Seluruh dunia sedang dilanda pandemi. Semua aktivi- tas termasuk perkuliahan dirumahkan. Tak ada lagi pertemuan tatap muka seperti biasanya. Juga bimbingan, seminar, dan ujian, semuanya terlaksana secara online.
Ada yang mulai terbiasa dengan sistem online, tetapi tak sedikit pula yang mengalami kesulitan dan terhalang akibat situasi pandemi saat ini, terkhusus mahasiswa tingkat akhir yang tengah berjuang menyelesaikan skripsi. identitas mengumpulkan cerita suka duka dan kekhawatiran mahasiswa tersebut dalam menyelesaikan tugas akhir di tengah gempuran wabah covid-19.
Lomo, mahasiswa perikanan Unhas yang akan melakukan penelitian terkait partisipasi masyarakat di Jeneponto terpaksa menunda penelitiannya hingga wabah covid-19 berakhir. Padahal ia telah berencana turun lapangan pada bulan Maret kemarin. Apa daya, segala aktivitas di luar rumah mesti dihentikan.
“Sebenarnya pertengahan bulan tiga saya sudah siap ke lapangan ambil data. Sementara saya urus surat izin, minggu depannya kampus sudah tertutup,” katanya kepada identitas, Sabtu (16/5).
Untungnya, mahasiswa angkatan 2014 ini masih memiliki batas waktu hingga akhir tahun depan. Lalu, bagaimana dengan mahasiswa angkatan 2013 yang sudah harus menyelesaikan studinya tahun ini? Nursakinah, mahasiswa sastra inggris angkatan 2013 menyampaikan bahwa ia tidak menemukan kendala berarti dalam menyelesaikan skripsinya. Sebab ia telah menyelesaikan penelitian jauh sebelum pandemi terjadi. Saat ini, ia sedang sibuk memperbaiki bab empat skripsi miliknya.
Selain itu, berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Nadiem Makarim, nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tanggal 17 Maret 2020, mahasiswa yang terancam DO tahun ini memperoleh tambahan satu semester. Sedangkan penerapan peraturan itu dikembalikan ke pihak universitas. “Sekretaris jurusan sudah menginformasikan hal tersebut,” ucapnya saat dihubungi identitas via WhatsApp, Minggu (17/5).
Bagi yang bernasib sama dengan Nursakinah tentu boleh bernapas lega. Namun, peraturan itu tidak berlaku bagi mahasiswa angkatan 2013 yang masih memiliki mata kuliah di semester ganjil ini. Hal tersebut disampaikan Dewi Ananda, mahasiswa sastra inggris angkatan 2013.
“Yang dapat kebijakan hanya mahasiswa yang sisa skripsi. Yang masih ada sangkut pautnya sama matakuliah tidak mendapatkan perpanjangan satu semester,” ucapnya.
Cerita suka duka ini tidak hanya datang dari mahasiswa angkatan 2013 dan 2014 saja. Ada juga cerita dari mahasiswa angkatan 2016 terkait bimbingan online dan seminar online. Misalnya saja, Ridwan, mahasiswa teknik pertanian yang telah melaksanakan seminar hasil secara online. Dia mengaku, seminar hasil online ini justru lebih mudah dibanding jika seminarnya dilaksanakan secara langsung.
“Saya merasa ini jauh lebih mudah karena masalah surat, undangan ke semua dosen, tanda tangan ini itu, semuanya tidak ada. Seminar saya pun lancar. Sebenarnya, cuma butuh laptop dan jaringan yang kuat dan syukur keduanya memadai,” katanya, Sabtu (16/5).
Ridwan juga menyampaikan bahwa alur pelaksanaan seminar hasilnya pun cukup sederhana. Ia hanya melaporkan ke panitia seminar yang merupakan dosen di jurusannya bahwa dia telah diizinkan oleh dosen pembimbing untuk seminar hasil. Selebihnya diatur oleh pihak panitia seperti bentuk penilaian, perizinan, dan pelaporan ke atasan. “Yang saya kumpulkan itu hanya draf hasil dan power point saya,” imbuhnya.
Beda Ridwan, beda pula Sinar Indriani. Mahasiswa geofisika yang telah melaksanakan seminar proposal online ini mengalami kendala saat mengurus administrasi. Tak seperti Jurusan Teknik Pertanian, Jurusan Geofisika mewajibkan peserta seminar proposal mengurus beberapa persuratan.
“Di departemen geofisika itu belum pernah diadakan seminar secara daring, jadi masih meraba-raba mekanisme seminarnya bagaimana nanti, persuratannya juga. Karena saya hubungi bagian akademik lewat WhatsApp jadi kadang lambat respon,” keluhnya.
Untungnya, draf proposal telah ia selesaikan sebelum ada imbauan untuk tetap di rumah saja. Sedangkan mahasiswa sastra inggris, Madeline Yudith, sejak SK Pembimbing terbit tanggal 21 Februari, ia belum pernah sekali pun mendapatkan bimbingan online. Ia telah beberapa kali menghubungi kedua pembimbingnya melalui WhatsApp dan mengirimkan draf proposal ke email masing-masing pembimbing, tetapi hingga kini tak ada respon sama sekali.
“Berbeda dengan teman-teman yang beruntung mendapat dosen pembimbing yang aktif memberikan bimbingan. Saya merasa dirugikan dengan sistem bimbingan online seperti ini,” keluhnya, Sabtu (16/5).
Tak hanya Medi, begitu ia disapa, yang merasakan hal itu. Sejumlah teman dengan pembimbing yang sama dengan dirinya juga mengalami hal serupa. “Saya memiliki grup bimbingan di bawah dosen yang sama, berjumlah sembilan orang. Belum lagi ada beberapa teman dekat saya yang curhat secara personal. Kira-kira belasan orang yang mengalami hal yang sama,” pungkasnya.
Begitulah sekelumit kisah perjuangan mahasiswa tingkat akhir yang sedang berjuang demi memperoleh gelar sarjana di tengah terpaan pandemi covid-19.
Tim Laput