“Pencatatan sejarah negeri ini sangat buruk, Alam. Kita digenggam penguasa, dan mereka yang menentukan arah sejarah Indonesia sesuai kepentingan mereka, memelihara kekuatan dan kekuasaan”.
Begitu kata salah satu tokoh pada novel Namaku Alam, Umayani. Kalimatnya seakan mengaminkan ungkapan yang selalu digaungkan seperti “sejarah ditulis para pemenang” atau “sejarah dikuasai penguasa zamannya”.
Ungkapan tersebut tidak serta-merta dikeluarkan oleh guru mata pelajaran sejarah itu. Menurutnya, terdapat kekosongan pada sejarah yang diajarkan hari ini yang dapat memunculkan pertanyaan.
Dalam novel “Namaku Alam” karya Leila S Chudori, kita diajak untuk menelusuri sejarah yang terlupakan dari Indonesia. Buku ini merupakan spin-off dari pengarang yang sama berjudul “Pulang”.
Novel ini mengisahkan kehidupan Segara Alam pada rentang waktu 1965-1982, di mana kehidupan demokrasi dan kebebasan sangat terbatas. Melalui karakter utamanya, Alam, pembaca disuguhkan dengan sudut pandang yang jarang terungkap dalam kurikulum sejarah.
Menurut Leila, cerita tentang kehidupan Alam merupakan perjalanan yang panjang. Untuk itu, Leila menjadikan cerita ini menjadi dua jilid. Pada Namaku Alam 1 bercerita mengenai kehidupan Alam dari kecil hingga menduduki bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
Namaku Alam 1 dibuka dengan prolog ketika bapak Alam, Hananto Prawiro dieksekusi karena dianggap pengkhianat negara. Hananto merupakan seorang wartawan yang dikejar pemerintah sejak meletusnya peristiwa G30S PKI. Ia dituduh merupakan bagian dari PKI dan ditembak mati pada tahun 1970.
Kematian ayahnya meninggalkan Alam, ibunya, Surti Anandari dan kedua kakaknya, Yu Kenanga dan Yu Bulan, dalam keadaan pilu dan rumit. Mereka harus menghadapi diskriminasi karena status mereka sebagai keluarga tahanan politik (Tapol).
“Identitas kami sebagai anak tahanan politik akan selalu menjadi bayang-bayang hitam yang membuntuti kami hingga akhir ayat,” ungkap Alam dalam salah satu paragraf.
Alam memiliki Photographic Memory yang memungkinkan ia mengingat seluruh kejadian yang dialaminya, bahkan memori saat ia masih berumur tiga tahun ketika para tentara bolak-balik mengunjungi rumahnya dan menanyakan keberadaan bapaknya. Baginya hal itu adalah sebuah kutukan.
Ia berkawan dengan Bimo Nugroho, seorang teman yang memiliki kesamaan cerita dengannya, yaitu bapaknya dianggap pengkhianat negara. Bedanya, ayah Bimo merupakan Eksil, warga negara yang tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di negaranya sendiri.
Sedari kecil ia dan Bimo dihantui dengan cemoohan seperti anak tiri negara, anak pengkhianat negara, hingga anak janda gatal. Keduanya seringkali menjadi sasaran cemoohan dan hinaan dari lingkungan sekitar. Berbeda dengan Bimo yang hanya pasrah pada cemoohan tersebut, sesekali Alam tidak dapat menahan amarahnya dan terjadilah baku pukul.
Ibunya beberapa kali menerima panggilan dari sekolah karena ulah anak bungsu tersebut. Ia pun menyuruh Alam untuk belajar ilmu bela diri, karate. Bukan agar pukulanya semakin kuat ketika dihina. Namun, agar ia dapat menahan dirinya yang tempramental.
Akibat dari salah satu kejadian adu jotos oleh Alam, ia dan Bimo pun diharuskan untuk pindah sekolah. Di sekolah barunya, SMA Putra Nusa, ia mendapatkan teman yang tidak peduli ia adalah anak Tapol.
Di SMA Putra Nusa ia bergabung dengan ekstrakurikuler Para Pencatat Sejarah (PPS), kelompok yang membahas sejarah dunia hingga Indonesia. Berbeda dengan mata pelajaran sejarah yang dibatasi oleh kurikulum, PPS mengulik lebih jauh mengenai sejarah.
Buku ini dibagi menjadi dua bagian, “Kuning Jingga” dan “Merah Kesumba”, yang masing-masing memiliki tujuh dan lima bab. Setiap bab diawali dengan ilustrasi dari kartunis karya Toni Masdiono yang menggambarkan konflik yang akan dijelaskan dalam bab tersebut.
Leila S. Chudori juga memperkaya cerita dengan kutipan lirik lagu, sajak, dan ungkapan dari tokoh-tokoh terkenal seperti Pramoedya Ananta Toer, yang memberikan dimensi tambahan pada narasi. Setiap babnya diberi judul sesuai dengan tokoh-tokoh yang ada di dalam novel tersebut.
Namaku Alam beralur maju-mundur, sehingga pembaca bisa saja mendapatkan tokoh baru di penghujung buku. Cerita-cerita persahabatan hingga percintaan yang dialami Alam seakan menambah warna pada buku ‘suram’ dan cerita kehidupan Alam ini.
Gaya bahasa Leila yang puitis dan atmosferis membawa pembaca langsung ke dalam suasana dan peristiwa yang digambarkan. Melalui narasi yang kuat dan detail, pembaca merasakan emosi dan perjuangan yang dialami oleh para tokoh dalam menjalani hidup mereka.
Buku ini bersampul merah darah dengan gambar burung nasar yang beterbangan. Lalu, jika kita memperhatikan bagian belakangnya, kita akan melihat seorang lelaki dengan tangan yang diborgol. Ilustrasi tersebut sama seperti yang digambarkan Alam pada bagian prolog ketika ayahnya ditembak.
Secara keseluruhan novel ini berusaha memberikan gambaran mengenai bagaimana kehidupan keluarga yang ditinggalkan para warga negara yang dihitamkan oleh negaranya sendiri. Novel ini pun memberi wawasan tambahan akan kejadian-kejadian buruk sebagai bagian dari sejarah yang berusaha dilupakan, entah oleh siapa.
Zakia Safitri Sijaya
