Lemari itu dipenuhi bundel arsip. Saya terdiam di depannya, mengamati tahun demi tahun arsip surat kabar itu, lalu dengan acak memilih bundel tahun 2001. Lembar demi lembar saya buka, berharap ada informasi yang menarik untuk kembali menjadi bahan tulisan. Hanya beberapa lembar kemudian, mata saya tertuju pada satu tulisan. Tulisan itu mengulas terkait pers mahasiswa.
Dari dulu peran pers mahasiswa memang menjadi bahan diskusi yang menarik. Di identitas, hal itu juga kerap diperbincangkan oleh para redaktur dan reporter di kala senggang.
Hal ini tidak lepas dari beragamnya dinamika serta anggapan bahwa pers mahasiswa tak lebih dari sekedar memberitakan apa yang terjadi di kampus, atau yang lebih parahnya dianggap sebagai humas kampus. Namun di luar daripada itu, apa sebenarnya peran pers kampus dan bagaimana dinamikanya saat ini? Tulisan ini hendak mempertegas kembali hal tersebut.
Sejarah pers mahasiswa di Indonesia
Sejarah awal pers mahasiswa dapat dilacak kembali ke era kebangkitan nasional Indonesia pada dekade 1900-an. Pers mahasiswa kala itu menjadi alat untuk menyebarkan ide-ide perubahan yang menitikberatkan pada kesadaran rakyat akan pentingnya arti sebuah kemerdekaan. Era ini ditandai dengan munculnya berbagai organisasi pemuda seperti Hindia Putra, Jong Java, Oesaha Pemoeda, dan Soeara Indonesia Moeda.
Selanjutnya, di masa-masa penjajahan, dinamika pers mahasiswa tak mengalami perkembangan signifikan. Noegroho Notosusanto mengatakan, kiprah profesionalitas pers mahasiswa baru muncul kembali di era setelah kemerdekaan.
Pada masa demokrasi liberal (1945-1948) benih-benih perkembangan pers mahasiswa mulai tumbuh kembali. Puncaknya pada 1950-an ketika digelar konferensi pers mahasiswa pertama yang melahirkan organisasi Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI). Dua organisasi ini dilebur menjadi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) dalam konferensi II pada 1958.
Di masa demokrasi terpimpin (1959-1966), pers mahasiswa mengalami krisis eksistensial. Pemberlakukan doktrin Manipol Usdek membuat insan pers mahasiswa yang independen perlahan tersingkirkan.
Pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru membuat pers mahasiswa kembali menunjukkan taringnya. Tetapi tak berselang lama setelah pergantian tersebut, pemerintahan Soeharto kembali mengekang kebebasan pers dengan pembredelan beberapa media utama, seperti Tempo, Kompas, Sinar Harapan, dan lainnya. Alhasil, pers mahasiswa berdiri sebagai media alternatif. Pers mahasiswa mampu menerbitkan artikel yang mengkritik pemerintah. Puncaknya, media terbitan mahasiswa bahkan laku hingga lima ribu eksamplar (Historia, 2022).
Namun, semuanya tak berjalan mulus. Seperti media utama, pers mahasiswa turut dibungkam dalam bentuk pemotongan anggaran oleh pihak kampus.
Di akhir pemerintahan Soeharto, pers mahasiswa masih menjalani tugas utamanya yakni sebagai agen pemersatu mahasiswa, mulai dari konsolidasi gerakan, aksi demonstrasi, hingga penyebaran wacana di kalangan mahasiswa.
Bukan sekedar pemberitaan
Pers mahasiswa bukanlah sekedar media pemberitaan belaka. Namun lebih dari itu, pers mahasiswa memainkan peran inspiratif dengan menyuarakan kritik, mengangkat isu-isu penting, menawarkan inovasi kreatif, membangun solidaritas, dan menjaga idealisme di kalangan mahasiswa. Melalui peran ini, pers mahasiswa tidak hanya menjadi media informasi, tetapi juga cermin kesadaran sosial dan pendorong perubahan yang lebih baik di masyarakat.
