Kekayaan budaya di Indonesia ini merupakan karya intelektual dan potensi nasional yang harus dilindungi. Sebab perlindungan kekayaan budaya, seperti seni tari dan lagu daerah sebagai ekspresi budaya tradisional dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat.
Namun, pemerintah belum melakukan tindakan yang konkret untuk melindungi dan memanfaatkan kekayaan ekspresi budaya yang dimiliki. Hal itu terbukti dengan masih adanya negara yang mengklaim kebudayaan tradisional yang dimiliki Indonesia. Salah satunya, pementasan teater I La Galigo yang merupakan karya suku Bugis klasik dan memiliki nilai sacral yang dipentaskan di Singapura tanpa izin dari pemerintah Indonesia.
Berdasarkan permasalahan tersebut, dosen Fakultas Hukum Unhas, Dr Winner Sitorus SH MH LLM mengkaji bentuk pengaturan perlindungan hukum dan pemanfaatan kekayaan budaya tradisional Indonesia oleh pihak lain. Dr Winner berupaya menggali bentuk perlindungan hukum seni tari dan lagu daerah yang merupakan wujud ekspresi budaya Indonesia. Selain itu, Dr Winner juga mencari tahu mengenai bentuk perlindungan hukum ekspresi budaya Indonesia dalam hal pemanfaatan oleh pihak asing. Dua hal itu digali berdasarkan perspektif nasional dan internasional.
Hasil kajian Dr Winner Sitorus, menunjukkan bahwa dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, belum mengatur tentang pemanfaatan ekspresi budayat radisional. Walaupun telah ada instrument hukum nasional yang mengakomodir Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK). Namun, instrument hukum tersebut belum mampu melindungi ekspresi budaya tradisional Indonesia secara optimal. Aturan itu, kata Dr Winner, masih bersifat parsial, yaitu hanya meliputi aspekin ventarisasi, menjaga, dan memelihara budaya tradisional.
Dosen yang meraih gelar doktornya di Universitas Air langga ini, juga menyatakan bahwa hal yang sama terjadi di tingkat internasional. Menurutnya, pembahasan mengenai perlindungan dan pemanfaatan budaya di tingkat internasional masih dalam penyamaan persepsi, untuk menentukan bagaimana bentuk perlindungan budaya itu dan di tingkat mana perlindungan itu perlu diatur.
“Hingga saat ini belum ada hasil akhir dalam bentuk konvensi atau traktat berkaitan dengan perlindungan ekspresi budaya tradisional dalam rezim HKI, ” jelas dosen teladan Fakultas Hukum Unhas tahun 2006 ini, dalam wawancara via Whatsapp, Jumat (04/09).
Dari prespektif hukum internasional, Dr Winner Sitorus juga menemukan bahwa pengaturan, perlindungan dan pemanfaatan budaya diserahkan kepada masing-masing negara. Dan sejumlah negara telah membuat perundang-undangan yang mengatur perlindungan hukum ekspresi budaya tradisionalnya sendiri.
Oleh sebab itu, Dr Winner, bersama dua dosen fakultas hukum lainnya, yakni Prof Dr Ahmadi Miru SH MH dan Amaliyah SH MH, merekomendasikan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUU PTEBT). Apabila hal itu belum memungkinkan, kata Dr Winner, maka pengaturan tentang pemanfaatan ekspresi tradisional perlu dimasukkan dalam peraturan pemerintah tentang objek pemajuan kebudayaan. Bentuk pemanfaatan OPK ini tidak hanya berbentuk pengolahan produk budaya, tetapi komersialisasi atas ekspresi budaya seperti lagu daerah dan seni tari.
Bila dua rekomendasi itu terwujud, maka Dr Winner berharap ekspresi budaya tradisional dapat memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat Indonesia. “Harapan saya ekspresi budaya tradisional dalam berbagai bentuk, termasuk tari dan lagu tradisional, mendapat perlindungan yang jelas di tingkat nasional dan internasional, terutama dari aspek pemanfaatannya sehingga member manfaat ekonomi bagi masyarakat pengemban ekspresi budaya tradisional. Karena berbicara hak kekayaan intelektual pasti berbicara hak ekonomi terhadap pemanfaatannya,” tutupnya.
Nur Ainun Afiah