Tahun-tahun ketika pandemi berlangsung, ada kalanya saat menatap layar gawai, ketikan saya tertuju pada mesin pencarian dengan kata kunci ‘backpacker sendirian; solo trip; tips pejalan perempuan; dsb’. Berkat algoritma media sosial, muncul juga beberapa konten for your page (fyp) yang berseliweran membuat rasa penasaran ini terus bertambah untuk melakukan perjalanan panjang sendirian.
Bukan tanpa alasan rasa penasaran itu muncul, jiwa berkelana ini selalu meronta-ronta sewaktu mengingat padatnya aktivitas yang membelenggu tahun lalu.
Sebenarnya, ini bukan hal yang tabu lagi sejak Trinity mulai menerbitkan serial bukunya The Naked Traveler sepuluh tahun silam, yang ramai bahkan sampai difilmkan. Menceritakan pengalamannya setiap kali ia berwisata ke beberapa tempat, dikemas dengan bahasa yang ringan dan lucu.
Dan melakukan perjalanan sendirian ini juga sudah saya niatkan sedari lama dan tinggal menunggu momen untuk mewujudkannya. Tentunya bukan hal yang mudah awalnya, karena bepergian yang jauh pasti butuh biaya. Terkadang di beberapa kesempatan sudah memantapkan hati, tapi urung karena memilih biayanya disimpan untuk keperluan lain.
Akhirnya pada Januari 2023, saya memutuskan untuk mewujudkan perjalanan ini dengan berani, karena ada satu hal di Yogyakarta yang ingin sekali saya lakukan. Meminta izin adalah hal pertama yang saya lakukan, syukurnya walau dengan banyak pertanyaan, Ibu mengizinkan untuk melakukan perjalanan ini.
Memantapkan diri dihiasi rasa penuh excited, hingga mulai menyusun rencana anggaran perjalanan, mulai dari biaya pulang pergi, hingga biaya untuk mengunjungi tempat-tempat yang ingin saya datangi. Singkatnya persoalan budgeting, mencakup biaya makan, transportasi, akomodasi, hiburan di tempat yang berbayar, oleh-oleh jika diperlukan, serta dana darurat.
Sambil mencocokkan rute perjalanan dan biaya seminimal mungkin, saya bertanya ke beberapa teman yang memiliki kenalan di kota yang saya tuju untuk berjaga-jaga dan antisipasi.
Perjalanan pun saya mulai dengan terbang ke Bandara Juanda Surabaya. Beberapa orang mengatakan bahwa bepergian sendirian identik dengan rasa sepi, namun bagian terbaiknya adalah kita bisa menemukan hal yang belum pernah dirasa, serta bebas untuk berjalan kemana saja tanpa ada larangan.
Setibanya di Surabaya, saya lanjutkan dengan memesan kendaraan online menuju penginapan yang ada di pusat kota. Penginapan ukuran kapsul dengan kamar mandi bersama menjadi tempat beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Malang.
Setelah menyimpan barang, tanpa berganti pakaian langsung memesan gojek untuk mencari tempat makan yang khas di Surabaya, rawon yang gurih dan nikmat menjadi penyegar kelelahan perjalanan. Saya juga bertemu dengan teman yang kebetulan bersekolah di sana. Kami berjalan ke salah satu Mall terbesar di Indonesia, Tunjungan Plaza.
Sambil bercerita banyak tentang kabar satu sama lain, saya mengecek kembali tiket perjalanan kereta yang telah dipesan beberapa hari saat masih di Makassar. Betapa kagetnya, ketika jadwal yang saya pesan ternyata lebih cepat sehari sehingga otomatis tiket tersebut hangus.
Panik tiba-tiba, belum lagi tempat penginapan hanya saya pesan untuk satu hari. Untungnya teman yang saya temui mengatakan bahwa masih bisa memesan untuk rute lokal. Ternyata perjalanan kereta ada yang antarkota dan lokal, bedanya jika antar kota perjalanan dari Surabaya menuju Malang tidak ada perhentian, berbeda dengan lokal. Pada setiap stasiun kecamatan misalnya akan singgah beberapa kali, dan tentunya biaya antar kota lebih mahal.
Untungnya, masih kesampaian untuk memesan tiket menuju Malang, perasaan takut saya muncul karena ini pertama kali berkendara dengan kereta, belum lagi pesanan tiket di aplikasi sudah terpenuhi.
Terpaksa, menjelang subuh saya memesan gojek menuju Stasiun Gubeng, sesampainya di sana ternyata masih banyak kursi yang kosong.
Perjalanan menuju Malang pun menghabiskan waktu hampir lebih dari dua jam, termasuk jika kereta singgah di beberapa stasiun. Beberapa menit pertama, saya masih duduk hening sendirian, lalu dua puluh menit setelah kereta berjalan, seorang perempuan menghampiri saya meminta difotokan. Sebentar lagi sunrise akan muncul, sehingga ia ingin membuat konten.
Kami berkenalan dan bercerita banyak setelahnya, serasa sudah berteman lama. Belum lagi, ada seorang Ibu muda yang ikut bercerita bersama kami, dia sempat menitipkan anaknya yang lagi tertidur untuk menemui suaminya di gerbong depan. Gerbong tempat kami termasuk sepi karena berada di bagian ujung kereta.
