“Sekolah lah kau tinggi-tinggi nak!” ujar Ibunya.
Terinspirasi dari doa ibunya, pesan itu masih terus berbekas dalam ingatan sosok Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Muhlis Hadrawi SS MHum. Muhlis adalah lulusan pertama jurusan Sastra Daerah di Unhas, sebuah program yang dulunya kurang diminati namun menawarkan pemahaman yang mendalam tentang kebudayaan lokal di Sulawesi Selatan.
Lahir di desa Macopo, Kabupaten Bone, dengan lingkungan yang kaya akan tradisi dan kebudayaan lokal membentuk kecintaan Muhlis terhadap budaya Bugis. Berangkat dari situ, ia mulai mendalami sastra daerah yang kemudian membawanya menjadi filolog terkemuka hingga berhasil menggandeng gelar guru besar di Unhas.
Di Unhas, ia turut menjadi dosen pertama dari jurusan Sastra Daerah. Bagi lulusan doktoral Universitas Kebangsaan Malaysia ini, hal tersebut adalah pencapaian besar yang tidak hanya membanggakan dirinya, tetapi juga keluarganya, terutama ibunya yang memiliki pengaruh besar dalam mendorongnya menempuh jalur pendidikan.
“Jadi ibu saya itu pernah berdoa. Ibu saya bermohon kepada Allah, ‘ya Allah, saya tidak sekolah, maka berikan anak juga kesempatan sekolah.’ Maka saya pun menerima berkah dari doa itu, saya sekolah terus. Nah itulah, jadi sekolah-sekolah-sekolah, akhirnya karir sebagai dosen itu pun tercapai,” tutur pria asal kabupaten Bone itu, Rabu (18/09).
Ketika menjadi dosen, Muhlis sangat aktif melakukan penelitian yang berhubungan dengan kebudayaan Bugis-Makassar. Dalam setiap risetnya, ia selalu kembali ke akar budaya yang dibentuk oleh naskah-naskah kuno. Menurutnya, filologi merupakan ilmu yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini dengan membawa kebijaksanaan dari naskah-naskah kuno ke dalam konteks modern.
“Naskah kuno itu apapun judulnya dan berapapun umurnya selalu disebut sebagai sebuah produksi ilmu pengetahuan,” jelasnya.
Seperti itulah Muhlis memandang naskah-naskah kuno Bugis-Makassar. Ia mengatakan bahwa Sulawesi Selatan terutama etnik Bugis, rupanya banyak memproduksi naskah kuno sebagai buah daripada tradisi tulis yang mereka lakukan sejak beratus-ratus tahun silam. Dokumen atau materialnya itu banyak sekali jumlahnya, baik yang sudah terdata sekaligus tersimpan di arsip nasional, di perpustakaan, museum, maupun di tangan-tangan masyarakat sebagai kolektor.
Menurutnya, jumlah naskah kuno yang sangat banyak tidak sebanding dengan hasil riset yang dilakukan oleh peneliti. Oleh sebab itu, ia selalu memberi ruang kepada para mahasiswa untuk ikut meneliti naskah-naskah kuno. Salah satunya melalui proyek Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA), di mana ia memberika kesempatan kepada mahasiswanya untuk bekerja dan belajar secara profesional dalam mendokumentasikan naskah-naskah Bugis dan Makassar.
Salah satu kontribusi terbesar Muhlis dalam dunia filologi adalah risetnya tentang Assikalaibineng. Karya yang awalnya menjadi objek kajian tesisnya di Universitas Indonesia pada tahun 2004 ini berhasil menjadi buku bestseller dengan judul Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis. Secara tradisional, Assikalaibineng dianggap sebagai bentuk lokal dari ajaran yang mirip dengan Kama Sutra, naskah India kuno yang terkenal sebagai panduan tentang seni mencintai.
Demikian pula, Assikalaibineng, yang bisa diartikan sebagai “kitab persetubuhan” dalam kebudayaan Bugis, telah lama dianggap sebagai pedoman bagi pasangan suami istri dalam menjalani hubungan pernikahan. Namun, yang membuat penelitian Muhlis menarik adalah pendekatan yang ia ambil dalam mengkaji teks ini. Dilansir dari Kompas.com, buku kama sutra itu memuat soal sikap dalam berumah tangga. Dalam artian tak hanya soal birahi, akan tetapi bagaimana memuliakan pasangan. Muhlis menyebut buku ini sebagai salah satu karya yang paling berkesan dalam perjalanan karirnya.
Karya ini menjadi salah satu terobosan dalam kajian filologi karena berhasil mengangkat dan menginterpretasikan sebuah naskah kuno Bugis yang sebelumnya mungkin kurang dikenal luas, baik di kalangan akademisi maupun masyarakat umum. Buku yang lahir dari penelitian terhadap 48 naskah kuno Bugis ini bahkan telah berhasul dicetak ulang sebanyak lima kali sejak pertama kali terbit pada tahun 2006. Di toko-toko buku besar seperti Gramedia sekalipun, buku ini terjual dengan cepat melalui sistem pre-order hingga mencapai angka 500-1000 eksemplar per cetakan.
Selain karya tersebut, Muhlis juga dikenal karena risetnya tentang kebudayaan Bugis-Makassar, termasuk buku Lontara Sakke’ Attoriolong Bone yang menjadi sumber kronik yang merekan sejarah kebudayaan Kerajaan Bone.
Melalui riset dan pengajarannya, ia tidak hanya menjaga warisan naskah kuno Bugis, tetapi juga mewariskan semangat untuk terus belajar dan menghargai budaya yang membentuk kita. Seperti sebuah lontara yang tak akan pernah selesai ditulis, meskipun naskah-naskah kuno yang ia kaji mungkin akan semakin tua dan lusuh, namun karya dan kontribusinya akan terus hidup melampaui batas waktu.
Ismail Basri