Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Rabu (21/08), untuk menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemilihan Ketua Daerah (Pilkada) menuai penentangan keras dari berbagai pihak. Di media sosial, tagar #KawalPutusanMK pun ikut menggema.
Putusan MK Nomor 60 Tahun 2024 itu terkait dengan ambang batas pencalonan kepala daerah. Sementara putusan nomor 70 menetapkan syarat usia calon gubernur dan calon wakil gubernur harus berumur 30 tahun saat ditetapkan sebagai calon. Aturan inilah yang kemudian dibatalkan oleh DPR dengan taktik revisi Undang-Undang (UU) Pilkada dan memicu gelombang protes di berbagai wilayah tanah air.
Lantas bagaimana status dari putusan itu dan dampak yang ditimbulkan setelah dianulir oleh DPR? Berikut wawancara khusus Redaktur PK identitas Unhas, Zidan Patrio bersama Pakar Hukum Tata Negara Unhas, Prof Dr Aminuddin Ilmar SH MH, Kamis (22/08), di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas).
Apa yang melatarbelakangi adanya putusan Mahkamah Konstitusi terbaru ini?
Putusan MK ini muncul karena ada gugatan. Gugatan itu diajukan oleh partai politik yang tidak mendapat kursi di lembaga legislatif. Istilahnya adalah parpol non seat. Itu muncul dari dua partai yang baru terbentuk yaitu Partai Gelora dan Partai Buruh.
Adanya ambang batas di undang undang yang menyatakan 20 persen kursi harus terpenuhi atau 25 suara yang diperoleh untuk mengusung calon. Karena itu, parpol tersebut tuntutannya hanya satu, bagaimana mereka bisa mencalonkan pasangan calon kepala daerah dengan suara yang mereka miliki.
MK mengambil keputusan dengan dua dasar pertimbangan. Bahwa calon independen sudah diberikan ruang, kemudian partai yang memperoleh kursi juga diberikan ruang. Syarat usia juga dimajukan karena dalam UU sebelumnya untuk calon kepala daerah setingkat gubernur, minimal umur yang harus dipenuhi adalah 30 tahun pada saat ditetapkan sebagai pasangan calon.
Kemudian tiba-tiba ada gugatan yang menggugat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait syarat pencalonan ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA menyatakan bahwa umur calon harus 30 tahun saat pelantikan. Gugatan ini dianggap oleh sebagian besar orang sebagai akal-akalan untuk meloloskan anak seseorang yang berkuasa, karena nanti di bulan Desember anak itu baru berusia 30 tahun.
Bagaimana tanggapan Anda terkait putusan MK tersebut?
Sebagian rakyat menyatakan Putusan MK itu bagus sekali. Karena putusan itu sebenarnya menganulir dua kepentingan. Satu kepentingan orang yang hendak berkuasa dan belum memenuhi syarat. Kedua, keputusan ini juga menafikan hegemoni partai politik yang seenaknya berkoalisi menutup pintu ruang bagi calon yang lain. Dengan adanya putusan ini kemudian membuka ruang yang lebar untuk bisa mengusulkan pasangan calon kepala daerah.
Namun partai politik bereaksi dengan meminta wakilnya mengubah ketentuan dengan segera. Mereka tetap mengakomodasi putusan nomor 60 bahwa bahwa partai non kursi itu bisa mengusung calon dengan beberapa syarat. Mereka menyatakan, bagi partai yang sudah memiliki kursi tetap saja 25 suara atau 20 persen. Padahal ketetapan MK semuanya dihapus.
Jadi putusan MK semua tidak lagi didasarkan pada ambang batas perolehan suara, tetapi berdasarkan pada jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah masing-masing daerah, entah itu di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Sehingga tidak lagi menyatakan bahwa perolehan kursi partai itu pemegang tetap, semuanya sama. Jadi nanti dihitung berdasarkan suara, bukan lagi ambang batas suara.
Bagaimana dengan adanya pertentangan antara putusan MA dan MK?
Dalam rumusan putusan Balai Legislatif kemarin, ada dua putusan yang sama derajatnya, ada putusan MK dan satunya lagi dari MA. Ini berbeda, karena yang diuji di MA itu adalah peraturan KPU, di mana peraturan itu tidak sejalan dengan UU.
Mestinya yang dijadikan rujukan adalah putusan MK, karena MK adalah penguji UU. Karena syarat calonnya tetap usia 30 tahun maka tidak boleh ada interpretasi mengabaikan putusan MK.
