Pukul 02.00, baru dua jam kalender menyeberang ke tanggal 31 Januari 2022, seorang maha guru purnatugas, Prof Tandi Roma Andi Lolo, Ph.D. berpulang setelah dirawat di RS Wahidin Makassar. Bertita duka ini cepat tersiar berkat jasa media sosial yang kecepatannya bagaikan sama kilatnya dengan mata berkedip.
Pak TR, begitu biasa kami sapa, sejak beberapa tahun terakhir memang sudah jarang tampil di depan publik setelah terkena penyakit. Pada saat pertama sakit, beliau beberapa lama dirawat di rumah sakit. Pada masa itu, kondisinya mengkhawatirkan. Prof Dr Ir Radi A Gany, almarhum, yang selalu menyebut Pak TR sebagai saudara lain ibunya mengatakan, setelah keluar dari rumah sakit kala itu kondisinya tidak memungkinkan lagi berkumpul dengan teman-temannya seperti biasa. Pak TR lebih banyak istirahat di rumah.
Pak TR dengan Pak Radi, adalah dua “bersaudara” yang sama-sama diangkat sebagai bupati oleh mendiang Prof Dr A Amiruddin ketika menjabat Gubernur Sulawesi Selatan (1983-1988 & 1988-1993). Pak TR diangkat sebagai Bupati Tana Toraja (sebelum dimekarkan dengan Kabupaten Toraja Utara) dan Pak Radi ditunjuk sebagai Bupati Wajo. Keduanya mengisi periode terakhir masa jabatan Prof Amir (sapaan Prof. Dr. A. Amiruddin) dan diwanti-wanti hanya boleh satu periode, meskipun keduanya masih diminta melanjutkan masa jabatannya ke periode kedua.
Kedua “anak buah” Prof. Amir ini boleh disebut “anak manja”. Ketika itu para bupati di Sulsel yang hendak bertemu Prof. Amir harus bertanya dulu pada Pak Tadjuddin K, — ajudan sekaligus partner main tenis Prof Amir – perihal situasi dan kondisi “bos”-nya.
“Kalau alisnya naik saat masuk kantor, itu indikator situasi lagi kurang bagus,” kenang Pak Tadju kepada saya saat diminta mengungkapkan kesannya tentang Prof Amir suatu saat.
Jika “alis naik”, para bupati sudah sangat maklum, belum waktunya bertemu dengan Gubernur Sulsel. Namun lain ceritanya dengan Pak TR dengan Pak Radi. Mau “alis naik” atau normal, tidak ada urusan. Keduanya langsung saja “nyelonong” ke ruang kerja Prof Amir. Habis, keduanya selalu saja kaya dengan humor dan anekdot yang dapat menormalkan “alis naik” Prof Amir.
Pada 2007 jika tidak salah, saya pernah meminta kepada Pak TR menuliskan kesan mengenai Prof Amir untuk mengisi sebuah buku yang akan diterbitkan menyertai ulang tahun ke-75. Selain Pak TR, banyak mahaguru yang lain ikut menulis. Pak TR menulis sendiri kenangannya itu. Penggalannya seperti ini:
“Anak itu keras kepala, ya.” Demikian pernah disampaikan Pak Hasan (sapaan akrab bagi Prof Hasan Walinono) kepada saya (TR, pen.) suatu ketika pada 1977, sehari setelah selesai main tenis dengan Prof Amir, Rektor Unhas waktu itu. Yang mengucapkan kata-kata itu konon adalah Pak Amir. Itu diucapkan di depan sejumlah dosen Unhas yang ikut main tenis bersama beliau di lapangan tennis Unhas di Jalan Sunu.
Rupanya, yang dimaksud dengan “anak” tersebut tidak lain, saya sendiri. Konkretnya, di mata Pak Amir, saya adalah seorang yang keras kepala. Suka membantah. Tidak mau dengar pendapat orang lain. Atau mau menang sendiri. Kira-kira begitulah. Ungkapan itu merupakan indikasi kuat bahwa Pak Amir marah dan (mungkin) tidak senang. Sekurang-kurangnya dongkol kepada saya.
