G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa kelam sejarah bangsa Indonesia. Pada 30 September 1965, pemberontakan terjadi oleh pasukan Tjakrabirawa. Sekelompok dari mereka melakukan pembantaian terhadap enam jenderal dan satu korban yang tidak masuk dalam rencana, seorang perwira TNI AD.
Perwira tersebut adalah Pierre Andries Tendean, atau yang kerap dikenal sebagai Kapten Tendean. Ia lahir pada 21 Februari 1939 di Batavia, Hindia Belanda, sebagai anak tengah dari tiga bersaudara. Memiliki darah campuran dari ayahnya, Aurelius Lammert Tendean yang merupakan keturunan Minahasa, dan ibunya, Maria Elizabeth Cornet yang berdarah Prancis.
Sejak kecil, Tendean terbiasa hidup berpindah-pindah karena tugas dinas ayahnya. Kemudian, pada masa pendudukan Jepang, keluarganya menetap di Magelang dan ayahnya menjabat sebagai Wakil Direktur Rumah Sakit Magelang. Di sana, Tendean bersekolah dasar di Sekolah Rakyat (SR) Kintelan.
Namun, nasib buruk menimpa ayah Tendean, ia hampir menjadi salah satu korban penculikkan dari gerombolan PKI yang sebelumnya terlibat ke dalam Pemberontakan Madiun 1948. Untuk menjalani perawatan ayahnya, Tendean sekeluarga akhirnya pindah ke Semarang.
Setelah itu, Tendean melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Semarang pada 1952, lalu meneruskan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA bagian B Semarang pada 1955.
Sejak kecil, Tendean diajarkan kedisiplinan dan nilai-nilai nasionalisme yang tinggi oleh ayahnya. Ia juga mulai memiliki rasa bela negara yang kuat setelah melihat tekad para pejuang kemerdekaan yang sering datang kerumahnya untuk berobat.
Dari sanalah mimpi Tendean untuk menjadi seorang tentara muncul, ia berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya di Akademisi Militer Negara (AMN). Akan tetapi, kedua orang tuanya menentang impian tersebut. Karena khawatir dengan putra satu-satunya, ibu Tendean ingin ia mengenyam pendidikan di Fakultas Teknik, Institut Teknik Bandung (ITB). Sedangkan, ayahnya ingin Tendean mengikuti jejaknya sebagai seorang dokter dan ingin ia berkuliah di Fakultas Kedokteran (FK), Universitas Indonesia (UI).
Atas permintaan dan untuk menghibur kedua orang tuanya, selain mendaftar di AMN, Tendean juga mengikuti tes masuk FK UI pada 1958. Namun, karena tekadnya yang kuat untuk bergabung ke AMN, ia sengaja tidak mengisi lembar jawaban tes tersebut agar tidak lolos seleksi masuk.
Akhirnya, orang tuanya pun merelakan Tendean untuk melanjutkan pendidikannya di AMN. Pada Agustus 1958, Pierre Tendean diterima menjadi taruna AMN dan memilih untuk masuk ke Akademi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) yang setahun kemudian namanya berganti menjadi Akademi Teknik AD (ATEKAD).
Semasa kuliah, Tendean dikenal sebagai sosok yang mudah bergaul dan disukai oleh banyak teman. Selain karena penampilannya yang rupawan, dirinya dianggap memiliki kepribadian yang baik oleh teman-temannya. Meskipun berasal dari keluarga yang berada, ia tetap rendah hati dan memilih untuk ikut membela negara bersama dengan yang lainnya. Selain itu, ia juga menjadi andalan rekan-rekannya dalam berbagai cabang olahraga seperti basket, voli, dan tenis di sekolahnya.
Setelah menjalani pelatihan dasar, ia dikukuhkan sebagai prajurit taruna pada Januari 1959. Tiga bulan setelah itu, tepatnya pada 1 April 1959, pangkat Tendean dinaikkan menjadi Kopral Taruna.
Kemudian, pada Desember 1961, Tendean bersama dengan 144 sersan mayor lainnya dilantik menjadi Letnan II setelah menempuh pendidikan taruna. Setahun kemudian pada Desember 1962, ia menunaikan tugas pertamanya sebagai Komandan Peleton I dalam satuan Batalyon Zeni Tempur I Kodam II Bukit Barisan di Medan, Sumatera Utara.
Saat ditugaskan di Sumatera Utara, Tendean dikenalkan dengan seorang perempuan asli Yogyakarta bernama Rukmini Chaimin oleh dua rekannya. Tendean yang sebelumnya tidak pernah mengacuhkan perempuan itu luluh dengan sifat lembut Rukmini. Karena saling merasa cocok dan jatuh cinta, mereka berdua melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius.
Tendean tidak menetap lama di Medan, karena beberapa bulan sejak menyelesaikan tugasnya itu, ia dipanggil untuk mengikuti Sekolah Intelijen TNI AD di Bogor, Jawa Barat. Berkat kemampuannya yang mumpuni Tendean berhasil menyelesaikan pendidikan selama tiga bulan dengan nilai yang memuaskan.
Dengan prestasi tersebut, ia diberikan banyak kepercayaan memimpin berbagai misi intelijen, salah satunya Operasi Dwikora. Dengan wajah bule yang dimilikinya, Tendean dipercaya untuk memimpin pasukan gerilya sukarelawan dan menjadi mata-mata di Malaysia serta mengawal Menteri Pembantu Presiden, Oei Tjoe Tat sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.
Dalam misi tersebut, Tendean dan regunya berhasil menyusup tiga kali ke Malaysia. Namun, mereka dikejar oleh sebuah kapal perusak milik Inggris pada penyusupan yang ketiga. Meskipun berhasil lolos dengan cara bergelantungan di belakang kapal nelayan, Ibu Tendean yang mendengar itu khawatir kepada anaknya yang bertugas di garis depan.
15 April 1965, Tendean ditugaskan menjadi Ajudan dari Jenderal Abdoel Haris Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab). Keluarga Tendean dan Nasution memiliki hubungan baik, bahkan Nasution lah yang menyarankan agar Tendean masuk ke dalam satuan Zeni, dengan hubungan itulah Ibu Tandean menyarankan agar Tandean bisa menjadi ajudan Nasution.
Pada malam 1 Oktober 1965, sekelompok PKI datang ke Rumah Dinas Nasution untuk menculiknya. Istrinya yang saat itu sedang tidur terbangun mendengar suara gaduh di luar. Saat mengecek sekitar, ia menjerit karena kaget dengan apa yang dilihatnya, sekelompok pria dengan senjata mengendap masuk ke dalam rumah.
Istri Nasution kemudian masuk dan membangunkan suaminya. Setelah mengetahui apa yang sedang terjadi, Nasution kabur memanjat tembok kamar. Disisi lain, pengasuh anak bungsu Nasution mengabari Tendean yang saat itu sedang bertugas menjaga kediaman Nasution karena mengira ada sesuatu yang rusak.
Malam itu menjadi saat terakhir dari Pierre Tendean. Gelapnya malam dan tegangnya situasi waktu itu membuat kelompok PKI salah mengira Tendean sebagai Nasution. Nahas, Tendean lalu dibawa ke markas PKI dan ditembaki sampai mati, mayatnya kemudian dibuang ke lubang buaya bersama dengan pahlawan lain yang telah gugur.
Najwa Hanana
Ditulis dari berbagai sumber