Petualangan dan bersosialisasi di lokasi bencana alam, tanpa sadar membentuk rasa empati di setiap momen dalam pemahaman makna kehidupan.
Hal tersebut mengantarkan saya bersama enam teman melakukan perjalanan jauh menuju Desa Lebani, Kecamatan Tapalang Barat, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Berawal dari berita duka, yang terjadi pada gempa 14 Januri 2021. Mendengar kabar tersebut membuat kami merasa harus ambil peran membantu saudara-saudara di sana. Kami pun berinisiatif membentuk Aliansi Peduli Sulbar.
Pada 16 Januari, sebelum berangkat aliansi melakukan penggalangan dana sampai tanggal 20 Januari. Setelah dana terkumpul, Jumat, 22 Januari, tepat pukul 1 malam kami memulai perjalanan dari Makassar menuju Mamuju. Desa Lebani merupakan salah satu pelosok terpencil yang dikabarkan sedang membutuhkan bantuan.
Sekitar pukul 12 siang, kami telah tiba di Mamuju jalan poros Tapalang. Melirik kondisi sekitar, refleks membuat saya beristigfar menyaksikan 85 persen bangunan rata dengan tanah, bangunan tinggi yang tidak bisa lagi difungsikan, sedikit saja tertiup angin akan ikut roboh. Tenda-tenda darurat dengan kapasitas tidak memadai, belum lagi penduduk lain yang tertimbun bangunan dan belum ditemukan. Tampak raut wajah gelisah, takut, cemas, sedih dan frustasi, tidak ada lagi terukir wajah lugu nan ceria, hanya ada ketakutan.
Menempuh perjalanan sekitar 15 kilometer dari jalan poros Mamuju menuju Desa Lebani, merupakan tantangan terbesar yang dihadapi untuk sampai ke titik tujuan. Desa Lebani yang terletak di pesisir pantai, memiliki akses yang sulit ditempuh kendaraan, kami harus melalui sekitar empat jalur tanjakan dan turunan curam.
Butuh sekitar dua jam perjalanan hingga pukul tiga sore, kami tiba di Desa Lebani. Kami kembali disuguhkan dengan pemandangan yang memperihatinkan, warga pesisir pantai mengungsi di pinggir jalan yang jauh dari pemukiman untuk menghindari sunami.
Sebelum menyalurkan bantuan terlebih dahulu, kami mampir ke rumah kepala Desa Lebani agar bantuan dapat terkoordinir dengan baik. Aliansi Peduli Sulbar mulai membagikan bantuan sembako dan keperluan lain yang dibutuhkan. Satu persatu peserta membagikan secara langsung ke warga setempat. Raut wajah kebahagiaan terpancar dan ucapan terima kasih yang tiada henti.
Menurut informasi yang kami dapatkan, bantuan ini merupakan yang pertama kali datang. Hingga tiba adzan magrib donasi pun selesai untuk disalurkan.
Meskipun sumbangan yang kami bawa masih jauh dari kata cukup, namun setidaknya bisa memenuhi kebutuhan sementara masyarakat sambil menunggu bantuan yang akan datang.
Seketika saya kembali bersyukur dapat sedikit bermanfaat untuk orang sekitar. Jangan takut berkorban untuk orang lain. Bila bisa membantu sesama, tandanya kita bisa bermanfaat.
Kedatangan kami di Lebani terbilang singkat. Sabtu, pukul satu dini hari kami meninggalkan desa ini untuk kembali ke Makassar. Perjalanan pulang memberikan ruang yang banyak untuk kembali merenungkan pengalaman yang baru saja dilewati.
Saya paham bahwa setiap perjalanan selalu dipenuhi dengan petualangan unik dan baru, tergantung bagaimana kita melihat, mengamati, memahami lalu memaknai.
Saya menikmati pengalaman dan perkenalan baru dengan masyarakat setempat. Walaupun perjalanan sebagai relawan membantu korban gempa adalah pengalaman pertama, menyaksikan langsung orang-orang kehilangan tempat tinggal, keluarga, harta dan lain-lain memberikan energi kepada saya untuk mengatasi masalah kecil yang selalu saya keluhkan. Itu semakin membuat saya bersemangat melakukan perjalanan jauh selanjutnya.
Haerunnisa
Ditulis dari cerita Andi Achmar Fadli M, mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Unhas
Angkatan 2016