dirinya merasa pekerjaan itu membosankan dan monoton, kurang memberikan ruang baginya untuk berkreasi. Hal ini mendorongnya untuk mencari pekerjaan lain.
Dari sanalah, Wahyu mulai menapaki dunia entertainment yang lebih profesional, yaitu membuat after movie. Puncaknya, ia menjadi satu-satunya videografer dari Makassar yang direkrut oleh Production House (PH) Jakarta, Chai Studio, yang dikenal sebagai pionir after movie di Indonesia.
Salah satu pencapaian penting dalam karier videografernya adalah keterlibatannya dalam dua momen penting di Australia. Pertama, residensinya pada 2020 menghasilkan instalasi visual dengan footage Toraja. Kedua, screening tour film dokumenternya River in the Middle of the Sky pada awal 2025 di Melbourne, Adelaide, dan Sydney. Karya ini menjadi proyek eksperimental yang belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia.
River in the Middle of the Sky (Salu Dao Tangngana Langi’) berkisah tentang seorang pria bernama Victor dan neneknya yang mulai kehilangan ingatan. Dokumenter ini menyentuh budaya Toraja dengan nilai kolektif hingga cara masyarakat merawat memori. Tetapi menurut Wahyu, ia tidak menyampaikannya secara ekspositori, melainkan lewat rekaman-rekaman Victor sendiri yang sangat personal dan reflektif.
“Ternyata membuat film dokumenter menurutku jauh lebih membumi daripada bikin film fiksi. Walaupun imajinasinya lebih tinggi, tapi bagi saya film dokumenter itu bentuk tanggung jawab kita sebagai manusia. Karena dokumenter memiliki isu dan mengadvokasi hal-hal yang penting, tapi jarang dibicarakan. Itulah cara saya menghargai hidup,” ujarnya, Rabu (11/06).
Melalui film River in the Middle of the Sky, pesan utama yang ingin Wahyu sampaikan adalah tentang waktu. Ia menyadari bahwa kita tidak bisa berada di dua tempat berbeda, ada pilihan antara pekerjaan dan keluarga. Film ini menunjukkan bagaimana dokumentasi membantu kita mengingat kembali ingatan yang bisa hilang seiring waktu.
Ada perbedaan pengalaman dalam penayangan karya di Indonesia dan Australia, ketika film empat layar dibawa ke Makassar untuk screening tertutup kepada para ahli. Di Melbourne, penonton bertepuk tangan karena melihat fenomena yang berbeda dengan budaya mereka.
Namun, di Indonesia, para ahli justru mencari hal berbeda yang menunjukkan perbedaan literasi visual antara audiens Indonesia dan barat. Hal ini dipengaruhi oleh kontekstual budaya, sosial, dan politik.
Bagi Wahyu, film adalah bentuk kesenian yang paling kompleks, yakni mampu memadukan berbagai seni. Film dokumenter adalah mirroring stage, yaitu berkaca pada hidup kita sendiri, namun juga mencoba membawakan dunia orang lain ke dalam film. Meskipun ada unsur politis dalam memilih apa yang ditampilkan, dokumenter meminimalkan hal-hal fiktif.
“Dokumenter adalah bentuk pengabdian untuk mengakui eksistensi orang lain dan kekayaan intelektual yang tidak dipelajari di kampus,” ungkapnya.
Dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, Wahyu ingin merilis film tentang Kedolo, dan membangun platform residensi kreatif bersama kolektifnya, Sipakat, yang menjembatani kreator Makassar dan Melbourne. Mimpinya sederhana: hidup tenang tanpa harus resah memikirkan permasalahan yang sepele.
Wahyu berpesan kepada anak muda Sulawesi Selatan untuk tidak sekadar bermimpi besar, tetapi juga bertindak nyata. Baginya, jejaring adalah kunci, dan investasi terbaik bukan hanya uang, tetapi juga waktu, sikap, dan keahlian. Ia percaya, hasil tidak akan mengkhianati proses.
Wahyu Alim Syah
