Pers di Indonesia telah tumbuh dan berkembang sejak sebelum kemerdekaan. Meskipun pada awal perkembangannya, melalui banyak tantangan dan tekanan, pers mempunyai peran cukup kuat dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Memasuki zaman demokrasi terpimpin dan orde baru, pers banyak mengalami penindasan atas aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah. Kebebasan pers baru diraih pasca reformasi yang ditandai dengan disahkannya UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers.
Pers mahasiswa sendiri lahir telah lahir seiring dengan munculnya gerakan kebangkitan Nasional yang diinisiasi oleh pemuda, pelajar dan mahasiswa. Saat itu, pers memainkan peran dalam menyebarkan ide-ide perubahan untuk memantik kesadaran rakyat akan pentingnya arti kemerdekaan. Di zaman itu pers mahasiswa kurang dipandang sebagai pergerakan pers yang profesional. Setelah era kemerdekaan, barulah pers mahasiswa memulai kiprahnya ke arah profesional.
Syahdan, bagaimana tantangan dan kondisi yang dihadapi pers di era revolusi industri 4.0 seperti saat ini? Apa yang harus dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut? Menjawab pertanyaan tersebut, berikut kutipan wawancara reporter identitas, Urwatul Wutsqaa dengan Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers Indonesia, Asep Setiawan via Whatsapp, Senin (3/2).
Semakin derasnya kebutuhan informasi, bagaimana Anda melihat peran pers hari ini?
Peran pers tetap pada tiga hal penting yakni sebagai media pendidikan, informasi dan hiburan serta kontrol sosial. Dengan banjirnya informasi melalui media digital, maka fungsi informasi semakin penting bagi media. Media massa memiliki kemampuan memproses data menjadi informasi berguna untuk publik melalui kaidah-kaidah jurnalistik. Kaidah jurnalistik berupa olah data yang diterima, kemudian menyunting, dan memublikasikannya. Di antara prinsip jurnalistik itu adalah akurat, berimbang dan tidak menghakimi.
Dunia pers sudah memasuki era revolusi industri 4.0, artinya kebebasan pemberitaan semakin terbuka dan akan memberikan dampak kedepannya. Bagaimana cara menyikapi fenomena tersebut?
Revolusi industri 4.0 adalah penggunaan digital dan kecerdasan buatan dalam proses keluarannya. Dampak positifnya adalah berubahnya cara manusia dalam melakukan proses produksi, termasuk mengolah informasi yang semakin cepat dan padat tanpa mengenal waktu dan tempat. Alhasil, semakin banyak manusia memproduksi informasi apalagi melalui media sosial, maka semakin sering juga konsumsi informasi palsu.
Agar tidak menjadi malapetaka, maka publik perlu diedukasi untuk mengonsumsi informasi secara cerdas, seperti proses cek dan ricek sebelum menyebarkan informasi yang diterima. Selain itu, melacak sumber informasi, sehingga jika ada informasi anonim atau palsu maka publik tidak langsung percaya tapi berusaha untuk memeriksa terlebih dahulu.
Sisi lain, dengan peredaran rentetan informasi palsu di ranah digital, apakah membuat kepercayaan publik terhadap pers menjadi berkurang?
Ya,. itu menjadi tantangan pers di era milenal. Kita harus menjaga kepercayaan publik terhadap pers. Selain menjaga kepercayaan publik terhadap pers nasional, maka pers mahasiswa juga harus memiliki komitmen menjaga kualitas informasi yang disebarkan dengan menganut asas-asas seperti media nasional, mengacu kepada kode etik jurnalistik. Adanya informasi yang bisa dipercaya dari pers, maka dengan metode apapun berita itu disampaikan, publik akan mempercayainya.
Apa yang harus dilakukan seorang jurnalis dalam menghadapi tuntutan zaman , khususnya para jurnalis kampus?
Saat ini jurnalis dihadapkan kepada perkembangan teknologi informasi yang super cepat, sehingga harus menangani banjir informasi yang dapat bermanfaat untuk publik. Maksudnya, data yang dikelola itu menjadi pengetahuan yang bermanfaat dalam mengambil keputusan. Oleh sebab itu, jurnalis harus dilengkapi dengan bekal pengetahuan yang memadai mengenai teknologi.
Jurnalis kampus juga harus memiliki bekal pengetahuan dari kalangan jurnalis profesional. Ilmu yang diberikan harus terus dipraktekan di kampus, sehingga menjadi ajang latihan sebelum terjun ke pers nasional. Jurnalis kampus yang melatih diri dengan prinsip dasar jurnalistik serta penggetahuan mengenai UU Pers No 40/199 dan Kode Etik Jurnalistik, begitu memproduksi karyanya di kampus akan menyamai mereka yang menjadi jurnalis profesional.
