Masyarakat pedalaman pastinya sering dikaitkan dengan hal-hal berbau mistis atau keramat. Tidak terkecuali masyarakat adat Kajang. Kajang adalah salah satu suku adat yang berlokasi di Kota Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Kajang merupakan nama daerah sekaligus nama suku yang terkenal dengan adat dan budaya yang mengagungkan alam. Anda akan menemukan nama Kajang pada tulisan-tulisan mengenai budaya atau mengenai alam. Reputasi keramat dari nadi-nadi hutan adat dan budayanya yang kental sudah lama mereka genggam.
Namun, siapa yang menyangka perubahan telah terjadi di tengah-tengah Kajang. Salah satu kawasan di Kajang menyimpan denyut pariwisata sekaligus aura keramat yang disebut Kawasan Kajang Dalam.
Saat memasuki Kawasan Kajang Dalam, terdapat beberapa kejutan yang menyambut kami pada Selasa, (24/08/2021). Kawasan Kajang Dalam ternyata tidak lagi berisi orang-orang yang patuh terhadap aturan adat yang akhirnya hal ini mengubah budaya mereka. Beberapa masyarakat di Kawasan Kajang Dalam tidak lagi berpakaian serba hitam, yang merupakan budaya turun-temurun mereka.
“Iya, beberapa masyarakat di kawasan (Kajang dalam) memang ada beberapa yang seperti itu, itumi saya tidak tahu bagaimana caranya jelaskan ke tamu yang saya antar masuk ke kawasan,” kata Nur Salam, kepala desa Tanah Towa, salah satu desa di Kajang ketika ditanyai mengenai hal tersebut.
Kawasan Kajang Dalam tidak mengizinkan teknologi dan budaya luar hadir di tengah mereka. Sehari-harinya mereka mengenakan pakaian hitam sederhana dan sarung tenun yang berwarna hitam atau biru gelap dan tidak mengenakan alas kaki. Namun sebagian besar warga yang kami temui sudah mengenakan baju kaos dengan sablonan berwarna-warni, walaupun masih berwarna dasar hitam.
Kami kemudian mengeksplor lebih jauh daerah Kawasan Kajang Dalam dan menemukan air terjun di tempat yang lumayan sepi. Kami mengira tidak ada jejak teknologi di sana, karena tempatnya yang begitu terpencil di tengah-tengah hutan bambu dengan jalanan yang cukup curam. Namun bungkusan cerah kemasan deterjen Daia meluncur dibawa aliran air ke arah kaki kami.
Uniknya, salah satu dari kami juga menemukan sandal swallow tersembunyi di balik wadah penampungan air di kamar mandi rumah warga.
Semakin mereka menolak teknologi, semakin dalam pula teknologi menelan masyarakat Kawasan Kajang Dalam. Tidak berhenti di situ, kami menemukan kejutan baru dari salah satu kepala lingkungan kelurahan di Bulukumba saat sedang mengobrol ringan.
“Saya sebenarnya orang dari (Kajang) dalam ji juga. Cuma saya lebih pilih ka’ tinggal di luar sekarang. Saya kalau ke dalam kutanya mami itu anak mudanya bilang tinggal di luar saja, kenapa mau lama-lama di dalam, sessa jaki.’” Masyarakat itu sendiri ternyata yang menolak adat sendiri dan memeluk modernisasi.
Kajang tidak lagi keramat seperti pada tulisan-tulisan yang biasa ditemui di internet. Masyarakat Kawasan Kajang Dalam juga tidak lagi bertindak seperti julukan mereka, Kajang Hitam.
Kali terakhir kami memasuki Kawasan Kajang Dalam yaitu pada Minggu, (19/09/2021) di sana kami berpapasan dengan seorang ibu dalam se biru cerah dan jilbab pasang berwarna krem. Kami kemudian kembali mengunjungi air terjun yang berada di tengah hutan bambu dan menemukan lebih banyak sampah rumah tangga yang menumpuk dan sedikit menghambat aliran air.
Kami juga mendengar suara yang tak semestinya kami dengar di Kawasan Kajang dalam, “halo .. ? oi iyaa halo?” Seseorang yang tengah menelepon di kawasan yang menolak teknologi tentu membuat siapa saja terkesiap.
Teknologi dan budaya luar sepertinya menarik perhatian masyarakat Kawasan Kajang Dalam dari budaya mereka sendiri. Dalam tulisan-tulisan lain Anda akan menemukan masyarakat Kajang sangat ketat mengenai budaya dan aturan adat mereka dalam mengagungkan alam itu sendiri, namun keadaan yang kami dapatkan di lapangan sepertinya berbeda. Perlu diketahui modernisasi kini sudah ditelan oleh kawasan Kajang, tidak ada lagi aura keramat apalagi hal-hal mistis.
“Eh ayo kapan-kapan buat ki’ kerja bakti di dalam (Kawasan Kajang Dalam), banyak sekali sampah itu nah di dalam,” keluh Anjar, salah satu pemudi di Desa Sapanang, Kajang. Hal ini membuat kami berpikir ada lebih banyak sampah plastik yang dibawa dari luar dan hanya tinggal dan tertumpuk di Kawasan Kajang Dalam.
Mendengar nama Kajang, mestinya kita tidak lagi mengaitkannya dengan hal-hal keramat atau mistis, karena perhatian masyarakat akan budaya mereka berada di ambang krisis.
Dari tahun ke tahun, modernisasi dan teknologi mengambil pengaruh dalam perubahan adat dan budaya di Kajang, yang bisa dibilang sedang di perjalanan menuju pemakaman, dikarenakan kedua hal itu mulai memudar disikut modernisasi dan teknologi dan sepertinya sebentar lagi akan mati.
Penulis Aura Aulia Aslan Mahasiswa Fakultas Kehutanan Unhas,
sekaligus Juara Ketiga Lomba Tulisan Feature Dies Natalis PK Identitas Unhas ke-47.