Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kementerian Negara menjadi UU pada 19 September lalu. Aturan ini menggantikan UU Nomor 39 Tahun 2008 bersamaan dengan pengesahan UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Dengan disahkannya UU ini, maka presiden terpilih, Prabowo Subianto, bisa dengan leluasa menambah jumlah kementerian setelah dilantik. Padahal, pembatasan jumlah kementerian perlu dilakukan agar pemerintahan bisa berjalan dengan lebih efisien.
Beberapa pakar menilai, penambahan jumlah kementerian hanya mendorong terjadinya tumpang tindih kebijakan, pembengkakan anggaran, dan terbukanya ruang bagi praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Berikut adalah wawancara Reporter PK identitas Unhas, Afifah Khairunnisa, bersama Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Prof Dr Sangkala MSi, Kamis (03/10).
Apa sebenarnya fungsi dari UU Kementerian?
Undang-undang ini menjadi pedoman bagi presiden dalam menentukan jumlah kementerian yang dibutuhkan untuk menyukseskan program-program kerja yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Oleh karena itu, perubahan dalam UU Kementerian bergantung pada presiden yang sedang menjabat.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih besar dari Indonesia, banyak dari mereka justru memiliki jumlah kementerian yang lebih sedikit. Ini menunjukkan bahwa jumlah kementerian yang terlalu banyak bisa menjadi beban, karena semakin besar jumlahnya, semakin sulit pula untuk dikoordinasikan.
Pada akhirnya, presiden saat ini memang memiliki keleluasaan dalam memutuskan jumlah kementerian sesuai dengan keinginannya.
Menurut saya, undang-undang ini seolah-olah mengikuti selera presiden. Seharusnya, undang-undang tersebut memberikan keleluasaan berdasarkan kebutuhan nyata, bukan sekadar preferensi presiden.
Bagaimana tanggapan Anda terhadap pengesahan UU Kementerian Negara dan UU Wantimpres?
Saya khawatir UU ini dibentuk untuk mengakomodasi tokoh-tokoh tertentu agar semakin kuat dalam mempertahankan kekuasaan politik dari presiden terpilih. Seperti yang kita lihat saat ini dengan adanya Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus, semuanya secara tidak langsung tampak memiliki niat untuk menghindari terciptanya pemerintahan yang benar-benar demokratis. Dalam artian, tidak ada oposisi sebagai penyeimbang yang efektif.
Menurut saya, kita perlu melihat bagaimana komposisi kabinet nantinya. Jika pembentukannya hanya untuk menyiapkan “rumah” bagi kepentingan pribadi dan kekuasaan politik, maka itu bisa menjadi masalah. Saya juga melihat bahwa demokrasi kita saat ini mungkin menjadi terlalu besar dalam arti yang negatif. Demokrasi yang kita saksikan akhir-akhir ini, meskipun tidak jahat secara eksplisit, tampak mengalami distorsi di berbagai daerah.
Menurut Anda, bagaimana dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat setelah pengesahan UU Kementerian ini?
Masyarakat sebenarnya hanya ingin masalah-masalah terselesaikan. Salah satu aspek yang sangat penting adalah “mesin demokrasi.” Mesin demokrasi ini, dari dulu selalu kita anggap efektif dan terus bergerak maju. Namun, jika kita lihat dari aspek program politik saja, banyak yang bermasalah dan tidak tepat sasaran.
Bagi masyarakat, yang penting adalah masalah terselesaikan dan anggaran tersedia. Namun, jika anggaran lebih banyak terserap oleh kementerian, apalagi dengan penambahan struktur baru, biaya yang dibutuhkan juga akan meningkat. Belum lagi masalah operasional pejabat, restrukturisasi, dan fragmentasi kabinet.
Jika kementerian semakin banyak, bagaimana dengan koordinasinya? Kita lihat contohnya pada program bantuan sosial untuk 9 juta orang atau upaya penanganan kemiskinan dan stunting. Banyak program tidak mencapai sasaran karena kurangnya mekanisme kebijakan yang baik dan terkoordinasi. Sayangnya, mindset pembentukan kementerian saat ini lebih mengarah pada pola yang terfragmentasi, bukan konsolidatif. Seharusnya fungsi kementerian bisa digabungkan, bukan malah dipisah-pisah.
Bagaimana efektivitas dari penggantian Wantimpres menjadi DPA?
Sebenarnya, keberadaan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) harusnya sangat penting. Namun sayangnya, hingga kini fungsinya tidak terasa oleh publik.
Jumlah anggota Wantimpres yang banyak seharusnya memberikan kontribusi yang berarti, tetapi kenyataannya, apa peran yang mereka jalankan? Kita hampir tidak pernah mendengar kontribusi nyata mereka. Sebaliknya, yang kita lihat justru hanya penambahan jabatan tanpa peran yang jelas. Akhirnya, Wantimpres hanya menjadi beban anggaran.
Kita juga bisa membaca bahwa penambahan jumlah kementerian, seperti yang sedang terjadi sekarang, hanya membuat struktur pemerintahan semakin gemuk. Amerika Serikat saja, negara yang sangat besar, hanya memiliki 13 kementerian. China, dengan segala kompleksitasnya, juga hanya memiliki sekitar 20 kementerian. Mengapa mereka bisa lebih efisien?
Bagaimana reorganisasi UU ini akan mempengaruhi koordinasi antar kementerian?
