Jepang dan tradisi bunuh dirinya mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kebiasaan ini sudah ada sejak zaman samurai masih eksis di negeri sakura itu. Ketika seorang samurai kalah dalam perang atau pertarungan, menanggung malu, atau ingin menunjukkan kesetiaannya kepada tuannya, ia akan melakukan Seppuku atau Harakiri. Harakiri dalam Bahasa Jepang berarti memotong perut dengan tujuan mengakhiri hidup.
Tren bunuh diri hingga kini masih menjadi masalah yang sedang diatasi pemerintah Jepang. Alih-alih menjadi isu nasional, fenomena ini malah menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan. Hingga 2020, angka bunuh diri mencapai 20.219 orang, naik 2.153 pada Oktober 2020, nyaris menandingi angka kematian akibat Covid-19 yang menyentuh 3,460 orang. Karena kenaikan ini, Jepang kemudian menunjuk Tetsushi Sakamoto menjadi Menteri Kesepian untuk mengatasi permasalahan ini.
Di sini saya tidak akan membahas tren meningkatkanya bunuh diri. Saya akan membahas bunuh diri dari perspektif yang sedikit berbeda. Bunuh diri merupakan keputusan yang diambil untuk mengakhiri hidup. Metode ini pun semakin beragam seiring berkembang zaman. Mulai dari melompat di tempat yang tinggi, gantung diri, mengonsumsi racun, hingga melukai anggota badan tertentu.
Hampir semua orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidup memiliki satu alasan yang kuat, mengapa mereka ingin melakukannya? Atau mungkin alasan kecil yang saling menguatkan. Bisa masalah keluarga, percintaan, persahabatan, yang menyebabkan orang kehabisan pilihan dan memilih keputusan terburuknya.
Ada juga orang bunuh diri dengan alasan yang konyol. Seorang remaja di Kosta Rika berinisial TG nekat mengakhiri hidupnya demi bertemu dengan tokoh anime idolanya, Ikarus, seorang malaikat penjaga surga pada 2016. Ia berpikir, Ikarus benar-benar ada di surga dan akan menyambutnya ketika mati. Sungguh kerinduan yang tidak tertahankan.
Sependek saya memahami tentang Jepang. Saya menyadari sejak dulu masyarakat matahari terbit ini memahami filosofi mendalam tentang bunuh diri, lebih dari sekadar tindakan mengakhiri hidup. Berbagai produk pop culture masih kerap memasukkan unsur bunuh diri dalam berbagai karya seperti film, anime, manga, lagu, bahkan video clip.
Sebut saja salah satunya lagu yang berjudul Yoru Ni Kakeru karya Yoasobi yang rilis 2019. Lagu ini sebenarnya mengadaptasi dari sebuah cerita pendek berjudul Rayuan Thanatos. Irama lagu bercerita seorang laki-laki yang ternyata hanyut dalam keputusasaan, hingga dirayu oleh malaikat maut untuk mengakhiri hidup. Sejak mengetahui itu, saya sarankan kepada beberapa teman untuk tidak joget-joget mendengar Yoru Ni Kakeru.
Kalau Yoru Ni Kakeru memiliki unsur bunuh diri yang cukup tersirat, berbeda dengan lagu yang berjudul My R. Lagu yang dilantunkan oleh karakter vocaloid bernama Hatsune Miku (VA: Fujita Saki) ini menggambarkan secara gamblang tentang bunuh diri. Irama lagu ini sangat ceria, saking asiknya, malah lebih mirip lagu tamasya bagi saya.
My R bercerita tentang seorang gadis yang berencana mengakhiri hidupnya dengan melompat dari gedung. Namun, selama tiga hari percobaan bunuh dirinya. Ia selalu bertemu dengan perempuan lain yang memiliki niat yang sama dengannya.
Dari perempuan berambut kepang dengan masalah percintaan, muda jelita yang dirundung, hingga gadis bercardigan kuning yang sering dipukuli. Ia mencoba menghentikan ketiga perempuan itu, berpikir penderitaan yang gadis itu rasakan, tidak seberapa dibanding yang ia alami.
Penggemar berpendapat ketiga gadis yang ia coba hentikan adalah refleksi dari dirinya. Satu alasan mungkin belum cukup, tetapi bagaimana jika tiga? Sesuai dengan judul lagu My R yang ditafsirkan My Reflection atau My Reason. Alasan itu akhirnya mendorongnya untuk melompat, mengakhiri segala penderitaan yang dirasakan. Sebelum melompat, ia melepaskan sepatunya. Lazimnya, di Jepang, tindakan itu adalah petunjuk seseorang benar-benar murni bunuh diri, dan bukan pembunuhan.
Dari kedua lagu yang saya jelaskan di atas, unsur bunuh diri yang dimasukkan seakan memperkuat keterlibatan emosi dan membuatnya memiliki nilai tambah. Saya belum pernah melihat referensi bunuh diri sebanyak yang diproduksi Jepang. Bunuh diri tidak berhenti sebagai isu sosial, tetapi merambah ke ranah industri kreatifnya. Membuat saya menarik kesimpulan hal yang mengerikan bisa berubah menjadi lebih lembut hanya dengan sedikit menggeser sudut pandang.
Berharap tidak ada seorang pun yang termotivasi untuk bunuh diri karena tulisan ini. Melainkan ingin menyampaikan pembaca hal yang mengerikan yang kita anggap sebagai masalah, bisa berubah menjadi lebih baik ketika menggeser sudut pandang. Seperti pandangan Jepang terhadap bunuh diri.
Cukuplah disakiti dengan kisah bunuh diri dalam karya fiksi. Untuk masalah mengakhiri hidup di dunia nyata, seseorang mengambil keputusan tragis itu tentu saja punya alasan kuat. Untuk mencegah seseorang menjerumuskan diri ke dalam lubang keputusasaan bunuh diri. Kepekaan terhadap lingkungan sosial juga penting diasah.
Penulis Risman Amala Fitra
Mahasiswa Sastra Jepang, angkatan 2019
Sekaligus Redaktur Pelaksana PK Identitas Unhas 2022