Ceriteranya begini. Satu hari pada 1977, saya mendapat tugas sebagai penatar Metodologi Penelitian Sosial bagi dosen-dosen Unhas dalam rangka program pemerintah yang dikenal dengan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Sebagai seorang dosen muda (diangkat tahun 1974) saya bangga dipilih sebagai penatar dalam satu mata kuliah yang cukup “bergengsi” bagi para ilmuwan, khususnya dosen-dosen ilmu sosial, yaitu Metode Penelitian.
Saya sendiri tidak tahu mengapa dipilih menjadi penatar dalam mata kuliah yang sering membingungkan itu. Bukan saja mahasiswa, melainkan juga bagi banyak dosen. Satu-satunya pertimbangan yang diduga jadi alasan memilih saya adalah karena pada tahun sebelumnya (1976) saya baru menyelesaikan dengan hasil baik latihan penelitian selama satu tahun pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (PLPIIS) yang merupakan program kerja sama segitiga Universitas Hasanuddin-Yayasan Ilmu Sosial Jakarta-Ford Foundation.
Di dalam penataran NKK itu materi yang saya sajikan tidak lain dari pengetahuan dan pengalaman yang saya peroleh dari PLPIIS. Saya antara lain menjelaskan kepada peserta bahwa banyak peneliti muda yang ragu-ragu (bahkan takut) melakukan penelitian karena terbentur pada aspek metodologis, terutama pada apa yang disebut hipotesis.
Apabila hipotesis dijadikan syarat utama, banyak dosen tidak akan pernah melakukan penelitian. Pasalnya, menetapkan hipotesis bukan perkara mudah, sehingga menjadi beban atau hambatan bagi seorang peneliti untuk melakukan penelitian. Kadang-kadang apa yang disebut hipotesis ternyata hanya sebuah dugaan atau asumsi.
Selama saya menyajikan materi Pak Amir ternyata nongkrong di situ. Saya tahu kehadiran beliau. Saya “enjoy” saja lagi membawakan materi di depan peserta. Seolah-olah beliau tidak ada. Saya juga tahu bahwa Pak Amir tidak selalu hadir dalam setiap presentasi selama tiga hari penataran NKK itu. Tetapi saya tidak tahu mengapa Pak Amir hadir dalam presentasi saya.
Dugaan saya ialah waktu itu Pak Amir sangat “concern” dengan mutu penelitian dosen-dosen di Unhas yang belum menggembirakan. Mungkin karena keprihatinan itulah Pak Amir lalu “membajak” Jacob Vredenbreght, seorang ahli penelitian berkebangsaan Belanda, yang waktu itu masih dikontrak oleh Universitas Indonesia, dan memboyongnya ke Unhas.
Sejumlah dosen (terutama di FISIP) “diperintahkan” oleh Rektor untuk bergabung dengan Meneer Jacob dalam satu tim agar digembleng dan dibina sebagai calon peneliti yang handal. Terus terang, saya memilih tidak bergabung dalam tim itu. Alasan saya, pengetahuan dan pengalaman penelitian saya berada pada mazhab yang berbeda dengan yang dianut oleh Meneer Vredenbreght.
Selama satu tahun di PLPIIS otak saya sudah “dicuci” dengan metode penelitian kualitatif oleh dua orang masing-masing Prof. Umar Kayam (alm), seorang sosiolog lepasan Cornell University dan Dr. Peter Goethals, seorang antropolog Amerika, yang adalah Tenaga Ahli Utama di lembaga pelatihan itu. Belum lagi masukan dari dosen-dosen tamu seperti “Bapak Sosiologi” Indonesia, Prof. Selo Soemardjan (alm), sosiolog pertama Unhas, Prof. Hasan Walinono, antropolog terkemuka Unhas, Prof. Mattulada (alm), Rektor “Forty Five University” – Universitas 45 – sekarang.
