Sejak memasuki perkuliahan empat tahun silam, entah angin apa yang membawa saya menggeluti dunia jurnalistik. Tepatnya, menjadi Reporter di Penerbitan Kampus identitas Universitas Hasanuddin (Unhas).
Mengenang kembali apa yang terjadi di tahun 2016, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kampus Merah ini, mencoba menemukan jati diri. Maklum, sebagai pendatang baru di kota, saya ingin mendapatkan sesuatu selain dari ilmu di bangku kuliah.
Akhirnya, takdir membawa saya mengenal identitas di Gelanggang Olahraga (GOR). Tempat awal kami diterima sebagai mahasiswa baru. Saat itu, sejumlah mahasiswa membagikan koran identitas. Mereka para wartawan kampus juga menawarkan formulir untuk bergabung di identitas.
Bak gayung tersambut, tanpa pikir panjang saya langsung mendaftar. Hanya saja, belakangan nasib berkehendak lain. Aktivitas di luar perkuliahan membuat kondisi kesehatan tidak bersahabat. Makanya, baru pada perekrutan tahun 2017, saya mencoba memulai apa yang sejak awal saya inginkan.
Lagi-lagi perjalanan waktu berkata lain. Upaya untuk bertahan dan menjadi reporter yang beraktivitas sebagaimana mestinya, tidak pernah tercapai. Menyeimbangkan jadwal perkuliahan yang padat, serta kegiatan di luar kampus, ditambah dengan kondisi kesehatan yang kadang tidak bisa kompromi. Jadilah, saya sebagai kru identitas yang keluar masuk, kalau tidak dikatakan keseringan mendaftar.
Belakangan ini, ketika jadwal kuliah sudah tidak padat, saya mencoba eksis sebagai bagian dari identitas. Kini, sebagai yang sudah tergolong senior, saya berupaya mengikuti irama menyesuaikan jadwal terbit identitas. Yah, di awal bergabung, langsung mendapat kesempatan menggunakan kamera di tengah-tengah aksi mahasiswa. Setelah itu, penugasan foto sudah menjadi langganan, menjadikan diri sering jalan ke mana-mana hingga ke luar kampus.
Saya jadi gemar berpetualang, bertemu orang dengan berbagai jabatan dan karakter untuk sebuah jepretan kamera. Hingga bunyi jepretan, tidak asing lagi, menganggap kamera bukan hanya alat untuk memotret saja tetapi teman dari berbagai kondisi liputan di lapangan. Tidak mengherankan saking cintanya, pasti risih atau cemas bila kamera dipegang sembarangan orang. Apalagi saat di lapangan ada saja orang yang melarang untuk motret, hingga berujung ke file foto dihapus. Bahkan tuduhan merupakan hal yang sudah biasa dilontarkan ke saya. Hal seperti itu bukannya membuat saya kapok, malah menjadi tantangan dan menambah semangat liputan.
Setiap tugas peliputan foto punya kendala dan tantangan. Mulai dari yang biasa saja seperti motret wisuda, liputan menegangkan ketika demonstrasi, kebakaran, kecelakaan hingga liputan tragis seperti kematian mahasiswa di pondokan. Ketika mendapati tugas peliputan seperti itu, bukan hanya soal teknis, tapi perlu mempersipkan mental. Apalagi mereka yang pertama kali melihat langsung mayat yang mengapung di kolam ikan. Butuh sugesti tersendiri untuk tetap tenang dan berani mengabadikan momen.
Pengalaman-pengalaman tersebut, bukan menjadikan seorang fotografer dianggap jago. Melainkan membuat kita ingin terus belajar dan merasakan berbagai kondisi berbeda dari sebelumnya yang pernah dialami. Tentu ada kepuasan tersendiri, saat menghasilkan gambar dengan berjuta cerita.
Hasil foto tak selamanya berpatokan pada seberapa jago tekniknya, tapi fotografer musti bersabar untuk menunggu momen, karana hal itu tidak bisa dibuat-buat. Cukuplah pembaca paham, seorang fotografer adalah seorang yang sabar, tidak terburu-buru. Kalau tidak sabar, pastilah momen itu bisa hilang dalam sekejap.
Dibanding itu, seorang fotografer setelah memotret, tidak langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Perlu pendekatan atau memiliki kepekaan mengkondisikan diri dengan lingkungan. Seperti sebelum melakukan sesi foto, mengajak berbicara dan baiknya mencari tahu agak mendalam siapa yang difoto.
Saat ini, saya belum tahu apa keahlian yang saya dapat selama ber-identitas. Apakah saya sudah menjadi fotografer baik, ataukah seorang reporter? Yang pasti, saya tidak mau berpuas diri. Belajar dan belajar. Itu saja.
Arisal