Bagaimana posisi pers mahasiswa di masa sekarang?
Posisi pers mahasiswa adalah tempat belajar dan berlatih sebagai kader bagi pers nasional di masa datang setelah selesai pendidikan tingginya. Oleh sebab itu, Dewan Pers berharap bahwa posisi sebagai mahasiswa yang masih dalam masa studi ini dimanfaatkan juga untuk belajar mengelola media massa, sebagai bagian dari pelatihan dan pendidikan. Adapun peran pers mahasiswa saat ini tidak lain adalah menjadi media pembelajaran jurnalistik yang profesional. Jadi sebelum terjun ke media profesional, pers kampus menjadi bagian dari kehidupan pers nasional untuk mempersiapkan kader-kader jurnalis yang profesional di masa mendatang.
Menurut Anda, apa perbedaan antara idealisme pers mahasiswa masa lampau dengan sekarang?
Idealisme mahasiswa sebagai kaum intelektual tidak ada perbedaan yang esensial, yakni menyuarakan kebenaran ilmiah karena bagian dari institusi pendidikan tinggi. Kebenaran ilmiah itu sendiri berbasiskan kepada riset melalui tahapan dan metode riset yang sudah biasa dilakukan di perguruan tinggi. Oleh sebab itu idealisme pers mahasiswa juga sebenarnya sama menyuarakan kebenaran hanya dengan berkembangnya teknologi media maka cara penyampaian idelialisme ini bisa semakin luas, semakin cepat dan semakin lengkap.
Menjamurnya media online di Indonesia, apa ini menjadi tantangan atau sebaliknya?
Media online yang jumlahnya puluhan ribu di Indonesia merupakan bagian dari aspek teknologi yang semakin terjangkau dan murah. Namun, catatan Dewan Pers, tumbuhnya media online tidak diimbangin dengan sertifikasi media dan kompetensi wartawan yang sesuai. Artinya media online harusnya dapat menata diri di tingkat perusahaannya, memiliki syarat sehingga dapat memberikan manfaat besar bagi karyawan, wartawan, dan publik. Jika tumbuhnya media online ini tidak diimbangi penjagaan kualitas lembaga dan wartawan, maka menjamurnya media ini akan membawa masalah baru bagi publik karena karya jurnalistik yang tidak profesional akan melahirkan informasi yang tidak akurat, berimbang dan bermanfaat.
Tiga pilar utama penyangga Pers (idealisme, komersialisme, profesionalisme) , di era sekarang, apa yang harus dilakukan seorang jurnalis agar ketiganya dapat berjalan seimbang?
Idealisme itu menyangkut peran pers menjalankan fungsi menyebarkan informasi, edukasi, hiburan, dan kontrol sosial. Jadi pers tidak hanya memerankan diri kontrol sosial seperti mengkritik pengambil kebijakan dan melalukan investigasi, tapi di atas semuanya haruslah memberikan pendidikan kepada publik termasuk di kalangan kampus. Komersialisme di dunia pers merupakan bagian dari kehidupan pers nasional yang diperbolehkan menurut UU No. 40 Tahun 1999, dimana pers merupakan lembaga ekonomi. Artinya ketika idealisme itu harus dicapai dengan lahirnya produk jurnalistik yang memberikan informasi berharga dan bernilai pendidikan, maka lembaga media itu harus sehat. Profesionalisme jurnalis sudah didudukng oleh program Dewan Pers melalui ujian kompetensi, dimana wartawan dibagi tingkatan mulai muda, madya dan utama.
Data Diri:
Nama : Asep Setiawan
Pekerjaan : Anggota Dewan Pers,
Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers Periode 2019 – 2022
Riwayat Pendidikan :
S1 Hubungan Internasional Fisip Unpad, Bandung tahun 1988
S2 Hubungan Internasional, Universitas Birmingham, Inggris tahun 1994
S3 Hubungan Internasional dari Fisip Unpad, Bandung tahun 2019
Pengalaman Kerja :
Wartawan Harian Kompas 1989
Wakil editor desk internasional sejak 1991
Editor Kompas.com 1999
Presenter BBC World Service Departemen Indonesia di London tahun 2000
Kepala Biro BBC Indonesia di Jakarta tahun 2002 dan kemudian tahun 2008-2010
Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV 2012
Kepala Media Research Center di Metro TV 2013