Kepada ayah, Muhammad Ashri, kami melayangkan berbagai tanya. Mulai dari masalah rumah tangga hingga negara. Sebagai profesor hukum di Universitas Hasanuddin (Unhas), ayah selalu menjawab sesuai bidangnya. Namun, sebelum memaparkan pandangannya, ia meminta kami membaca buku.
Seperti malam itu, ayah tidak langsung menjawab ketika kami bertanya tentang pemilihan umum yang diwarnai pelanggaran etik. Misalnya, keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menjatuhkan pelanggaran berat kode etik terhadap Ketua MK Anwar Usman terkait kode etik dan perilaku hakim konstitusi pada November 2023 lalu.
Hal itu terkait Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/223 soal syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan itu membolehkan warga di bawah 40 tahun maju sebagai capres atau cawapres, dengan catatan pernah atau masih menduduki jabatan dari pemilu sebelumnya.
Putusan ini memuluskan Gibran Rakabuming Raka, keponakan Anwar, menjadi cawapres. Putra sulung Presiden Joko Widodo itu maju mendampingi capres nomor urut 2 Prabowo Subianto, yang juga Menteri Pertahanan.
Kasus lainnya menyangkut penyelenggara pemilu. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menyatakan, ketua dan anggota Komisi Penyelenggara Umum melanggar etik terkait tindak lanjut atas putusan MK mengenai syarat pencalonan presiden dan wapres. Mereka dinilai melaksanakan putusan MK tidak sesuai tata kelola administrasi tahapan pemilu.
“Bagaimana ayah melihat berbagai kasus ini? Sepertinya pelanggarannya tidak berat. Buktinya, Anwar Usman hanya dicopot dari jabatan ketua MK, sedangkan ketua dan anggota KPU hanya mendapat teguran,” tanya saya kepada ayah. Berdiri dari kursi plastik hijaunya, ayah menuju enam lemarinya. Matanya menjelajah ke ratusan buku.
Ayah mengambil buku berjudul “Filsafat Hukum, edisi lengkap (dari klasik sampai postmodernisme)” karya Hyronimus Rhiti. Ia meletakkan buku bersampul patung dengan mata tertutup yang memegang timbangan itu di hadapan saya. Tanpa aba-aba, saya membuka lembar demi lembar, lalu menemukan bahasan soal etika.
Di sana tertulis, “filsafat hukum adalah cabang dari etika. Etika sendiri adalah cabang dari filsafat manusia”. Jadi, secara mendasar, hukum tidak bisa dipisahkan dari etika. Mengutip K Bertens, etika menurut asal usul katanya adalah ilmu tentang adat kebiasaan atau apa yang dilakukan. Etika juga dimaknai ilmu tentang moralitas.
Membaca bagian buku itu, saya mafhum, pelanggaran etik yang terjadi menjelang Pemilu tidak bisa mengoreksi tahapannya. Sebab, sanksi bagi pelanggar etik lebih menyasar batin manusia. “Tapi, apakah batin mereka merasa tidak tenang? Buktinya, pemilu berjalan lancar saja. Bahkan, banyak rakyat memilih calon yang terkait dengan pelanggaran etika,” tanya saya kepada ayah.
Ayah tersenyum. Ia kembali mencomot buku di lemari kayunya. Kali ini karya Haryatmoko berjudul “Etika Politik dan Kekuasaan”. Di salah satu halamannya, tertulis pendapat filsuf politik Hannah Arendt: “tiadanya pemikiran merupakan bentuk kejahatan atau awal dehumanisasi”. Pernyataan itu mengajak siapa pun berpikir kritis.
Ayah seperti menunjukkan, terpilihnya calon pelanggar etika bisa dipengaruhi dari minimnya daya kritis pemilihnya. Kondisi ini bukan sepenuhnya tanggung jawab konstituen, melainkan karena pemiskinan politik. Bentuk pemiskinan, kata Haryatmoko, berupa penafian perdebatan ideologi, diskusi tentang nilai-nilai, dan perdebatan tentang prioritas.
