“Orang bijak buang sampah langsung ke air (laut).”
Saya terkejut mendapati tulisan ini pada sebuah papan lusuh berukuran sekitar 35×10 cm, di pinggir pantai dekat rumah nenek saya di Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Saya mengecek beberapa kali, memastikan kata per katanya, siapa tahu ada satu kata terlewatkan sehingga maknanya berubah. Ternyata tidak. Kalimat itu memang begitu adanya. Perasaan saya pun jadi campur aduk.
Belasan tahun yang lalu, pantai dekat rumah nenek saya itu terbilang asri. Saya ingat waktu umur-umur sekolah dasar (2008-2012), saya sering mandi di sana, sembari menangkap kepiting, kerang dan keong di pantai. Ayah saya bahkan pernah menangkap gurita dengan tangan kosong, saking kayanya ekosistem pantai.
Sekarang sangat jauh berbeda. Pantai yang awalnya tempat rekreasi, sekarang seperti pembuangan sampah. Dalam ingatan kanak-kanak, sedari dulu orang sudah buang sampah di laut. Sampah ditumpuk di pinggir pemukiman nelayan yang berjarak sekitar 25-50 m ke laut. Sekarang, jarak pemukiman dengan laut makin kecil hanya puluhan centimeter. Sampah dengan mudah terbawa ke laut melalui angin atau ombak.
Di wilayah itu, jika tidak membuang sampah di laut, maka pilihannya hanya dua. Buang di atas tanggul atau membiarkannya tergeletak di pekarangan rumah yang menganggu kenyamanan. Ironis, karena ego manusia yang membiarkan sampahnya di laut, dibungkus dengan kata sifat orang yang “bijak”.
Mari kita coba menghitung volume sampah yang ada di pemukiman itu. Ada dua asumsi yang bisa digunakan. Pertama, setiap rumah terdiri empat orang (ayah, ibu, dan 2 orang anak). Kedua, sampah yang dihasilkan per orang per hari untuk rumah permanen adalah 2,25-2,5 liter atau 0,3-0.4 kg. Berdasarkan gambar dari citra satelit, jumlah rumah di kawasan permukiman nelayan tersebut sekitar 250 rumah. Dengan demikian jumlah sampah yang dihasilkan kurang lebih 2.250 liter atau 300 kg per hari. Ini hanya gambaran dari satu pantai yang berada di sekitar pemukiman warga di dekat rumah nenek. Belum semua pantai yang ada di Indonesia.
Realitas sekarang, sampah laut memang menjadi masalah yang tidak berkesudahan. Terlebih jika kebiasaan membuang sampah ke laut itu diwariskan secara turun-temurun. Sangat miris, melihat setiap tahun selalu terjadi pertumbuhan penduduk. Dengan kebiasaan yang tidak berubah, meskipun menggunakan teknologi pembersih sampah laut seperti kapal yacht yang dikeluarkan oleh The Ocean Cleanup pun tidak akan berhasil.
Menarik sekali jika berbicara apa yang bisa dilakukan bersama-sama. Pemerintah memegang titik kunci dalam hal ini. Jika ada statement kedaruratan sampah laut (marine debris) yang dikeluarkan, kita bisa bergerak bersama menekan laju kebiasaan buruk. Masyarakat perlu diberi edukasi apa dampak membuang sampah di laut, seperti akan terjadi proses pelapukan menjadi mikro dan nano plastik yang akan merusak ekosistem pesisir, ikan dan plankton juga bisa saja memaka plastik yang ada di laut. Hal ini jelas membuat produktivitas perikanan menurun dan bisa menimbulkan masalah pada jaring-jaring makanan.
Kedua, perlu ada sistem persampahan dengan sarana memadai di setiap wilayah pesisir. Salah satu alasan masyarakat membuang sampah ke laut ialah karena mereka tidak mendapati adanya TPS yang dapat dijangkau dengan mudah.
Kita mengenal istilah TPS (Tempat Penampungan Sementara), TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) atau gabungan keduanya yakni TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu), tetapi seringkali para pemangku kebijakan hanya berfokus pada penyediaan sarana persampahan ini di kota-kota besar yang padat penduduk. Padahal seharusnya sarana ini tetap disediakan, mengingat wilayah pesisir pun juga menghasilkan sampah.
Mengubah persepsi masyarakat, apalagi yang telah berbuah kebiasaan dari tahun ke tahun, tentu bukan perkara mudah. Namun demikian, jika masing-masing stakeholders kompak dalam menyuarakan isu ini, buang sampah di laut lambat laun bisa menjadi sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Orang yang membuang sampah di laut akhirnya akan dicap orang yang ceroboh dan bodoh, bukannya orang bijak.
Penulis merupakan
Dwi Rezki Fauziah
Mahasiswa Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik
Angkatan 2018
Editor : Fransiska Sabu Wolor