“Desaku yang kucinta, pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku.”
Penggalan lagu ciptaan Liberty Manik tersebut seolah mempertegas eksistensi desa sebagai sebuah tempat yang ideal bagi masyarakat. Namun, realitanya kini berbanding terbalik. Kondisi desa yang seringkali dilihat tertinggal secara ekonomi mendorong masyarakatnya untuk bekerja di sektor lain, hingga memilih untuk mencari kerja di kota.
Menurut Badan Pusat Statistik, angka pengangguran di desa-desa Indonesia pada tahun 2023 mencapai 3,88 persen. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 3,43 pada Agustus 2022. Salah satu faktor terjadinya peningkatan semacam ini ialah mengecilnya kepemilikan lahan pertanian di desa akibat perubahan agraria.
Perubahan agraria mengacu pada perubahan sistem penguasaan lahan di mana banyak orang yang hanya memiliki sedikit lahan, hingga sama sekali tidak punya. Hal itu yang kemudian mendorong para pemuda untuk keluar dari desa dan lebih memilih untuk bekerja di kota untuk mencari penghidupan yang lebih layak.
Kondisi tersebut tergambar jelas dalam sebuah penelitian kolaborasi yang dilakukan oleh tim Forest and Society Research Group (FSRG) Unhas melalui program Partnership of Australia-Indonesia on Research (PAIR). Penelitian berjudul “The persistence of precarity: youth livelihood struggles and aspirations in the context of truncated agrarian change, South Sulawesi, Indonesia” ini diterbitkan dalam Jurnal Agriculture and Human Values pada 2023.
Penelitian kualitatif ini dilakukan di Kabupaten Maros, tepatnya empat desa dengan karakteristik berbeda-beda. Barugae di daerah pedalaman berhutan, Salenrang di perbatasan karst dan laut, Pajukukang di pesisir pantai, serta Pallantikang yang merupakan desa kota.
Seorang peneliti FSRG Unhas, Nurhady Sirimorok, menjelaskan penelitiannya ini berfokus pada pengalaman pemuda dalam menghadapi perubahan agraria dengan analisis yang menekankan pembahasan mata pencaharian, pendidikan, mobilitas, dan aspirasi mereka.
Melalui wawancara dan Focus Group Discussion (FGD), Nurhady dan tim menemukan, secara garis besar para pemuda tiap desa mengungkap keinginan mereka untuk mandiri secara finansial sehingga mampu menafkahi keluarganya. Namun kondisi ini tidak didukung oleh peningkatan lapangan kerja di desa. Kepemilikan lahan pertanian untuk diolah oleh masyarakat semakin kecil. Mau tak mau, mereka harus melakukan alih pekerjaan dengan memulai wirausaha, hingga membuka peluang kerja dari potensi desa untuk mendapatkan uang.
“Cita-cita pemuda itu tidak seragam. Hal ini akan berbeda berdasarkan (nilai) sosial dan gendernya dan menyesuaikan dengan norma dan ekonomi keluarga,” ujar lulusan Doktor Ilmu Kehutanan Unhas itu, Selasa (02/04).
Di Barugae para pemuda mendambakan posisi aman seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki gaji tetap walau proses rekrutmen dan persyaratannya dinilai sulit. Sementara para pemuda Pajukukang lebih tertarik menjadi pegawai minimarket karena menghasilkan gaji tetap dan pekerjaannya tidak begitu padat.
Bagi pemuda yang berasal dari keluarga berkecukupan, mereka menyelesaikan pendidikan SMA dan melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan itu, peluang mereka mendapatkan pekerjaan stabil bisa lebih luas lagi.
Nurhady mengungkap, hal paling menarik baginya selama penelitian ini ialah bagaimana masyarakat Salenrang berhasil menghadirkan industri pariwisata baru. Industri baru ini memberi jalur alternatif bila pemuda tak ingin melakukan mobilisasi.
Berbeda dengan Salenrang, kerja kolektif jangka panjang di tiga desa lainnya masih terbilang sangat kurang. Masyarakat mengalami kesulitan mengatasi persoalan penghidupan di desa mereka. Mereka justru cenderung hanya mengurus kepentingan masing-masing dan akhirnya memilih merantau ke kota demi mencukupi kebutuhan ekonominya.
“Perantauan memang hal yang lazim. Namun yang jadi masalah apabila orang-orang pergi (dari suatu daerah) dengan jumlah yang banyak bukan karena keinginannya, tapi karena terpaksa,” ucap Nurhady.
Situasi seperti ini bisa terjadi saat peluang kerja di desa semakin sempit hingga akhirnya tiada. Demi mencegah hal tersebut terjadi, masyarakat desa harus menyamakan visi dan mulai bekerja kolektif jangka panjang, bukan sebatas kerja proyek seperti yang kerap ditemukan di beberapa desa saat ini.
Memilih untuk merantau memang bukan hal yang salah. Setiap individu memiliki haknya masing-masing untuk mengembangkan diri sesuai dengan minatnya dan mobilisasi juga menjadi opsi dalam mengatasi kerentanan finansial. Sayangnya, merantau bukanlah obat mujarab untuk mengatasi kerentanan penghidupan pedesaan.
Terkait hal tersebut, penelitian ini turut mengungkap kerentanan berbasis gender yang pernah dialami masyarakat kala bekerja di luar kota atau negara lain. Mereka mengungkap ada banyak tantangan yang telah dilalui selama itu, seperti kekerasan, malaria, gempa bumi, padatnya jam kerja, kontrak tidak aman, gaji tidak stabil, biaya hidup tinggi, hingga risiko deportasi.
Dengan terungkapnya kerentanan yang dialami pemuda desa ini, Nurhady berharap, pemuda dapat diberikan ruang untuk bisa mengelola masa depannya sendiri di desa. Sebab kondisi di desa saat ini memperlihatkan para pemuda jarang diikutkan dalam diskusi terkait perancangan kebijakan. Mereka hanya akan diikutsertakan ketika dibutuhkan tenaganya.
“Bagaimana mereka bisa merasa terikat dengan desa, sementara mereka saja jarang dilibatkan?” pungkas Nurhady.
Nurul Fahmi Bandang