Obrolan dengan ayah malam itu hanya percakapan imajiner, tidak benar-benar terjadi. Ayah sudah berpulang pada 16 Maret 2023, tepat setahun lalu. Penyakit jantung menghentikan napasnya di usia ke-58 tahun. Prof Ashri, sapaannya, meninggalkan seorang istri, empat anak, tiga menantu, dan dua cucu.
Meskipun perbincangan soal pemilu itu hanya angan, kami yakin, ayah tetap meresponsnya seperti obrolan di atas. Ayah, yang haus akan bacaan, tidak pernah langsung menjawab pertanyaan kami sewaktu kuliah. Walakin sudah khatam tentang hukum dan perjanjian internasional, hak asasi manusia, hingga etika, ayah enggan “menyuapi” kami.
Ia pasti mengambil buku dan meminta kami membacanya. Setelah itu, baru diskusi. Ketika ada hal yang ayah tidak ketahui, ia turut membuka buku. Hal serupa dilakukan untuk mahasiswanya. Ayah tak segan meminjamkan aneka buku kepada kolega dan anak didiknya. Inilah salah satu cara mengungkit daya kritis.
Tidak heran, sejumlah mahasiswa kerap mengajak ayah diskusi bahkan menjadi pemateri. Namun, jika bukan keahliannya, dosen yang lebih dari 30 tahun mengajar ini akan menolak permintaan itu. Ia juga hanya bersedia membimbing mahasiswa pascasarjana jika topik yang diajukan sesuai bidangnya, bukan karena orang tersebut pejabat.
Menurut ayah, pekerjaan utama dosen adalah belajar dan mengajar, bukan yang lainnya. Itu sebabnya, ia memilih fokus di fakultas meskipun tidak sedikit dosen yang lebih aktif di luar kampus. Bahkan, ketika hari-hari terakhirnya terbaring di rumah sakit, ayah masih kerap menanyakan soal mata kuliah dan mahasiswanya.
Meskipun tak lagi mengajar, ayah mewariskan banyak hal. Buah pikirnya tentang hukum tersimpan di Majalah “Hukum dan Pembangunan”, Jurnal Ilmu Hukum “Amanna Gappa”, “Hukum dan Dinamika Masyarakat”, “Supremasi”, “Jurisdictionary”, hingga “The Indonesian Journal of International Law”.
Salah satu yang ayah kenang adalah tulisannya di Harian Kompas (13 Januari 1990) berjudul “Dimensi Manusia dan Hukum Ekonomi Kita”. Dalam artikelnya, ia menyinggung pentingnya nilai moral dalam hukum ekonomi. Ia mengutip contoh ahli hukum R.A Posner tentang penjual roti kedatangan seorang yang miskin dan berduit. Padahal, hanya tersisa satu roti di sana. Dari contoh itu, ayah menekankan pentingnya aspek moral dalam hukum ekonomi.
Penulis buku Hak Asasi Manusia: Filosofi, Teori, dan Instrumen Dasar (2018) ini memang punya perhatian pada moralitas. Tidak hanya lewat teori di dalam kelas, ayah juga memberikan teladan. Mulai dari cara bicaranya yang sopan dan tenang, kesungguhannya pada tugas dosen, hingga pesannya agar kekuasaan tidak membajak moralitas.
Beberapa kali ayah bercerita tentang Cato, seorang tokoh Republik Romawi sebelum masehi (SM). Meski menjadi bangsawan, Cato hidup sederhana. Ia tidak ditandu atau mengendarai kereta dan membawa budak, sebagaimana lazimnya para bangsawan dan hartawan kala itu. Ia juga menyerahkan harta yang diperoleh selama menjabat.
Pertengahan bulan Maret ini, tepat setahun setelah ayah wafat, kami kembali mengingat pesan dan teladannya. Prof Ashri telah mengajarkan pentingnya menjaga moralitas dan etika. Terlebih, ketika pelanggaran tehadap nilai itu masih terjadi.
Penulis: Abdullah Fikri Ashri
Putra Kedua Prof Muhammad Ashri