Prof Abu Hamid, yang juga seorang antropolog ternama, sosiolog kondang dari UI, Prof. Harsyah Bachtiar (alm), Prof. Edy Masinambouw, antropolog terpandang dari UKS Salatiga, “Bapak Kondomisasi” Indonesia, Prof. Masri Singarimbun (alm) dari UGM, sosiolog perempuan pertama Indonesia, Prof. Mely G. Tan, APU dari LIPI, dan lain-lain, yang lebih melengkapi saya dengan metode penelitian kualitatif. Di pihak lain, Mr. Vredenbreght datang dengan metode penelitian kuantitatif dengan analisis statistik yang lebih mengutamakan hipotesis untuk diuji dalam penelitian.
Ketika berlangsung “coffee break” sesudah presentasi berakhir, saya berbincang-bincang dengan Prof Halide sambil berdiri minum kopi. Tiba-tiba Pak Amir menghampiri tanpa senyum dan langsung “menginterupsi” percakapan saya dengan Prof Halide. Beliau menyatakan keberatan dengan apa yang saya sajikan dalam penataran itu. Saya tidak ingat lagi kata-kata beliau yang dilontarkan dengan nada “tinggi”. Namun saya masih ingat beliau “menuduh” saya sebagai telah memberi ajaran “sesat” dan keliru dalam penataran itu.
“Masa ada penelitian tanpa hipotesis,” kira-kira begitulah kata-kata beliau.
“Hipotesis mutlak ada sebagai penunjuk jalan bagi peneliti,” imbuhnya dengan bersemangat.
Karena tidak bisa menerima begitu saja argumen beliau, saya mencoba memberi penjelasan yang rada “membela diri” dengan maksud agar beliau dapat memahami pengetahuan metodologis saya. Bukan semacam “counter attack”. Ternyata, komentar saya membuat Pak Amir tambah “bersemangat” menghadapi saya. Sebagai seorang yang lahir di tahun kuda dengan zodiak Taurus, saya justru merasa lebih tertantang menghadapi semangat Pak Amir yang semakin meninggi itu dengan argumen-argumen lain. Namun, sebelum saya sempat melontarkan argumen, Prof. Halide menginjak kaki saya sambil memberi isyarat dengan lirikan. Saya mengerti isyarat itu. Artinya, menyuruh saya diam. Membiarkan Pak Amir berkomentar terus. Jadilah Prof Halide sebagai “penyelamat” situasi ketika itu. Soalnya, tidak lama kemudian Pak Amir berkata kepada saya.
“Lebih baik “you” pergi sekolah lagi. Ke mana saja saya akan bantu”.
Sesudah itu beliau meninggalkan kami tetapi tetap tanpa senyum. Sebenarnya, gelagat bahwa Pak Amir tidak menyetujui pendapat saya sudah terlihat selama presentasi. Sebab, beliau terus menatap saya tanpa senyum sambil menggelengkan kepala. Juga tanpa kedip. Bagi yang sudah kenal beliau tentu maklum isyarat Pak Amir. Gelengan kepala tidak hanya sekadar tanda tidak setuju, tetapi sekaligus mengisyaratkan “penyesalan” yang dapat berujung menjadi kemarahan kepada orang yang pendapatnya secara prinsipil dianggap salah (dalam kasus ini, saya)”.
Kocak
Pak TR merupakan seorang sahabat yang sangat menyejukkan. Apalagi kalau Pak TR jalan bareng dengan alm. Pak Radi. Situasinya betul-betul kocak dan “kacau”. Saya selalu menikmati kalau mendampingi Pak Radi dan Pak TR guru besar Ilmu Sosiologi Fisip Unhas ini bergabung.