Selain itu, lembaga ini juga seyogyanya menjadi wadah untuk membangkitkan kesadaran intelektual. Sebagai bagian dari civitas academica, pers mahasiswa juga sering kali menjadi wadah untuk menyuarakan ide-ide kritis yang merespons berbagai fenomena sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Artikel-artikel yang diterbitkan tidak sekadar mengulas, tetapi juga memberikan analisis yang mendalam terhadap isu-isu tersebut. Hal ini kemudian mendorong pembaca untuk berpikir lebih jauh dan kritis.
Peran pers mahasiswa tidak bisa dipandang remeh. Sebagaimana dalam sejarahnya, pers mahasiswa telah memainkan peranan penting dalam penentuan kebijakan kampus, hingga bahkan dalam politik negara. Hal ini tidak lepas dari satu peran utama pers mahasiswa, yakni social control/kontrol sosial.
Sebagai kontrol sosial, pers mahasiswa menjalankan peran dengan memantau, mengkritik, dan memberikan masukan terhadap kebijakan dan praktik yang terjadi di dalam kampus maupun di masyarakat luas.
Dengan mengangkat isu ke publik, pers mahasiswa memberikan tekanan kepada pihak yang berwenang untuk mempertimbangkan kembali kebijakan yang telah diambil. Kritik ini tidak hanya berbasis pada pendapat, tetapi juga didukung oleh data, hasil survei, dan analisis mendalam.
Pers mahasiswa di ambang keruntuhan
Meskipun memiliki peran yang sangat vital, tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan pers mahasiswa mengalami pasang surut. Dinamika sosial politik sangat berperan dalam hal ini.
Melihat kondisi kini, pers mahasiswa sedang mengalami stagnasi. Publikasi seadanya, hingga konten yang tidak lagi semeriah masa-masa ketika terjadi pergolakan politik di masa lampau. Hal ini terlihat jelas pada beberapa media mahasiswa di beberapa kampus saat ini.
Setidaknya ada tiga alasan yang kemungkinan menjadi penyebabnya. Pertama, minat mahasiswa terhadap pers mahasiswa tidak lagi sebaik dulu. Idealisme untuk menyampaikan pemberitaan perlahan berkurang sejak munculnya berbagai alternatif kegiatan mahasiswa.
Hal ini juga dipengaruhi oleh tradisi intelektual, seperti berdiskusi dan berdebat di luar aktivitas perkuliahan yang sudah mulai ditinggalkan. Liberalisasi pendidikan membuat orientasi mahasiswa lebih condong untuk memenuhi tuntutan industri ketimbang berdialektika.
Yang kedua, kebijakan kampus terhadap pers yang seringkali dianggap bertolak belakang membuat pers kehilangan taringnya. Hampir serupa pada masa-masa orde baru ketika kritikan yang berlandaskan pada pemikiran dan riset tak lagi diindahkan oleh pihak negara yang berujung pada pembungkaman. Hal serupa juga terjadi saat ini. Tetapi bukan oleh pemerintah, melainkan kampus itu sendiri.
Pandangan pihak kampus yang seringkali melihat pers mahasiswa sebagai media untuk ”memberitakan apa yang seharusnya diberitakan” membuat ruang-ruang kritis pers mahasiswa hilang. Padahal pers harusnya turut menjalankan kontrol sosial di lingkungan kampus.
Fenomena itu berujung pada faktor ketiga, yakni kurangnya dukungan pihak kampus terhadap keberadaan pers mahasiswa. Untuk yang terakhir ini, silahkan ditafsirkan sendiri.
Masa depan pers mahasiswa kini ada di tangan para akademisi, khususnya mahasiswa, dan pengelola kampus, apakah ingin kembali memupuk budaya-budaya akademik melalui pers mahasiswa atau lebih mengedepankan tuntutan industri.
Menutup tulisan ini, saya ingin menyampaikan salah satu kutipan terkenal dari seorang penulis asal Amerika, Mark Twain. ”There are only two things that can be lightening the world. The sun light in the sky and the press in the earth.”
Zidan Patrio
Redaktur PK identitas Unhas 2024