“Scopus itu seperti horor bagi para peneliti, termasuk dosen. Padahal, ini menjadi syarat kenaikan pangkat atau golongan. Seperti lektor menjadi lektor kepala, apalagi menjadi profesor,” ungkap Anwar Mallongi, SKM MSc, PhD, dosen FKM Unhas.
Suatu tuntutan di lingkup pendidikan tinggi meneliti atau melahirkan karya ilmiah. Ini sudah menjadi kewajiban, jika ingin naik golongan maupun untuk meraih gelar lebih tinggi. Sebab, hasil penelitian tersebut tentunya dipublikasikan dalam bentuk jurnal nasional hingga jurnal internasional.
“Proses publikasi terindeks Scopus itu tidak mudah. Lebih banyak yang ditolak ketimbang diterima. Terlebih lagi jika ingin terdaftar pada kategori kuartil satu atau kuartil dua. Kualitasnya harus jauh lebih tinggi,” terang Anwar Mallongi yang dihubungi baru-baru ini.
Makanya, tidaklah mengherankan jika ada seorang dosen yang sudah lama meraih gelar Doktor, namun belum mendapatkan gelar Profesor. Yah itu tadi, jurnal yang dibuatnya belum memenuhi target dari jumlah point yang telah ditentukan.
Sama halnya bagi dosen, termasuk tenaga pendidik di tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), mereka tidak bisa mendapatkan sertifikasi jika tidak memenuhi jumlah point yang telah digariskan, baik itu karya ilmiah yang dibuatnya, maupun point dari seminar atau kegiatan ilmiah lainnya yang diikuti.
Untuk jurnal internasional sendiri terdapat beberapa lembaga pengindeks bereputasi, mulai dari rendah, sedang, hingga tinggi. Scopus sebagai lembaga pengindeks yang bereputasi tinggi, menjadi perhatian karena banyak peneliti (dosen) berlomba-lomba agar publikasinya dapat terindeks Scopus.
Pada tataran ini dikenal istilah Kuartil yang dalam Scopus, membuat klasterisasi kualitas jurnal dalam menilai jurnal. Ada empat kuartil (Q) mulai dari tertinggi hingga terendah, yakni Q1, Q2, Q3, dan Q4.
Selain itu juga, Scopus berisi kumpulan literatur terbesar berbasis data di dunia dan banyak kutipan dari penelitian yang telah ditelaah.
Dikutip dari Pedoman Tata Kelola Jurnal terbitan 2017 menyebutkan, lebih dari 22.000 abstrak berkualitas tinggi diterbitkan dari sekira 5.000 penerbit di seluruh dunia. Disediakan dalam basis data Scopus yang mencakup berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, kedokteran, ilmu sosial, serta seni dan sastra.
Lebih rinci dikelompokkan menjadi empat bidang. Bila dipersentasekan, 32% bidang ilmu kesehatan yang terdiri dari tenaga medis, kedokteran gigi, keperawatan, dan kedokteran hewan. Selanjutnya, 30% bidang ilmu fisik, seperti kimia, rekayasa/engineering, dan matematika.
Kemudian, 23% bidang ilmu sosial, termasuk seni dan humaniora, bisnis dan manajemen, sejarah dan ilmu informasi. Terakhir, 15% untuk bidang ilmu hayati, misalnya pertanian, biologi, ilmu syaraf, dan farmakologi.
Tahap-tahap proses publikasi artikel ilmiah di jurnal pada umumnya mulai dari penyerahan manuskrip artikel, proses telaah oleh peer-reviewers, keputusan editor, dan proses perbaikan.
Sebagai dosen Kesehatan Lingkungan, Anwar Mallongi menegaskan, proses perbaikan biasanya dua sampai 10 kali dari pihak reviewer. “Persoalan cepat atau lambatnya proses publikasi terindeks Scopus, bergantung respon dari penulis. Semakin cepat merevisi, maka semakin cepat pula terpublikasikan,” ungkapnya.
Tercatat sebagai dosen produktif melakukan publikasi sebanyak 26 paper, bahkan terindeksasi Scopus, Anwar bilang, Scopus itu seperti horor bagi para peneliti juga dosen. Karena itu menjadi syarat kenaikan pangkat atau pindah golongan. Seperti Lektor menjadi Lektor Kepala, apalagi menjadi Profesor.
Beberapa tips yang dibagikan Anwar agar publikasi bisa terindeks Scopus. Di antaranya, sebelum melakukan penelitian, wajib mempelajari beberapa sampel paper yang terpublikasi. Tujuannya, bisa mengetahui sistematika penulisan paper yang terindeks Scopus. Selain itu, perlu diperhatikan pula bahasa ilmiah yang digunakan dalam menuliskan hasil penelitian.
“Dalam sehari, saya biasanya meluangkan waktu sebanyak enam jam membaca jurnal dan mempelajarinya. Sambil menyicil tulisan hingga rampung,“ terang Anwar.
Selanjutnya, mengerjakan atau penelitian sesuai bidang keilmuan. Tentu saja ini sebagai kredibilitas sebagai penulis dalam memahami bidang itu. Hal lainnya, mengutip jurnal yang dituju sebagai bahan referensi juga perbandingannya.
Yang lain dan tak kalah pentingnya, menjalin kerja sama dalam taraf Internasional. Sebab, semakin banyak paper yang dikutip oleh orang lain akan berpengaruh dalam Hirsch Index (H-index).
Pada kesempatan ini, Anwar Mallongi mengimbau, urgensinya memublikasikan hasil penelitian, karena akan berpengaruh terhadap kredibiltas kampus Unhas menuju universitas riset.
Tim Laput