Jika ada pilihan seperti itu, itu namanya tidak taat dan patuh. Di satu sisi, MA hanya mengadili pengujian di bawah UU, sedangkan MK itu menguji UU. Dasar untuk menentukan syarat calon dan pencalonan itu ada pada UU. Peraturan KPU itu sudah berdasarkan pada UU.
Jadi yang seharusnya dipatuhi sekarang itu putusan MK?
Iya, harusnya keputusan MK. Kenapa? Karena konsep keputusan MK itu ada dua, bersifat final dan mengikat. Begitu diputuskan, dengan sendirinya bersifat final. Tidak boleh lagi ada banding dan seterusnya. Tidak ada upaya hukum, pokoknya harus dijalankan dan mengikat bagi semua orang yang terkait.
Bagaimana dampak dari penganuliran DPR terhadap putusan MK?
Ini akan menimbulkan sengketa kewenangan antar lembaga negara dan itu akan sangat berbahaya. Kalau masing-masing lembaga negara tidak bisa memahami kewenangannya, batas kewenangannya seperti apa. Kan seperti ini DPR menggunakan kewenangannya karena dia disebut sebagai lembaga pembentuk UU. Di dalam pembentukan UU, itulah kemarin perdebatannya.
Sebagai lembaga pembentuk UU mereka merasa bebas memilih materi apa yang bisa diatur. Kan tidak bisa begitu. Anda boleh memilih materi yang bisa diatur, tapi kalau ada putusan yang mengikat terkait suatu hal tertentu anda tidak boleh bebas memilih bahwasanya saya hanya pilih MA tidak MK, tidak bisa begitu. Karena pengujian di MA dan MK itu berbeda. MK itu UU sedangkan MA di bawah UU yang hanya menguji peraturan KPU.
Apakah Putusan MK itu sudah bisa berlaku secara langsung?
Iya, jelas. Makanya kemudian ketentuan hukumnya menyatakan bahwa setiap keputusan MK itu bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak ada lagi upaya banding tidak ada lagi upaya kasar, berlaku seketika sejak diputuskan dan ditetapkan kemudian yang kedua bersifat mengikat.
Bukan hanya lembaga negara, tetapi semua kepentingan yang terkait dengan proses pemilihan kepala daerah itu mengikat. Jadi putusan itu harus dilaksanakan segera.
Oleh karena itu, semestinya bukan mengubah undang- undangnya, tetapi menegaskan bagaimana KPU mengubah peraturan teknisnya yang tidak sesuai dengan Putusan MK.
Jadi bagaimana KPU harus bertindak saat ini?
KPU pasti selalu menjadi acuannya. Aturan dasarnya pasti ada di dalam UU. Jadi kalau ada nanti UU ini disahkan yang bertentangan dengan keputusan MK, tentu kita menyatakan KPU membuat peraturan berdasarkan pada aturan yang sudah diamandemen.
Bagaimana jika putusan MK tidak diimplementasikan?
MK nanti akan membalas dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Bisa saja semua yang tidak memenuhi syarat menurut putusan MK pasti akan dibatalkan.
Kalau MK membatalkan, itu berarti proses pemilihan kepala daerah akan menjadi runyam. Pasti akan dilakukan proses pemilihan ulang sesuai dengan syarat dan ketentuan.
Bagaimana rakyat Indonesia harus menyikapi isu ini?
Kita harus mempertanyakan perilaku dari anggota DPR yang notabene disebut sebagai wakil rakyat. Sebagai wakil rakyat mestinya dia mendengar aspirasi kepentingan rakyat yang diwakilinya. Tapi kenapa mereka melakukan rapat dengan tiba-tiba tanpa mendengar aspirasi kepentingan rakyat. Padahal sebagian besar melalui medsos tergambar bahwa hampir seluruh rakyat Indonesia mengecam apa yang dilakukan oleh DPR.
Karena itu, mahasiswa mulai bergerak melakukan aksi sebagai bentuk keberatan rakyat. Kita berharap jangan sampai terjadi seperti di Bangladesh, karena kerugian yang timbul di sana sangat luar biasa.
Apa harapan Anda ke depannya?
Ke depannya kita harapkan bahwa semua proses negara hukum yang demokratis itu harus dikembalikan sesuai aturan dan ketentuan yang ada.
Boleh berkoalisi pada saat mencalonkan, tapi tidak boleh berkoalisi sampai kepada penyelenggaraan pemerintahan. Jika itu terjadi, siapa yang akan mengawasi? Yah nggak ada proses check and balance dong.
Informasi Narasumber:
Prof Dr Aminuddin Ilmar SH MH
Tempat dan Tanggal Lahir: Sengkang, 10 September 1964
Pendidikan:
S1 Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin, 1988
S2 dan S3 Ilmu Hukum, Universitas Airlangga