Saat memasuki usia dewasa, manusia semakin membutuhkan pasangan dalam hidupnya. Selain menjadi partner menua bersama, keberadaan pasangan juga dianggap dapat menyempurnakan ibadah seseorang. Dalam mengikat suatu hubungan secara sah, dua individu perlu untuk melaksanakan yang namanya pernikahan. Di Indonesia sendiri, upacara pernikahan telah menjadi salah satu tradisi budaya yang memiliki ciri khas masing-masing pada setiap daerah, salah satunya di kalangan suku Bugis.
Ketika kita berkunjung ke acara pernikahan masyarakat Bugis, tidak jarang kita melihat sepasang atau lebih anak kecil memakai pakaian adat yang hampir mirip dengan pengantin. Mereka berada di samping mempelai saat berada di pelaminan. Dalam bahasa daerah, pendamping pengantin ini biasa kita sebut dengan passepi’ botting.
Kehadiran passepi’ botting dalam pernikahan masyarakat suku bugis memang sudah tidak asing lagi dan sering menjadi replika dari pengantin itu sendiri. Penggunaan passepi’ botting pun bermacam-macam pada setiap acara, ada yang menggunakan satu pasang bahkan lebih dari pada itu.
Melihat keunikan tersebut, salah satu mahasiswa magister Ilmu Antropologi Universitas Hasanuddin (Unhas), Andi Rahmawakiyah menjadi penasaran terkait peran dari passepi’ botting dalam pernikahan masyarakat Bugis tersebut. Ia kemudian tertarik untuk mengangkat hal tersebut menjadi sebuah penelitian sekaligus digarap sebagai tugas akhir.
Dalam wawancaranya bersama identitas, selasa (20/03), salah satu dosen pembimbing Andi Rahmawakiyah, Dr Tasrifin Tahara MSi memaparkan, isu terkait perkawinan Bugis ini cukup menarik. Pasalnya, beberapa nilai-nilai kebudayaan pada adat ini cukup kontroversi di masyarakat. Salah satunya perdebatan terkait besaran uang panai’ atau mahar pengantin. Selain itu, dosen Antropologi tersebut melihat, penggunaan passepi’ botting memiliki kecenderungan sebagai ajang unjuk status sosial maupun peran dalam masyarakat.
Selain itu, pemilihan lokasi yang berada di Kabupaten Soppeng membuat penelitian ini menjadi menarik karena di daerah tersebut menyimpan kebudayaan tua Bugis. Penelitian terkait perkawinan juga telah terjadi di daerah ini sejak tahun 80-an. Salah satu antropolog asal Amerika, Susan Miller, melihat acara perkawinan di Soppeng ini sebagai ajang mobilitas status.
Jumlah passepi botting pada pernikahan adat Bugis khususnya di daerah Soppeng berbeda-beda, tergantung status dari sang mempelai. Jika hanya menggunakan satu passepi’ botting maka mempelai tersebut tergolong kedalam golongan ata’ atau to sama’ yang berarti orang biasa.
Pada resepsi golongan bangsawan yang dikategorikan sebagai bau, andi, atau petta, mempelai biasanya menggunakan dua pasang passepi’ botting. Sedangkan golongan bangsawan tinggi seperti raja atau datu, mempelai melangsungkan pernikahannya dengan menggunakan tiga pasang passepi’ botting.
Tasrifin melihat, penggunaan instrumen-instrumen pernikahan seperti passeppi’ botting dapat menegaskan posisi seseorang dalam masyarakat, sehingga orang-orang akan menunjukkan statusnya dengan membuat acara yang megah dan semeriah mungkin. Walaupun mungkin secara genetik darahnya tidak terlalu tinggi, akan tetapi jika ia memiliki status sosial misalnya punya jabatan, ekonomi, dan pendidikan yang tinggi, maka mereka akan membuat simbolisasi yang bagus, salah satunya dengan passepi’ botting ini.
“Sebenarnya, syarat pernikahan itu bukan dilihat ada atau tidaknya passepi’ botting. Akan tetapi memerlukan mahar, wali, mengucap ijab kabul dan lain sebagainya. Jadi hal ini hanya menjadi instrumen dan penegasan status saja karena acara pernikahan dikunjungi oleh banyak orang. Di situlah esensi pentingnya,” tutur Tasrifin.
Ia menambahkan bahwa keterlibatan anak-anak menjadi passepi’ botting hanya sebagai pemanis. Ini juga menjadi salah satu bentuk sosialisasi kepada anak-anak bahwa akan ada siklus hidup yang akan ia lalui saat menjadi dewasa.
“Secara antropologi, semakin banyak jumlah passepi’ botting berarti semakin banyak pula tingkat partisipasi pada acara pernikahan tersebut. Selain itu, jika dilihat dari segi fungsi bahwasanya semakin banyak pula energi dan biaya yang dikeluarkan,” tuturnya.
Di akhir wawancara, Tasrifin berharap penelitian seperti ini bisa menjadi upaya-upaya dalam memajukan kebudayaan dan menghargai warisan yang diturunkan dari para leluhur terdahulu. Sebab hal itu telah menjadi identitas yang melekat dalam masyarakat Bugis.
“Selain itu, pelestarian kebudayaan ini berperan sebagai penguatan harmoni dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan kita sebagai manusia yang bermartabat dan menghargai budaya leluhur,” ucapnya.
Tasrifin juga berpesan agar penelitian ini perlu untuk dikaji lebih dalam lagi dan melibatkan isu-isu aktual yang menunjukkan adanya perubahan sosial budaya dalam masyarakat.
Nurfikri