Rabu, 17 Desember 2025
  • Login
No Result
View All Result
identitas
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
No Result
View All Result
identitas
No Result
View All Result
Home Opini Cermin

Perempuan di Ujung Hari

17 Desember 2025
in Cermin
Azzahra Dzahabiyyah Asyila Rahma, mahasiswa Fakultas Keperawatan angkatan 2023. Foto: Dokumentasi pribadi

Azzahra Dzahabiyyah Asyila Rahma, mahasiswa Fakultas Keperawatan angkatan 2023. Foto: Dokumentasi pribadi

Editor Nurul Fahmi Bandang

Menjadi perempuan sering kali berarti hidup di bawah tatapan yang tidak pernah padam. Aku merenungkan ini di ujung hariku. Sejak kecil, aku diajari untuk berhati-hati. Mulai dari cara bicara, cara duduk, bahkan cara tertawa pun bisa menjadi bahan komentar. Orang bilang itu nasihat, tapi aku tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sopan santun. Ada rasa takut yang diwariskan dari generasi ke generasi, bahwa perempuan harus pandai menyesuaikan diri agar tidak membuat orang lain merasa tidak nyaman.

Aku tumbuh dengan banyak pesan yang saling bertentangan:

BacaJuga

Rasa Coto Makassar yang Menyeruak Menjadi Kuasa

My Trials and Errors as the Lazy Genius, INTP

Jadilah kuat, tapi jangan terlalu keras. Jadilah cerdas, tapi jangan terlihat mendominasi. Jadilah diri sendiri, tapi pastikan tetap bisa diterima.

Kadang aku merasa perempuan tidak pernah benar di mata banyak orang. Jika berani bicara, dianggap terlalu lantang. Jika diam, dikira tidak punya pendapat. Dunia seolah ingin menulis ulang definisi tentang perempuan setiap kali ia mulai mengenali dirinya sendiri.

Namun di antara kelelahan itu, aku menemukan satu hal kecil yang terasa seperti ruang bernapas. Di media sosial, banyak perempuan berbagi momen sederhana tentang hidup mereka. Tidak ada pesan besar, tidak ada klaim tentang kesetaraan atau perlawanan, hanya potongan kecil kehidupan. Minum kopi di pagi hari, berjalan pulang sendirian, memeluk teman, menata rambut, atau menulis catatan harian. Di dalam unggahan itu, ada satu kalimat yang berkesan yaitu “How I love being a woman”.

Istilah itu awalnya muncul dari serial Netflix Anne with an E, adaptasi dari novel klasik Anne of Green Gables. Dalam salah satu adegannya, tokoh Ruby Gillis mengucapkannya sambil tertawa bersama teman-temannya, menikmati sore yang sederhana tanpa beban. Ucapan itu tampak ringan, tapi justru di sanalah letak keindahannya.

Bukan pidato, juga bukan pernyataan politik, melainkan momen kecil di mana seorang gadis muda benar-benar merasa bahagia menjadi dirinya sendiri. Dari adegan itu, kalimat tersebut kemudian menyebar luas, menjadi simbol kecil perayaan diri bagi banyak perempuan muda di dunia nyata.

Kalimat itu membuatku berhenti sejenak. Aku pikir, ini bukan tentang membanggakan diri, tapi tentang mengakui keberadaan. Tentang menyadari bahwa menjadi perempuan, dengan segala luka dan kekurangannya, juga layak dicintai. Di dunia yang sering membuat perempuan merasa tidak cukup, kalimat itu terdengar seperti perlawanan yang lembut.

Aku pernah berpikir bahwa mencintai diri sendiri berarti menolak kenyataan pahit di luar sana. Tapi semakin dewasa, aku sadar bahwa cinta pada diri justru tumbuh dari penerimaan atas hal-hal yang tidak sempurna. Menjadi perempuan tidak selalu menyenangkan. Kadang dunia membuatku lelah, membuatku ragu pada nilai diri, membuatku merasa harus selalu membuktikan sesuatu. Tapi dari semua itu, aku belajar bahwa tidak ada yang lebih kuat dari perempuan yang berani mengakui kelemahannya tanpa merasa gagal.

Penelitian dari Journal of Gender Studies (2022) menulis bahwa ekspresi positif terhadap identitas gender mampu meningkatkan kesejahteraan emosional perempuan muda. Aku percaya itu benar, karena aku merasakannya. Setiap kali aku berhenti memandang diriku dari ukuran orang lain, setiap kali aku memberi ruang untuk bersyukur, hatiku terasa lebih ringan.

Dunia sering mengingatkan kita tentang batas, tapi jarang mengajarkan bagaimana cara hidup dengan penuh kasih terhadap diri sendiri. Maka, setiap senyum, setiap jeda, setiap waktu yang kuambil untuk diriku, adalah bentuk kecil dari kebebasan yang aku pilih sendiri.

Being a woman tidak selalu mudah. Tapi di setiap kesulitan, selalu ada pelajaran yang pelan-pelan membentukku. Aku belajar menjadi sabar tanpa kehilangan suara, belajar menerima tanpa menyerah, belajar kuat tanpa harus menolak kelembutan. Aku belajar bahwa menjadi perempuan bukan hanya tentang bagaimana dunia melihatku, tapi tentang bagaimana aku melihat diriku sendiri.

Untuk setiap perempuan di luar sana, mungkin kamu pernah merasa tidak cukup, terlalu lemah, atau terlalu berbeda. Dunia sering membuatmu merasa harus menjadi sesuatu yang lain agar diterima. Tapi kamu tidak perlu menjadi apa pun selain dirimu sendiri.

Kamu bisa lelah, bisa ragu, bisa takut, tapi tetap bisa mencintai hidupmu. Cinta itu tidak harus besar, cukup datang dari hal kecil yang kamu peluk setiap hari. Dari keberanian untuk bicara, dari tawa bersama teman, dari pilihan untuk bertahan. Semua itu adalah bentuk cinta pada hidup yang kamu jalani sebagai perempuan.

Lalu jika di ujung hari kamu bertanya, apakah menjadi perempuan itu berat? Mungkin iya. Tapi di balik berat itu ada makna. Ada keberanian untuk terus hidup, meski dunia belum sepenuhnya berpihak. Itulah sebabnya, di antara semua luka dan keindahan, masih ada alasan sederhana untuk mengucap, “How I love being a woman”.

 

Azzahra Dzahabiyyah Asyila Rahma

Mahasiswa Fakultas Keperawatan Angkatan 2023

Sekaligus Reporter PK identitas Unhas 2025

Tags: Azzahra Dzahabiyyah Asyila RahmaCerminFeminisme dan GenderHak Asasi Perempuanmenjadi perempuanPerempuan dan GenderWanita
ShareTweetSendShareShare
Previous Post

Infografis: Tokoh Inspiratif Disabilitas Indonesia

Next Post

Infografis: 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

TRENDING

Liputan Khusus

Ketika Kata Tak Sampai, Tembok Jadi Suara

Membaca Suara Mahasiswa dari Tembok

Eksibisionisme Hantui Ruang Belajar

Peran Kampus Cegah Eksibisionisme

Jantung Intelektual yang Termakan Usia

Di Balik Cerita Kehadiran Bank Unhas

ADVERTISEMENT
Tweets by @IdentitasUnhas
Ikuti kami di:
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
  • Dailymotion
  • Disclaimer
  • Kirimkan Karyamu
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
© 2025 - identitas Unhas
Penerbitan Kampus Universitas Hasanuddin
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah

Copyright © 2012 - 2024, identitas Unhas - by Rumah Host.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In