Reorganisasi UU ini kemungkinan besar akan mempengaruhi koordinasi antar kementerian. Meskipun diisi oleh para profesional, banyak faktor lain yang berperan dalam keberhasilan kerja kementerian, termasuk budaya birokrasi yang sudah terbentuk. Birokrasi yang matang tidak mudah menerima perubahan, meskipun reformasi birokrasi sudah berlangsung selama dua dekade, perubahan masih sulit terjadi karena kuatnya “krikultur” atau pola budaya yang sudah mengakar.
Salah satu kelemahan dari banyak profesional adalah kemampuan mereka dalam mengimplementasikan profesionalisme dalam kebijakan publik. Belum lagi ada intervensi-intervensi lain, seperti intervensi politik, yang sering kali memperumit keadaan. Kabinet yang terlalu besar justru akan memperburuk situasi ini, karena semakin banyak kementerian, semakin rumit koordinasi antar mereka.
Bagaimana UU ini dilihat dari perspektif good governance?
Saya merasa pesimis jika melihat situasi ini. Dalam konteks presidential governance, setiap tindakan yang diambil oleh pemerintah seharusnya dipertaruhkan di hadapan publik, bukan hanya sekedar melalui upaya hubungan masyarakat. Tanggung jawab DPR bersifat tradisional, sedangkan bagi masyarakat, akuntabilitas yang diharapkan jauh lebih besar.
Bagaimana UU ini akan mengubah lanskap birokrasi pemerintahan kita?
Wah, ini semakin berat. Saya merasa birokrasi kita seperti dinosaurus, kembali ke cara tradisional yang sulit dikendalikan dan penuh masalah. Birokrasi ini mengonsumsi APBN, sementara kondisi keuangannya tidak mencukupi. Banyak masalah yang belum terselesaikan, dan hal ini membuat birokrasi negara semakin tidak lincah.
Dasar pemikirannya terpecah-pecah, dan penambahan jumlah kementerian hanya akan menambah kesulitan. Setelah 20 tahun, birokrasi tetap menunjukkan sifat tradisionalnya. Selain itu, dalam konteks ekonomi politik, birokrasi dikelola oleh kepentingan politik, yang membuatnya sulit untuk dikendalikan, terutama di daerah.
Bagaimana mekanisme pengawasan dan akuntabilitas terhadap penggunaan kewenangan ini?
Dengan posisi saat ini, ketika semua partai politik bergabung, hanya tekanan sosial yang tersisa. Masyarakat harus ditingkatkan perannya, terutama dengan adanya isu-isu yang muncul di media sosial. Selama ini, tekanan publik melalui media sosial memang tidak berpengaruh signifikan, meskipun ada dampak tertentu.
Di tingkat tradisional, pengaruh politik cenderung lemah. Mediasi antara legislatif dan eksekutif sering kali tidak efektif, dan banyak keputusan diambil oleh pihak-pihak yang menciptakan masalah.
Apakah ada praktik terbaik dari negara lain yang dapat dijadikan referensi dalam implementasi UU ini?
Keberadaan kementerian dalam suatu pemerintahan tidak selalu berbanding lurus dengan efektivitasnya. Banyak negara yang lebih berhasil dengan jumlah kementerian yang lebih sedikit, seperti Cina dengan 26 kementerian dan Amerika Serikat dengan 15 kementerian, dibandingkan dengan Indonesia yang memiliki 48 kementerian.
Semakin besar kabinet, semakin sulit untuk merespons perubahan dan tantangan global. Dalam kondisi ketergantungan pada impor dan tantangan inovasi, orientasi kabinet seharusnya tidak terfokus pada akomodasi kekuasaan, tetapi lebih pada penguatan daya saing dan inovasi untuk mengurangi ketergantungan tersebut. Globalisasi memberikan tantangan tersendiri, dan pemisahan antara kepentingan politik dan ekonomi perlu dilakukan agar Indonesia dapat beradaptasi dengan dinamika global yang berubah dengan cepat.
Oleh karena itu, pembentukan kementerian yang efektif di Indonesia harus dipertimbangkan dalam konteks situasi politik saat ini, di mana penguatan posisi dan penghindaran oposisi menjadi perhatian utama. Dalam hal ini, jika reformasi kementerian dilakukan dengan tujuan mengamankan posisi kekuasaan, maka hal tersebut tidak akan membawa perubahan yang signifikan bagi masyarakat.
Apakah ada pasal-pasal dalam UU ini yang dianggap masih perlu diperbaiki atau disempurnakan?
Undang-Undang nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara menekankan pentingnya fungsi tugas dan kelemahan Kementerian, terutama dalam aspek kolaboratif. Kinerja kementerian seharusnya tidak hanya diukur berdasarkan fungsi dan tugasnya, tetapi juga bagaimana Kementerian dapat berkolaborasi untuk menyelesaikan masalah kesehatan.
Kesehatan tidak dapat dipisahkan dari faktor lain, seperti pendidikan dan kondisi ekonomi keluarga. Misalnya, kesehatan anak tidak hanya bergantung pada layanan kesehatan, tetapi juga pada pendidikan yang diterima dan kesejahteraan orang tua.Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa fungsi, tugas, dan kewenangan kementerian seharusnya menjadi dasar untuk menentukan program-program yang akan dilaksanakan.
Data Diri Narasumber:
Prof Dr Sangkala MSi
Dosen Administrasi Publik Universitas Hasanuddin
Koordinator Bidang Reformasi Birokrasi dan Pelayanan Publik, Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) tahun 2019 – 2023
Riwayat Pendidikan:
S1 Administrasi Negara, Universitas Hasanuddin
S2 Universitas Indonesia
S3 Universitas Indonesia