Setelah saling berfoto dan matahari mulai terbit, gerbong kami yang sepi mendadak ramai dan sesak oleh rombongan anak Sekolah Dasar (SD) beserta gurunya yang datang untuk melakukan study tour. Kami sangat senang dan tertawa bersama, tadinya begitu sepi, kini gerbong kami dipenuhi keceriaan anak-anak yang saling bercengkrama dan bernyanyi bersama.
Beberapa menit kemudian mereka turun duluan, saya melanjutkan perjalanan dan turun di stasiun Malang. Artinya, tiba pula waktunya untuk berpisah dengan teman baru saya. Tapi tak lupa kami saling bertukar kontak.
Alangkah senangnya, sebelum berangkat ada seorang teman yang mengenalkan kerabatnya untuk menemani saya saat di Malang. Dia menjemput saya di stasiun, kami makan lalu langsung menuju Kota Batu. Tempat dimana saya menghabiskan beberapa hari untuk berwisata.
Saat di Batu, saya mengunjungi Jawa Timur (Jatim) Park 1, Jatim Park 2 serta Batu Night Street. Dalam perjalanan itu, beberapa orang sempat heran melihat saya menikmati wahana hanya seorang diri. Bahkan, diantaranya sempat bertanya ulang apa benar saya sendirian ke tempat itu.
Untungnya, mereka tidak sungkan untuk mengajak saya ke rombongannya. Dan juga, di Museum Musik Indonesia seorang anak muda yang kebetulan sedang magang menemi saya berkeliling menjelajahi tempat itu, kami bercerita banyak, karaoke bersama bahkan terakhir kami berfoto di titik yang telah disediakan.
Malam hari, saat di Batu Night Street pula, dua orang perempuan masuk bersama saya ke rumah hantu. Di perjalanan menjelajahi rumah tersebut kami jalan bersama dan berfoto, sambil terus bergandengan melewati wahana lainnya.
Awalnya sempat merasa sepi dan sendirian, namun, setelah melaluinya saya tak lagi merasakan itu. Bahkan mereka mengajak saya untuk menjajaki tempat wisata lainnya. Sayangnya, waktu untuk tinggal di Malang sudah habis dan harus melanjutkan perjalanan lagi ke Yogyakarta. Keesokan harinya, pagi dini hari diantar oleh teman saya menuju stasiun Malang yang jaraknya cukup jauh dari Kota Batu. Saat di pos pemeriksaan, saya baru sadar bahwa melupakan KTP saya di penginapan. Panik tiba-tiba datang lagi, untungnya masih bisa verifikasi data penumpang dengan foto KTP nya.
Akhirnya teman saya yang baik hati, kembali ke Batu untuk mengirimkan saya KTP tersebut melalui layanan kirim paket kereta di esok harinya. Saya lalu duduk di kereta dengan perasaan tidak enak karena harus merepotkan orang lain.
Tak lama kemudian, saya memberanikan diri ngobrol dengan penumpang di sebelah saya. Selama enam jam perjalanan menuju Yogyakarta kami kemudian membicarakan banyak hal, kegalauan saya karena ketinggalan KTP seketika pudar. Dia bercerita mengenai pengalamannya menjadi dosen di Palangkaraya tapi harus pulang balik Yogyakarta karena keperluan akademik. Saat berpisah, ia banyak meninggalkan pesan hal-hal yang harus saya waspadai selama disana.
Setiba di Yogyakarta, saya tinggal di tempat kenalan teman yang juga baru saya temui, baiknya ia mau menampung saya di tempatnya selama beberapa hari. Lalu, dua hari menghabiskan waktu di Yogya saya diajak berkeliling oleh teman yang kebetulan bersekolah disana. Setelahnya, dengan kereta saya melanjutkan perjalanan ke Jakarta dan pulang ke Makassar.
Saya banyak menemukan orang baru, heran bisa dengan mudah mengakrabkan diri, padahal biasanya saya termasuk cenderung malas memulai obrolan duluan dengan orang lain. Bahkan, beberapa dari mereka yang saya temui, hingga kini, kami masih saling berkomunikasi.
Oiya, saat KTP saya tiba, saya menuju kantor pos untuk mengambilnya. Terlalu pagi sampai belum membuka pelayanan, tapi saya tetap bertanya. Sampai akhirnya, pegawainya berbaik hati mencarikan saya. Dia bahkan mengatakan, kalau kamu baik pasti segala urusan dimudahkan. Sungguh perkataan yang membuat saya terharu.
Melakukan perjalanan ini, saya menemukan diri saya sangat berbeda dengan biasanya. Apa ini karena lingkungan atau upaya untuk bertahan? Entahlah, yang pasti perjalanan dan pengalaman ini membuat saya bertekad untuk melakukan banyak perjalanan lainnya.
Ketakutan pastinya akan terus bermunculan, tapi saya berusaha semaksimal mungkin untuk menyikapinya. Melakukan beberapa persiapan untuk bisa menjelajahi banyak kota dalam waktu beberapa hari. Saya yakin, setiap yang dikehendaki pasti akan menemukan jalannya dan terbukti saat melakukan perjalanan panjang ini seorang diri, saya selalu percaya ‘Mestakung’ – Semesta pasti Mendukung.
Nurul Hikma
Mahasiswa Fakultas Pertanian,
Sekaligus Sekretaris PK identitas Unhas