Hidup ini sering kali mempertemukan kita dengan perpisahan yang terlalu dalam untuk diselami, dan kau, Eky, adalah salah satu yang datang untuk mengisi banyak ruang dalam hidup kami.
Sungai itu terus mengalir, meski alirannya kini terasa lebih sunyi. Eky atau Eki (begitu orang-orang kerap memanggil namamu) yang riangnya seperti riak air di permukaan. Kini ia sudah tiada, meninggalkan kita semua dalam kesedihan yang tak terungkap. Tapi jika ada satu hal yang pasti, itu adalah kebaikanmu yang mengalir lebih deras dari air yang mendekapmu malam itu.
Aku ingat betul pertama kali kita bertemu. Ada sesuatu tentang dirimu yang langsung terasa akrab, mungkin karena senyummu yang sangat luas atau cara bicaramu yang tak pernah terputus. Percakapan kita dimulai saat kulihat koleksi stiker band di laptopmu, dan kita mulai membicarakan tentang Rock In Celebes, festival musik yang selalu kau nantikan. Lalu, obrolan itu berlanjut seperti air di sungai yang tak pernah habis.
Kita berbicara tentang musik dan kau membagikan lagu favoritmu yang katamu menjadi pelarian dari dunia yang tak pernah benar-benar diam. Kau sering bercerita tentang lirik dari Feast. dan Rumah Sakit yang selalu menggetarkan hatimu, dan bagaimana kau selalu menunggu kedatangan band andalanmu, seperti Perunggu.
Dari sana, pembicaraan mengalir tentang kegelisahan dalam hidupmu yang sering kali datang tanpa alasan, dan kebahagiaan yang kau cari-cari. Kau selalu membicarakan masa depan, tentang mimpi-mimpi sederhana, seperti membuat orang tuamu bangga, hingga mimpi besar yang kau anggap sebagai panggilan hidupmu.
Bersama motor lawas yang setia menemanimu, kau senang bersenandung di sana. Seolah dunia ini milikmu. Meski motor itu kerap membuatmu merutuk, “Dingin ki motorku, tunggu dulu…” sembari menghidupkannya, kau kembali melaju tanpa ragu. Begitu juga dengan hidupmu–selalu melaju. Dan ‘kita’, yang sering kali khawatir atau bahkan merasa kesulitan dengan hidup selalu bisa mengandalkanmu. Kau ada, Eky. Ada untuk menemani.
“Minta maaf ka nah sodara,” ucapmu ringan, seolah repot adalah bahasa lain dari cinta. Kau seperti pemintal bahagia yang diam-diam menanggung lelahnya sendiri, selalu menjahit tawa meski benangmu hampir habis.
Layaknya seorang kakak, kau juga selalu menjadi peneduh yang tak pernah diminta. Seperti sedang menyaksikan adik-adikmu yang menggiring bola di lapangan, lalu kau bertepuk tangan paling keras dan berteriak paling lantang, bahkan saat mereka kalah. Karena bagimu kemenangan hanyalah bumbu tambahan yang tak begitu penting.
Entahlah, mungkin pria berkulit sawo matang ini memang lebih dewasa untuk mengerti bagaimana arus kehidupan ini bekerja. Ia selalu menjadi orang yang tahu cara membuat dunia terasa lebih dekat.
Kabar yang tak bahagia
23 Januari 2025 menjadi hari yang cukup menyesakkan. Kali ini, Eky, kami harus melepaskanmu. Terlalu berat rasanya. Seperti kehilangan bagian dari diri kami yang sudah sangat akrab. Kau hilang, hanyut dibawa air, katanya.
Wisata Alam Biseang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, menjadi saksi terakhir keberadaanmu. Semua harapan kami menempel erat pada doa, berharap kau baik-baik saja. Beberapa kawanmu bahkan rela menerobos dinginnya malam dan menatap derasnya arus dengan cahaya remang hanya untuk menemukanmu.
Namun, waktu seakan mempermainkan kami. Harapan yang kami jaga seperti nyala lilin di tengah badai perlahan meredup. Pukul 23.15 Wita, kabar itu datang seperti air bah yang menghanyutkanmu. Kau ditemukan, Eky. Tapi tidak dalam keadaan yang kami harapkan.
Kau telah pergi, meninggalkan dunia ini dengan caramu sendiri, seolah berkata, “Tak perlu lagi repot-repot menungguku dan mencemaskanku”, sama seperti kebiasaanmu.
Tangis pecah di malam itu. Semua yang dekat denganmu berdiri di antara rasa kehilangan dan ketidakpercayaan. Ibu dan adik-adikmu, yang selalu kau jaga dengan penuh cinta mendekap hatinya yang hancur seketika. Seolah sungai membawa namamu pergi.
Kau, yang sempat menjanjikan menyelesaikan tugas akhir bersama, kini pergi meninggalkan mimpi yang belum sempat kau rengkuh. Skripsi yang sedang kau tulis hanya menjadi kenangan yang kau tinggalkan. Seminar hasil yang kau rencanakan tak pernah terjadi dan toga yang seharusnya kau kenakan hanya akan menjadi bayangan.
Sejujurnya, kami tak tahu apa yang lebih berat: melepaskanmu atau mencoba mengerti kenapa kau harus pergi begitu cepat? Kini, kami semua berdiri di tepian sungai kehidupan, menyaksikanmu melintas jauh di depan.
Beristirahatlah dengan tenang saudara/teman/sahabat kami, Muhammad Rezky Hafidzzur Rahim.
Nur Muthmainah