Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) telah mengesahkan penuh keputusan yang menempatkan Indonesia sepenuhnya dalam Wilayah Pasifik Barat atau Western Pacific Region (WPRO) pada sesi Sidang World Health Assembly (WHA) ke-78 di Jenewa, Swiss (23/05/2025).
Sebelumnya, Indonesia tergabung dalam Wilayah Asia Tenggara atau South East Asia Region (SEARO). Kepindahan ini tidak hanya bermakna geografis, tetapi juga menyangkut kebijakan kesehatan nasional di masa mendatang.
Perubahan tersebut membawa berbagai konsekuensi, mulai dari pendekatan kebijakan kesehatan yang lebih ketat dan berbasis regulasi, hingga peluang kolaborasi teknologi dan penguatan sistem kesehatan digital.
Di sisi lain, muncul pula kekhawatiran soal kesiapan Indonesia dalam menyesuaikan diri dengan standar baru yang lebih tinggi dan tantangan menjaga keberlangsungan program yang selama ini dikembangkan di bawah SEARO.
Apa makna strategis dari perpindahan ini bagi Indonesia? Bagaimana dampaknya terhadap sistem kesehatan nasional, termasuk kesiapan tenaga kesehatan dan peran perguruan tinggi?
Simak wawancara khusus Reporter identitas, Muh Fadhel Perdana bersama Guru Besar Administrasi dan Kebijakan Kesehatan sekaligus Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Sukri Palutturi SKM MKes MScPH PhD, Jumat (04/07).
Menurut Anda, bagaimana adaptasi keputusan WHO mengesahkan Indonesia berpindah ke wilayah WPRO secara penuh?
Keputusan WHO yang mengesahkan perpindahan Indonesia dari SEARO ke WPRO tentu kami pandang sebagai langkah strategis. Di satu sisi, hal tersebut merupakan peluang karena Indonesia kini bergabung dengan rumpun negara yang mayoritasnya negara-negara maju. Oleh karena itu, kita akan mulai beradaptasi ke arah tersebut.
Perpindahan ini juga sudah melalui proses konsensus antar negara anggota WHO. Secara geografis, posisi Indonesia memang lebih dekat dengan negara-negara anggota WPRO, seperti Malaysia, Singapura, dan Papua Nugini.
Siapkah sistem kesehatan kita menghadapi perubahan ini?
Menurut saya, Indonesia bisa banyak belajar dari negara-negara yang lebih dulu mengembangkan sistem digital terakses seperti dengan Singapura, Jepang, China, dan negara lainnya.
Kita bisa meningkatkan sistem digital terintegrasi dalam pelayanan kesehatan, mulai dari pencatatan pasien hingga pemantauan penyakit.
Posisi Indonesia bukan sebagai pendatang baru dalam interaksi dengan negara-negara ini. Sebelum-sebelumnya negara kita telah sering dengan melakukan kerja sama dengan Malaysia, Filipina, Australia, dan lainnya. Hanya saja, kini secara resmi WHO menempatkan kita di rumpun WPRO.
Perpindahan dari SEARO ke WPRO membuat Indonesia akan fokus dalam penekanan promotif dan preventif. Apa indikator jangka pendek yang bisa digunakan untuk menilai efektivitas kebijakan? Apakah kita bisa menggunakan pajak gula dan pelabelan gizi seperti yang telah diterapkan negara WPRO?
Sebenarnya, indikator untuk mengukur efektivitas kebijakan seperti pajak gula atau pelabelan gizi memang tidak bisa langsung dilihat dari penurunan angka diabetes, karena penyakit ini muncul di akhir rantai risiko.
Gula hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor risiko diabetes. Meskipun begitu, paling tidak kita bisa melihat beberapa perubahan perilaku masyarakat sebagai indikator jangka pendek.
Dulu, diabetes lebih banyak terjadi di daerah perkotaan dan identik dengan kelompok masyarakat yang mampu. Namun sekarang, kasus diabetes sudah banyak ditemukan di desa-desa dan juga pada kelompok masyarakat yang tidak tergolong kaya.
Ini tentu berkaitan erat dengan pola konsumsi masyarakat yang berubah. Salah satu indikator awalnya bisa kita lihat pada perubahan di layanan publik, misalnya di hotel atau restoran.
Kalau kita belajar dari negara-negara maju, mereka sudah tidak lagi secara otomatis menyediakan gula.
Bagaimana peran perguruan tinggi khususnya Unhas dan peluang kolaborasi ke depannya?
Kalau untuk konteks perguruan tinggi Indonesia, bahkan sebelum resmi pindah ke WPRO, sudah banyak kabupaten/kota yang menjalin kerja sama, terutama dalam hal penyelenggaraan program kabupaten/kota sehat.
Dalam banyak hal, Indonesia sebenarnya sudah sejak lama belajar dari Australia, salah satu negara anggota WPRO yang juga aktif mengembangkan konsep kota sehat.
Unhas sebagai perguruan tinggi, hal ini menjadi peluang besar untuk memperkuat kerja sama yang sudah ada, khususnya di bidang kesehatan. Misalnya, Indonesia bisa belajar bagaimana negara-negara di WPRO menangani isu stunting, mengendalikan kawasan tanpa rokok, dan membatasi konsumsi gula.
Bagaimana harapan Anda terhadap pemerintah terkait program makan bergizi gratis dan Asta Cita Prabowo Gibran? Apakah sejalan dengan pendekatan negara-negara WPRO?
Tentu harapan kita, program makan bergizi gratis ini bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk belajar dari negara-negara yang sudah berhasil, seperti Jepang.
Setahu saya, Jepang termasuk negara yang cukup sukses dalam menjalankan program serupa, terutama dalam konteks perbaikan gizi anak-anak sekolah.
Terkait Asta Cita yang menjadi arah pembangunan baru menggantikan SDGs, harapan kita kepada pemerintah agar semakin meningkatkan kepekaan terhadap sistem kesehatan nasional, memperkuat aspek pencegahan dan promosi kesehatan, dan mendorong integrasi inovasi serta teknologi ke dalam sistem kesehatan kita.
Dalam jangka panjang, tentu kita ingin melihat bagaimana Indonesia mampu menjalin kolaborasi lintas sektor dengan daya saing global. Untuk program makan bergizi gratis, saya kira Indonesia bisa banyak belajar dari pendekatan negara-negara di WPRO.
Informasi Narasumber
Prof Sukri Palutturi SKM MKes MScPH PhD
Riwayat Pendidikan
S1 Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Unhas
S2 Center for Environment and Population Health Griffith University
S3 Center for Environment and Population Health Griffith University
Penulis: Muh Fadhel Perdana
