Pernikahan merupakan bagian dari kegiatan sakral yang telah dilakukan manusia jauh sejak dimulainya peradaban di masa lampau. Dalam perkembangannya, kegiatan ini pada umumnya dibalut oleh beberapa ritual budaya yang dianut masyarakat setempat, sehingga menjadi sebuah tradisi yang sangat melekat pada budaya-budaya lokal. Itu pula yang terjadi pada tradisi pernikahan dalam adat suku Makassar.
Dalam proses pernikahan suku Makassar dikenal sebuah tradisi yakni Pakkio’ Bunting. Pakkio’ Bunting secara etimologi berasal dari dua suku kata yakni Pakkio’ berarti pemanggil atau penyambutan dan Bunting berarti pengantin atau mempelai. Pakkio’ Bunting sejatinya merupakan alunan syair-syair atau sastra lisan Suku Makassar berupa serangkaian larik-larik puitis. Syair-syair tersebut kemudian kerap dilantunkan dalam prosesi penyambutan pengantin.
Tradisi ini menjadi hal yang perlu dilaksanakan dalam kegiatan pernikahan di suku Makassar mengingat masyarakat yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan setempat. Namun sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ini seolah mulai ditinggalkan. Padahal tradisi ini menjadi sebuah kegiatan yang memiliki makna simbolik tertentu.
Melihat keresahan akan mulai pudarnya tradisi tersebut, Dosen Ilmu Komunikasi (Ilkom) Unhas, Nosakros Arya S Sos M I Kom bersama beberapa mahasiswa melakukan penelitian yang dituangkan dalam artikel berjudul “Analisis Makna Simbolik Tradisi Pakkio’ Bunting Pada Perkawinan Adat Suku Makassar.”
Dalam wawancaranya bersama Identitas Unhas, Rabu (15/6) Nosakros memaparkan bahwa ide penelitian ini pada awalnya bersumber pada keinginan mahasiswa yang mengikuti kegiatan Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM). Adanya ini untuk melestarikan tradisi yang mulai hilang itu, lokasi penelitian dipilih berdasarkan asal daerah si mahasiswa tersebut yakni di Kabupaten Jeneponto.
“Kita melihat budaya ini sudah mulai pudar. Jadi memang kita fokus pada titik pelestariannya. Sebenarnya itulah yang menyebabkan kita tertarik. Tapi karena kita dari perspektif komunikasi ya memang salah satu fungsi komunikasi kan adalah bagaimana mewariskan nilai-nilai budaya luhur ya, jadi akhirnya kena ke situ,” katanya.
Penelitian tersebut menggunakan metode netnografi, pengamatan terhadap sebuah kebudayaan masyarakat melalui ruang maya. Nosakros mengatakan, metode ini cenderung baru sehingga layak untuk dicoba. Selain itu, meningkatnya penularan wabah COVID-19 saat masa penelitian membuat metode ini kian menjadi pilihan utama.
Lanjut, ia menyampaikan bahwa apa yang ada di internet merupakan representasi dari kehidupan yang nyata dialami oleh masyarakat di dunia nyata. Sehingga, hal itu menarik untuk diteliti lebih jauh di dunia digital. Ia tengah mencoba untuk memberi penguatan terhadap apa yang ditemukan di dunia nyata.
Nosakros menggunakan beberapa sampel yang diwawancarai secara langsung melalui panggilan video. Narasumbernya terdiri dari dua kategori, pertama narasumber pakar yang secara jelas mengimplementasikan tradisi tersebut, kedua narasumber yang tidak melaksanakan tradisi Pakkio Bunting itu.
Seorang narasumber yang merupakan penerus Kerajaan Barombong, Daeng Beta. Ia yang masih melakukan tradisi tersebut. Daeng Beta mengamini bahwa pelaksanaan tradisi Pakkio’ Bunting saat ini sudah sangat jarang dilakukan. Ia menyayangkan hal tersebut karena bait-bait syair Pakkio’ Bunting pada dasarnya mengandung nilai-nilai yang dapat mempererat interaksi antar kedua keluarga mempelai.
Nilai-nilai tersebut meliputi nasehat mengembangkan tanggung jawab, menjaga kesetiaan terhadap pasangan, dan anjuran membiasakan hidup sederhana. Dengan demikian, penyambutan pengantin yang disertai dengan syair Pakkio’ Bunting selain sebagai hiburan, menambah kemeriahan suasana pesta perkawinan serta memberi nilai tambah dengan penghayatan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam syair.
Narasumber kedua, yang menurut Nasakros menolak disebut namanya, mengaku tidak melaksanakan tradisi tersebut karena tidak ada anjuran dari pihak keluarga. Dikatakan bahwa pelaksanaan tradisi tersebut sebenarnya didasarkan pada kedekatan keluarga terhadap adat.
Selain itu, ketidaktauan masyarakat terhadap tradisi tersebut juga menjadi faktor utama tergerusnya tradisi ini. Dalam tradisi keluarga suku Makassar, komunikasi terkait tradisi itu memang sudah tidak lagi dibangun.
Zaman yang semakin berkembang yang diperkaya oleh kecanggihan teknologi informasi membuat masyarakat berpikir bahwa konsep pernikahan yang baik adalah yang lebih berbau modern, jauh dari hal-hal tradisional. Itu juga berkaitan dengan jati diri, yakni pelaksanaannya bergantung pada lingkungan si mempelai.
Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak ada sanksi sosial yang jelas didapatkan jika tidak melaksanakan tradisi ini, dan itu kembali lagi bergantung pada lingkungan keluarga mempelai.
“Kalau sanksi sosial mungkin sekarang tidak ada, tetapi konsepnya ketika dia berada di sebuah lingkungan yang tradisinya seperti itu masih kuat dan tidak melakukannya, maka tentu dalam lingkungannya dia akan mendapat sanksi sosial meskipun secara tidak langsung,” kata Nosakros.
Ia mengaku tidak berani untuk membahas lebih lanjut terkait hal tersebut mengingat bahwa hal itu bukanlah menjadi kajian utama dalam penelitiannya.
Menurut Nosakros, ada potensi untuk kembali membangkitkan kebudayan ini, namun itu bergantung pada semua elemen masyarakat terutama para pengambil kebijakan. Ia menekankan bahwa pemerintah harus melakukan sosialisasi untuk melestarikan ini. Selain itu, anak muda juga sangat berperan besar. Nosakros menyerukan agar pemuda bisa lebih bangga dengan kebudayaan lokal.
Ditanya terkait kesulitan yang dihadapi dalam penelitiannya, Nosakros mengaku penelitiannya harus dilakukan lebih lama karena sulit menemukan narasumber mengingat metode penelitian yang dilakukan secara daring. Kendati begitu, hal tersebut dapat diatasi dengan bantuan berbagai pihak. Ia mengaku mendapatkan informasi terkait beberapa narasumber dari narasumber lain yang ia wawancarai.
Ia berharap penelitian ini bisa menjadi sebuah pertimbangan oleh para pengambil kebijakan terkhusus pemerintah, untuk melihat bahwa ada tradisi yang penting dan unik untuk dilestarikan.
Zidan Patrio