“Kamu kelihatan beda. Kok makin kurusan/gemukan?”
“Baju kamu gak cocok. Coba pakai yang lain”
“Kamu yakin mau ambil jurusan itu? Nanti kerja di mana?”
“Kenapa kamu pendiam banget? Jadi orang harus lebih ceria dong!”
Kalimat seperti ini mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang. Namun bagi yang menerimanya, ia bisa saja merasa tersinggung, kepikiran, bahkan menjadi pemicu kecemasan yang tidak wajar.
Ketakutan akan opini atau anggapan orang lain ini dikenal dengan istilah Fear of People’s Opinion (FOPO). Istilah ini dipopulerkan oleh seorang psikolog asal Amerika Serikat, Michael Gervais dalam bukunya yang berjudul “The First Rule of Mastery: Stop Worrying About What People Think of You”.
Michael mengungkapkan ketakutan terhadap pendapat orang lain dapat menghambat seseorang mencapai potensi terbaiknya. Penjelasan tersebut juga mengungkapkan masih banyak orang yang terlalu fokus pada penilaian dan validasi dari orang lain, sehingga membuat mereka terbatas untuk berpikir dan bertindak secara autentik.
Tak jarang, kita menjumpai individu yang selalu menjadikan komentar dari orang lain sebagai standar. Padahal kondisi seperti itu justru tidak baik bagi perkembangan diri.
Dalam kacamata psikologi humanistik—aliran psikologi yang memandang bahwa setiap individu memiliki potensi—seseorang tidak dapat mencapai potensi optimalnya jika terus bergantung pada pendapat orang lain. Salah salah tokoh dalam aliran ini, Carl Rogers menekankan pentingnya penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) untuk mendukung perkembangan individu.
Artinya, dalam permasalahan FOPO, opini secara langsung maupun tidak langsung terkadang menjadi penerimaan yang bersyarat. Sehingga muncullah rasa khawatir terhadap pandangan orang lain.
Misalnya, ketika seseorang mendapatkan komentar yang mengatakan bahwa dirinya “terlalu pendiam”, membuat mereka terpaksa berubah agar diterima oleh lingkungannya. Padahal, perubahan yang didasarkan pada tekanan eksternal sering kali tidak membawa kebahagiaan, justru menambah kecemasan karena selalu takut tidak memenuhi ekspektasi orang lain.
Gambaran tersebut merujuk pada self concept yang tidak berkembang dengan autentik atau “tidak sehat”. Dalam teori Rogers, penilaian dari orang lain sebagai ideal self (diri yang diinginkan) dapat menyebabkan terjadinya incongruence (ketidakselarasan) dengan real self (diri yang sebenarnya). Selain menghambat perkembangan diri, hal semacam itu juga dapat berdampak pada kesehatan mental.
Individu yang terus-menerus merasa tidak cukup baik atau takut tidak sesuai dengan keinginan orang lain cenderung mengalami kecemasan, stres, bahkan depresi. Mereka mungkin kehilangan kepercayaan diri, hingga mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan karena selalu mempertimbangkan pendapat pihak lain terhadap pilihan mereka.
Lantas, apakah kita harus menolak pendapat dari orang lain dengan mentah-mentah? Tentu tidak. Hanya saja, pendapat tersebut tidak dijadikan standar atau patokan untuk diri sendiri. Kita perlu menyaring terlebih dahulu mana pendapat yang membangun dan mana yang tidak.
Ada kalanya kita tidak mengetahui perilaku sendiri namun tampak dari pandangan orang lain atau yang dikenal dengan istilah blind spot (titik buta). Dalam teori Johari Window ini, blind spot muncul karena adanya keterbatasan diri dalam introspeksi, sehingga memang diperlukan umpan balik dari orang lain.
Lalu, bagaimana caranya menyeimbangkan masukan dari orang lain dengan kepercayaan diri? Kita perlu memahami bahwa setiap individu memiliki keterbatasan, bahkan untuk mengenali dirinya sendiri.
Maka dari itu, perlu adanya self-awareness (memahami diri) dan self-acceptance (penerimaan diri). Tidak semua blind spot harus disesuaikan dengan cara yang orang lain inginkan. Setiap individu memiliki hak terhadap diri sendiri untuk bertindak dalam hal tersebut.
Hal ini juga berlaku ketika berperan sebagai orang yang memberikan opini. Kita juga perlu untuk selalu aware terhadap apa yang akan diujarkan.
Bukan berarti diam begitu saja, tetapi sebaiknya disampaikan dengan asertif. Pilih kata-kata yang lebih positif, membangun, dan berenergi tinggi sebelum diungkapkan kepada penerima opini.
Dewasanya, kita perlu terbuka terhadap segala masukan dari luar sebagai bentuk pengembangan diri. Masukan itu bisa saja sesuatu yang membangun atau sebaliknya, tergantung dari diri sendiri yang memandangnya seperti apa.
Jum Nabillah
Mahasiswa Fakultas Kedokteran 2022
Sekaligus Litbang SDM PK identitas Unhas 2025