Pernah sekali waktu, Pak Radi dan Pak dr.Bempa Mappangara (alm) sama-sama menunggu kedatangan Pak TR dari Belanda. Waktu itu, Pak TR menjabat Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di Den Haag, setelah menuntaskan masa jabatan yang sama di Port Moresby, Papua Nugini, Pada hari yang dijadwalkan tiba di Jakarta, Pak Radi mengontak Pak TR melalui telepon genggam.
“Tandi, di mana ko?,” begitulah gaya Pak Radi jika menelepon sahabat kentalnya itu.
“Baru ka tiba ini!,” jawab Pak Tandi.
“La**mu,” tiba-tiba saja Pak Radi berkelakar nakal kemudian segera mengalihkan telepon ke tangan Pak Bempa Mappangara.
“La**mu juga,” balas Pak TR merespon ucapan Pak Radi, padahal telepon sudah menempel ke telinga Pak Bempa.
“Ihh… kenapa ini?,” Pak Bempa yang terkejut mendengar ucapan balasan Pak TR yang sebenarnya ditujukan ke Pak Radi, heran dan balik bertanya.
“Ihhh. Pamopporanga, Puang (maafkan saya, Pak).” Pak TR segera meluncurkan permintaan maaf begitu mendengar kalimat tanya dari Pak Bempa.
“Itu…Radi, betul-betul kurang asam, Puang yang dapat getahnya,” kata Pak TR sembari terkekeh.
Kini, pendidik dan peneliti yang ulet itu telah tiada. Saya beruntung sempat mengenal dan pernah berinteraksi dengannya. Dia sosok yang sarat dengan gagasan dan pandangan. Sebagai peneliti, saya masih ingat suatu penelitiannya tentang keberpihakan peningkatan pendapatan daerah dikaitkan dengan kesejahteraan rakyat. Bahkan penelitiannya yang berkaitan dengan peraturan daerah (Perda) yang tidak pro-rakyat pernah saya jadikan “proposal” bahan laporan investigatif saat mengikuti “training of trainer” (ToT) Uji Kompetensi Wartawan (UKW) tingkat nasional yang dilaksanakan Lembaga Pers Dr.Soetomo-Yayasan Tifa, 11-12 Januari 2011 di Jakarta.
Sejak terkena stroke saya tidak pernah bertemu dengan Pak TR. Keadaan kemudian kian membatasi pertemuan menyusul datangnya pandemi Covid-19 awal 2020. Bahkan, ketika dalam tubuh yang terkena stroke Pak TR datang membesuk sahabatnya, beberapa hari sebelum Pak Radi berpulang, saya pun tak sempat bertemu. Keadaan masih dalam ancaman Covid-19 ini, hingga kepergian Pak TR pergi saya pun tak bertemu lagi.
“Masih abadi dalam ingatan saya, Prof Tandi, dalam keadaan stroke minta dijemput untuk bersama-sama menjenguk Prof Radi A Gany di rumahnya, sekitar dua bulan sebelum Prof Radi A Gany meninggal,” tulis Kak A.M.Sallatu di Harian Tribun Timur.com, 31 Januari 2022.
Pak TR dilahirkan di Tana Toraja 3 Mei 1942, meninggalkan seorang istri dr. Margaretha, dua anak dan tiga cucu. Almarhum merupakan putra pasangan Yermias Tandi-Damaris Lambet Andi Lolo. Selain pernah menjabat Atase Pendidikan dan Kebudayaan Papua Nugini di Mort Moresby dan Negeri Belanda di Den Haag, Pak TR pernah menjabat Bupati Tana Toraja 1989-1995.
Jenazah Pak TR 2 Februari 2022 dibawa ke Tana Toraja untuk dimakamkan sembari menunggu dua putrinya yang belajar di luar negeri.
Penulis M. Dahlan Abubakar, Dosen Tidak Tetap Unhas
Sekaligus Penasehat Ahli PK identitas Unhas