Perdagangan manusia telah menjadi fenomena global yang bisa menimpa siapa pun tanpa terkecuali, tanpa memperdulikan usia, jenis kelamin, atau status sosial. Peristiwanya bisa terjadi melintasi batas-batas negara. Karena itu, masyarakat internasional memberikan perhatian yang besar terhadap masalah ini melalui berbagai konvensi dan protokol internasional.
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) bukanlah kasus baru di Indonesia. Pada 2023 saja, jumlah kasus TPPO dikabarkan mencapai 982 kasus yang dilaporkan. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni terdapat 837 kasus. Kemungkinan besar jumlahnya bahkan lebih jauh namun belum dapat dideteksi oleh para aparat.
Salah satu kasus terbaru adalah TPPO berkedok magang internasional di Jerman. Ribuan mahasiswa di Indonesia dikirim untuk mengikuti magang kerja atau di sana dikenal dengan Ferienjob. Beberapa pihak merasa tertipu dan melaporkannya ke polisi.
Maraknya kasus TPPO membuat kasus ini perlu untuk kembali dikaji lebih jauh. Seperti apa sebenarnya modus perdagangan orang yang kerap terjadi di Indonesia, dan bagaimana pakar hukum melihat fenomena ini? Berikut wawancara Reporter PK identitas Unhas, A Mario Farrasda, bersama Guru Besar Hukum Internasional Unhas, Prof Dr Iin Karita Sakharina SH MA.
Apakah menurut Anda kasus Ferienjob termasuk TPPO?
Untuk memastikan tentunya harus ada penyelidikan lebih lanjut, tapi saya menduga ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang dalam arti modern atau modus baru karena dia sudah masuk ke dalam lingkup kampus, sasarannya adalah orang terdidik. Selama ini TPPO biasanya terjadi kepada orang ekonomi kelas bawah yang tidak punya pendidikan.
Kalau dia tidak memenuhi unsur TPPO mungkin ini termasuk masuk wanprestasi. Wanprestasi adalah penyalahgunaan kerja kontrak atau perjanjian, pekerjaan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan di awal. Makanya harus ada penyelidikan lebih lanjut mengenai modus ini dan yang paling berwenang tentunya pihak kepolisian.
Bagaimana modus TPPO yang marak terjadi di Indonesia?
Untuk kasus TPPO di Indonesia, biasanya korban diiming-imingi bahwa mereka akan ikut diberangkatkan untuk bekerja di luar negeri. Modusnya adalah untuk meningkatkan ekonomi. Jadi ada agen yang mendatangi suatu rumah tangga kemudian menawari anak mereka pekerjaan di luar negeri. Gaji yang ditawarkan biasanya 3 atau 4 kali lipat dari gaji yang didapat di Indonesia, jadi orang mudah tergoda.
Kemudian orang tua korban akan dibujuk untuk mengirim anaknya dengan diberikan uang muka (DP) dan mengatakan bahwa mereka tidak perlu membayar apa-apa lagi. Semua gratis dan si anak hanya tinggal pergi ke tempat kerja. Tapi ternyata ketika sampai di tempat kerja tidak sesuai dengan kenyataan, yang ada mereka dieksploitasi.
Sialnya, mereka tidak bisa pulang karena sudah terikat utang. Semua uang dan fasilitas yang diberikan di awal ternyata menjadi utang yang harus dibayar ke agen atau tempat mereka bekerja. Di banyak kasus, paspor mereka akan ditahan oleh perekrut sehingga akan sangat sulit untuk kembali.
Orang-orang seperti apa yang kerap menjadi target TPPO?
Kalau di Indonesia, kebanyakan yang dijadikan target adalah perempuan kelas menengah bawah yang kurang berpendidikan. Mereka dieksploitasi untuk bekerja di rumah bordil menjadi pelayan seks. Setelah menyetujui kontrak palsu, perempuan-perempuan ini akan dibawa ke suatu tempat penampungan untuk diberikan pelatihan-pelatihan terlebih dahulu.
Setelah itu mereka dikirim ke luar negeri. Namun, bukan ke tempat awal yang dijanjikan, tapi ke pos pos yang memang sudah menunggu mereka, misalnya rumah rumah-rumah hiburan. Dalam HAM kita menyebutnya sebagai perbudakan masa kini karena ia secara tidak langsung menjual orang
Apakah tidak ada otoritas yang bertugas untuk memverifikasi tawaran-tawaran pelaku TPPO?
Inilah namanya oknum, karena dia dilakukan secara tidak resmi. Di Indonesia, pengiriman tenaga kerja memiliki lembaga resmi yang disebut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Sedangkan TPPO menggunakan cara-cara tidak resmi melalui agen atau makelar yang beredar.
Apakah Indonesia memiliki wewenang untuk menyelidiki dan menangkap pelaku yang berada di luar negeri?
Tentu, kita ada kerja sama dengan negara-negara lain. Indonesia memiliki hubungan diplomatik dengan negara lain dimana melalui KBRI ada atase keamanan yang bisa diminta bantuan untuk menyelidiki.
Kalau suatu institusi luar ingin membuka kerjasama dengan institusi di Indonesia biasanya difasilitasi lewat KBRI atau konsulat yang memang tugasnya untuk melindungi warga negara Indonesia. Tapi yang sulit dan akan menjadi masalah ketika kerjasama tidak terdaftar, dia masuk secara ilegal akhirnya susah dilacak.
Apakah Indonesia sudah memiliki payung hukum yang mengatur mengenai TPPO?
Iya ada, di Indonesia sudah ada undang undangnya. Dasar hukum TPPO di Indonesia adalah UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Untuk di Sulawesi Selatan sendiri ada Perda nomor 9 tahun 2007 terkait pencegahan dan penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Jadi di Indonesia sudah cukup lengkap payung hukum untuk menjerat oknum-oknum atau agen yang memang melakukan TPPO.
Bagaimana dengan badan PBB, apakah mereka turut untuk mengurusi kasus TPPO?
Iya, karena ini termasuk sebagai transnational crime atau kejahatan lintas batas negara. Namun, kalau dari perspektif hukum internasional, apabila kasusnya masih antar negara belum meluas dan berkembang menjadi kejahatan melawan kemanusiaan, kasusnya bisa diselesaikan antar pemerintah Indonesia dan pemerintah negara terkait. Misalnya lewat perwakilan Indonesia lewat kedutaan dan konsulatnya.
Bagaimana peran universitas dalam mencegah kasus seperti Ferienjob ini kembali terjadi?
Universitas harus memperketat pengawasan dan menjamin apakah mahasiswanya betul betul dipekerjakan. Sebelum menandatangani Memorandum of Understanding (MoU), harus dicermati perjanjiannya. Perguruan tinggi harus melihat track record perusahaan yang diajak bekerja sama, apakah dia perusahan bodong atau bukan.
Tentu orang orang perguruan tinggi bisa melihat di nota kesepahaman apakah perjanjiannya yang bisa mengarah ke perjanjian yang cacat atau tidak. Kalau kasusnya adalah kasus individual maka mungkin saja bisa kecolongan tapi kalau antar institusi seharusnya tidak terjadi. Setiap universitas pasti ada orang hukum yang tahu aturan suatu perjanjian, jadi kalau masih terjadi kecolongan tentunya sangat disayangkan.
Data Diri Narasumber:
Prof Dr Iin Karita Sakharina SH MA
Riwayat Pendidikan:
Hukum Internasional, Fakultas Hukum Unhas (2000)
Theory and Practice of International Human Rights Law, Oslo University, Norwegia (2003)
Program Doktor Ilmu Hukum Unhas (2013)