“Kehidupan itu seperti ombak di laut yang bergelombang. Tak menentu, tapi yang terpenting bagaimana sampai ke pulau tujuan untuk mencapai kesejahteraan.”
Begitulah sepenggal kalimat yang diucapkan pejuang pemberdayaan perempuan asal Universitas Hasanuddin (Unhas), Dra Nuraeni. Seperti ombak yang terus berubah, kita juga dihadapkan pada berbagai perubahan dan tantangan, tapi dengan tekad dan keberanian kita pasti akan berhasil melaluinya.
Nuraeni dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dan berambisi untuk membantu serta meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat pesisir. Tak peduli seberapa keras usaha yang akan ia lakukan, semangat pedulinya akan mengalahkan semua tantangan dan segala resiko dalam proses perjuangannya.
Pendidikan Sarjana Politik menjadi landasan awal dari perjalanan Nuraeni dalam memberikan sumbangan yang berarti bagi masyarakat, terutama masyarakat pesisir.
Pada 2007, ia berhasil mendirikan Kelompok Wanita Nelayan (KWN) Fatimah Azzahra atas dasar keprihatinannya terhadap kondisi perempuan pesisir, khususnya di kelurahan Pattingalloang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sebagian besar penduduk di sana adalah nelayan, dan dampak kemiskinan yang mereka alami sangat dirasakan oleh perempuan.
Berangkat dari fenomena tersebut, wanita kelahiran Ujung Pandang itu bertekad mengubah paradigma perempuan pesisir untuk lebih mandiri secara ekonomi. Perempuan pesisir seringkali bergantung pada tengkulak (pemberi pinjaman uang) yang mengeksploitasi mereka dengan suku bunga yang tinggi.
Nuraeni percaya bahwa perempuan-perempuan ini sebenarnya memiliki potensi besar yang bisa ditingkatkan. Mereka diajak untuk menjadi wirausaha, mengembangkan keterampilan, dan mencari peluang di tengah keadaan mereka yang sulit.
“Mereka (perempuan pesisir) mulanya ragu untuk bergabung karena belum ada hasil yang mereka lihat. Tapi kelompok ini berkembang pesat, bahkan melibatkan lebih dari 600 perempuan hingga saat ini,” ungkapnya, Senin (21/08).
Kehidupan pribadi Nuraeni juga menjadi motivasi besarnya dalam membantu masyarakat pesisir. Menjadi seorang single parent setelah suaminya meninggal dunia, ia turut memiliki perasaan yang mendalam tentang kesulitan yang dihadapi oleh perempuan pesisir yang juga harus menghadapi berbagai tantangan.
“Saya berpikir bahwa kita saja yang punya pendidikan kesulitan, apalagi mereka yang tidak punya pendidikan,” tuturnya.
Melihat ragam permasalahan kehidupan masyarakat pesisir, Nuraeni tergerak membantu kehidupan para keluarga pesisir dengan menyediakan berbagai wadah dalam mengembangkan dan memberikan peluang tambahan sebagai mata pencaharian hidup.
Banyaknya anak-anak dan perempuan pesisir yang juga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, sehingga Nuraeni juga berupaya mendirikan Sekolah Perempuan Pesisir (SPP).
Nuraeni percaya bahwa pendidikan dan pembangunan kesadaran masyarakat adalah kunci untuk mengatasi masalah ini. Terlepas dari kondisi ekonomi, setiap anak haruslah dihindarkan dari pengalaman kekerasan dalam keluarga.
Nuraeni berusaha mendorong perempuan pesisir untuk menggunakan teknologi dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan mereka melalui pelatihan dan sosialisasi. Ia berfokus pada membangun kepercayaan diri perempuan pesisir agar bisa berwirausaha dan tidak selalu bergantung pada suami untuk ekonomi keluarga.
Wanita peraih penghargaan Tobarani Award 2018 ini juga sukses menjalankan berbagai program inovatif, seperti Program Kamis Murah untuk membantu perekonomian masyarakat pesisir. Ia bekerja sama dengan individu dan instansi lain untuk menciptakan solusi kreatif bagi masyarakatnya.
Prinsip yang selalu ia pegang teguh dalam proses perjuangannya, yaitu tentang bagaimana hidup itu bisa bermanfaat untuk orang lain. “Untuk apa ilmu tinggi tapi tidak bermanfaat bagi orang di sekitar yang membutuhkan perhatian dan uluran tangan,” imbuhnya.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat pesisir, Nuraeni juga telah mengelilingi berbagai pulau di Indonesia dengan tujuan memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai peningkatan kualitas hidup sebagai masyarakat pesisir. Ia ingin mereka melihat peluang baru selain pekerjaan sebagai nelayan.
Perempuan kelahiran 1969 itu berharap agar nantinya masyarakat pesisir mampu sejahtera dan memanfaatkan sumber daya lokal di wilayahnya selain menjadi nelayan.
“Masyarakat pesisir perlu menata hidupnya dengan mempertimbangkan skala prioritas yang dibutuhkan. Jangan karena emosi dan ambisi tapi tidak memikirkan kebutuhan utama dan peluang lain dalam hidupnya,” pungkas Nuraeni.
Otto Aditia