Andi Batara Al Isra, seorang dosen Antropologi di Universitas Hasanuddin (Unhas) memilih jalan yang unik dalam melestarikan histori dan kebudayaan, yaitu melalui tulisan. Meski awalnya bercita-cita menjadi seorang duta besar, kecintaannya pada keragaman suku bangsa, sejarah, dan budaya justru membawanya untuk menyelami studi Antropologi.
“Immanuel Kant menyatakan bahwa untuk memahami manusia, kita harus mempelajari antropologi. Saya berusaha untuk memahami pola pikir manusia melalui studi ini,” ucap pria yang kerap disapa Bata ini.
Ia merasa bahwa Ilmu Antropologi adalah jembatan yang menghubungkan berbagai disiplin ilmu, mulai dari diplomasi hingga sosiologi. Dalam pandangan Bata, Antropologi adalah bidang yang tepat untuk memahami manusia.
Pengalamannya menempuh pendidikan di dua benua, tepatnya di Antropologi Unhas, Indonesia dan studi magister di The University of Auckland, Selandia Baru mempengaruhi perspektifnya memandang perbedaan. Hal ini tidak hanya memperkaya pendekatan Bata dalam memahami studinya, tetapi juga dalam hal menulis karya-karyanya yang sarat akan nuansa budaya dan sejarah.
Setelah menyelesaikan studinya di Tanah Berawan Putih Panjang ini, Bata memutuskan untuk kembali dan berkarir sebagai dosen Antropologi di Unhas. Ia memang sedari awal telah berkeyakinan untuk mendidik dan berbagi ilmu.
Sejak kecil, Bata sudah tertarik menulis. Kegemarannya ini semakin tumbuh ketika ia bergabung dengan berbagai komunitas literasi seperti Forum Lingkar Pena (FLP) Unhas, Komunitas Pecandu Aksara, Makassar Indie Book, Komunitas Malam Puisi, dan Katakerja. Dari sinilah ia mulai serius dan membangun karir kepenulisannya.
Semakin ia gemar membaca, Bata menemukan cara yang unik untuk mengekspresikan kata-kata yang indah dan padat makna melalui puisi. Minatnya tumbuh ketika ia mulai membaca karya-karya penulis seperti Aan Mansyur dan Joko Pinurbo, yang menjadi inspirasi awal baginya. Bagi Bata, buku puisi bukan hanya sekadar rangkaian kata-kata, tetapi juga alat untuk memahami dan menyampaikan pengalaman hidup serta pandangan dunia dengan cara yang lebih artistik.
Bata mulai aktif menulis sejak tahun 2012. Ia dikenal sebagai salah satu penulis multigenre, dengan karya-karya yang mencakup puisi, cerpen, esai, hingga tulisan ilmiah. Sebagai etnografer, Bata juga menemukan cara unik untuk menyatukan ilmu antropologi dengan seni menulis. Meski sempat ragu menerbitkan karya pertamanya, kumpulan puisi berjudul Di Seberang Gelombang, Bata akhirnya memberanikan diri setelah terinspirasi oleh buku Merelakan Diri Terbakar karya Rahmat Mustamin.
Baginya, buku pertama adalah sebuah batu loncatan dan buku tersebut ia rampungkan ketika masih berkuliah di Selandia Baru. Buku tersebut sempat dicetak dua kali dan semuanya habis terjual. Di Seberang Gelombang terinspirasi dari seorang guru besar Universitas Indonesia, Prof Junus Melalatoa yang mendorong Bata untuk menyalurkan tangkapan emosional yang tidak bisa ia ungkapkan dalam laporan penelitiannya.
“Gelombang itu seperti batasan pada diri seseorang yang seharusnya bisa ditaklukan dan diseberangi sendiri,” tutur Bata sembari mendeskripsikan buku Di Seberang Gelombang.
Bata kerap membagikan potongan-potongan puisinya di halaman instagram pribadinya, @bataraisra. Tak hanya itu, Bata juga aktif menulis cerpen, salah satunya berjudul Mengenang Padewakkang yang bercerita tentang pelaut Makassar yang menjalin hubungan dengan penduduk Aborigin di Australia bagian utara pada abad ke-18 hingga awal 20. Cerpen ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Dalang Publishing di California. Cerpen ini menandai salah satu langkah Bata dalam karier kepenulisannya.
Bata menyebut cerpen pertamanya, Diari Anak Pulau, sebagai karya yang paling berkesan baginya. Cerpen ini bercerita tentang seorang anak yang terpaksa menjadi nelayan sehingga tidak bisa bersekolah. Meskipun cerpen ini sempat ditolak oleh penerbit, penolakan tersebut justru memotivasi Bata untuk terus menulis dan memperbaiki karyanya. Selain itu, puisi terbarunya berjudul Pra/pasca Manusia juga berhasil membawanya sebagai pemenang dalam Sayembara Puisi Payakumbuh Poetry Festival 2023.
Kini, selain menulis dan menjadi seorang dosen, Bata juga terlibat sebagai peneliti di Antropos, sebuah komunitas yang berkomitmen untuk melestarikan kebudayaan di Sulawesi Selatan. Melalui berbagai proyek seperti penerbitan buku dan sinema regional, ia bersama Antropos terus berupaya memberikan ruang alternatif bagi masyarakat untuk belajar dan berkembang.
Bata berharap ruang-ruang kebudayaan seperti Antropos dapat mulai tumbuh di berbagai daerah. Baginya, pelestarian budaya tidak bisa sepenuhnya bergantung pada pemerintah, namun inisiatif masyarakat adalah kunci. Dalam waktu dekat, Bata berencana menerbitkan kumpulan puisi keduanya, sambil terus mengabdi dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.
Rika sartika