“Jangan hitung kebaikan yang telah dilakukan, tapi teruslah berbuat baik kepada siapapun, karena hidup ini hanya sementara,” – Prof Dr H Wahyuddin Naro MHum.
Itulah ungkapan yang paling dikenang oleh Dr Hj Yuspiani MPd, istri dari almarhum Prof Dr H Wahyuddin Naro MHum. Ia merupakan sosok akademisi multitalenta yang memberikan kontribusi besar dalam dunia pendidikan dan kerukunan umat beragama di Sulawesi Selatan.
Lahir di Pesuloang pada 31 Desember 1967, masa kecil Wahyuddin dihabiskan dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nilai pendidikan dan agama. Ayahnya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas sebagai Koordinator Penilik Agama Islam di Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.
Pondasi pendidikan agamanya dibangun selama enam tahun di Pondok Pesantren IMMIM Makassar, yang membentuk kemampuannya dalam penguasaan bahasa Arab dan Inggris.
“Yang paling saya kagumi karena kak Ayyu’ (sapaan akrabnya) itu fasih berbahasa Inggris dan Arab, kepribadiannya yang sangat ramah dan cepat akrab dengan siapa saja,” ungkap Yuspiani, (05/02)
Perjalanan akademiknya dimulai saat menempuh S1 di Jurusan Tadris Bahasa Inggris, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar angkatan 1986. Semasa kuliah, Wahyuddin aktif mengisi berbagai acara kampus sebagai pemain drama dan penyanyi Mars, bahkan sering tampil di stasiun televisi lokal TVRI sebagai pembaca sari tilawah.
Pendidikan tingginya berlanjut dengan menyelesaikan S2 di Universitas Hasanuddin (Unhas) dalam bidang Bahasa Inggris pada 2000. Lalu, ia mengambil program doktoral di UIN Alauddin Makassar, dalam bidang Dirasah Islamiyah konsentrasi Pendidikan dan Keguruan yang diselesaikan pada 2014.
Perjuangan karirnya dimulai dari berbagai jabatan strategis. Wahyuddin pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar (2006-2010), Kepala Biro AUPK (2010-2013), hingga Wakil Rektor II bidang Administrasi Umum dan Perencanaan Keuangan (2019-2023).
Di bawah kepemimpinannya sebagai Wakil Rektor II, UIN Alauddin Makassar berhasil meraih penghargaan sebagai Satuan Kerja Terbaik Pengelolaan Keuangan Negara dari Menteri Keuangan pada 2022.
Dedikasi Wahyuddin dalam dunia akademik tidak hanya untuk dirinya sendiri. Ia turut aktif mendorong percepatan pencapaian gelar Guru Besar bagi dosen-dosen di UIN Alauddin Makassar.
Hasilnya pun sangat signifikan, dengan peningkatan jumlah Guru Besar dari 48 orang menjadi 108 orang pada 2021. Produktivitas akademiknya juga tercermin dari berbagai karya ilmiah yang dihasilkan, termasuk penelitian tentang pendidikan karakter, kesetaraan gender, dan moderasi beragama.
Kontribusinya dalam membangun kerukunan umat beragama sangat menonjol. Wahyuddin aktif dalam berbagai organisasi, termasuk sebagai Ketua Komisi Hubungan Antar Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan (2020-2025) dan Ketua Forum Kemanusiaan Lintas Agama (FKLA).
Salah satu warisan terbesarnya adalah mendirikan PELITA (Pemuda Lintas Agama), organisasi pemuda pertama yang menjembatani dialog antar iman di Sulawesi Selatan.
Berbagai penghargaan telah diterima sebagai bukti dedikasi dan kontribusinya, termasuk Satya Lencana Karya Satya X (2002) dan XX (2020) dari Pemerintah Republik Indonesia. Beliau juga mendapat pengakuan sebagai pengelola Badan Layanan Umum (BLU) berkinerja terbaik dari Kementerian Keuangan pada 2023.
Dalam kehidupan keluarga, Wahyuddin dikenal sebagai sosok yang sangat menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Ia selalu memegang prinsip bahwa urusan kantor harus diselesaikan di kantor.
Dalam mendidik anak-anak, ia menerapkan pendekatan yang bijak dan adil, menekankan pentingnya mendidik anak sesuai dengan zamannya sambil tetap tegas dalam hal ibadah.
“Setiap pagi, ia rutin membaca Al-Qur’an minimal satu juz dan menyelesaikan tiga juz setiap hari, kebiasaan yang dijaga hingga akhir hayatnya,” tambah Yuspiani.
Layaknya saudara, persahabatan yang mendalam terjalin dengan Prof Dr Fathurrahman MHum, sahabatnya semasa kuliah sekaligus dosen di Sastra Inggris Unhas. Di lingkungan teman-teman kuliah, Wahyuddin selalu menyapa Fathurrahman dengan panggilan “suhu”.
Ia memiliki komitmen tinggi dan senantiasa memberi motivasi untuk mewujudkan cita-cita menyelesaikan studi. Saat-saat penyelesaian, mereka belajar bersama dan berlatih menghadapi forum ujian hingga larut malam di ruang tamu sampai tertidur.
Ketika itu, keesokan harinya mereka bergegas ke kampus, namun jadwal bergeser ke sore hari. Akhirnya, mereka kerepotan mengumpulkan kembali teman-teman yang sebagian besar sudah bubar. Kedekatan ini berlanjut hingga ke keluarga, di mana anak-anak Fathurrahman memanggil beliau dengan sebutan “Om Naro”.
“Apa yang beliau capai semasa hidupnya, bagi saya melampaui dari apa yang ia raih sebelum berpulang. Di saat sebelum berpulang, kalau saya ingatkan cerita itu pasti dia terkekeh-kekeh, gaya senyumnya tidak bisa saya lupa,” kenang Prof Fathurrahman, Sabtu (11/01).
Wahyuddin menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 November 2024 dini hari di RS Grestelina, Makassar. Di hari terakhirnya, ia masih sempat memberikan wawancara kepada Direktur Harian Rakyat Sulsel, bahkan melaksanakan sholat Maghrib dan Isya dengan bacaan yang sangat merdu.
Ia meninggalkan warisan berharga berupa karya-karya akademik, teladan dalam membangun kerukunan antarumat beragama, dan inspirasi bagi banyak orang untuk terus berbuat baik tanpa pamrih.
Azzahra Dzahabiyyah Asyila Rahma