Mei adalah momentum mahasiswa berdemonstrasi untuk memperingati hari pendidikan, buruh hingga mengenang reformasi 1998.
Hari-hari besar itu, dalam tiga tahun terakhir dirayakan demo, demo dan demo. Mempraktikkan metode lama, tentu tidak salah. Namun, berharap adanya transformasi paradigma lama ke paradigma baru ke arah lebih mencerahkan merupakan hal yang patut dimimpikan. Setiap zaman pasti memiliki semangatnya sendiri, orangnya sendiri, dan tidak bisa mengulangnya pada hari-hari depan.
Perubahan gerakan mahasiswa sangat terasa tiga tahun terakhir. September 2019, ribuan mahasiswa seluruh Indonesia turun ke jalan menuntun keadilan. Mereka menolak sejumlah rancangan undang-undang, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP, Revisi UU KPK dan RUU Ketenagakerjaan, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKSS).
Gerakan penolakan terhadap tututan ini menunjukkan kepedulian terhadap masa depan rakyat dan mahasiswa sendiri.
Aksi bertajuk turunkan Presiden Joko Widodo dan reformasi dikorupsi tentu mempunyai konsekuensi dalam pergerakannya seperti korban jiwa. Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari meninggal merupakan salah satu contohnya. Ditambah, kekerasan represif yang dilakukan pihak keamanan ketika demonstrasi.
Kala itu, larut dalam duka bukan menjadi solusi. Gelombang mahasiswa terus meletup, dan disambut perlawanan dari pihak keamanan. Sejumlah video dan foto beredar di media sosial menunjukkan keganasan kekuasaan, hingga gerakan itu meredup.
Memasuki Oktober 2020, demonstrasi besar-besaran kembali dilakukan. RUU Cipta Kerja yang berhasil disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi penyebabnya. Sayangnya gelombang gerakan itu belum mampu mengubah kegelisahan mahasiswa dan masa depan rakyat. UU tetap eksis hingga sekarang.
Tahun ini, mencoba gerakan massa yang lebih besar tentunya tidak mungkin di tengah pandemi Covid-19. Memaksakan hal ini, merupakan konsekuensi besar bagi kesehatan peserta aksi. Ada pula mereka yang tetap melanjutkan perlawanan dengan beberapa orang yang bisa dihitung jari.
Pergerakan muncul dari keresahan-keresahan mahasiswa akan masa depan bangsa. Atau pun untuk upaya menjaga eksistensi gerakan mahasiswa.
Fakta lain, gelombang mahasiswa yang terus bermunculan tidak lebih dari mempertontonkan kelompok sendiri, identitas, ideologi ataupun almamater. Menunjukkan belum adanya kesatuan aksi. Belum memandang dirinya bagian dari suatu komunitas yang dibayangkan bersama.
Maksud komunitas terbayang merujuk pada tulisan Benedict Anderson yang menjelaskan bangsa dan nasionalisme. Ben Anderson percaya suatu bangsa terbentuk karena adanya orang-orang yang memandang dirinya bagian dari komunitas tersebut, dibayangkan secara bersama. Walaupun mereka terpisah jauh dan tidak saling mengenal, tetapi mereka merasakan kesamaan nasib.
Dari pandangan Ben Anderson, kita bisa menyimpulkan bahwa pergerakan mahasiswa seluruh Indonesia tidak lagi menjadi persoalan adanya batas geografi. Mereka dapat dengan mudah saling berkomunisasi dan merencakan aksi.
Bila melihat generasi Z yang sangat akrab dengan internet sejak usia dini, maka mereka dapat melahap informasi secara tidak terbatas. Cukup menggunakan telepon canggih, semua bisa mereka peroleh melalui media sosial. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia dapat cepat dirasakan. Dengan begitu, aksi solidaritas akan tetap bisa terbangun melalui kecanggihan teknologi, bahkan dengan orang-orang yang tidak bertemu secara fisik.
Solidaritas akan kegelisahan dan kepentingan bersama akan membawa gerakan-gerakan lebih masif. Sayangnya, kesamaan nasib ini tidak semenonjol warna almamater, kepentingan lembaga, dan organisasi kedaerahan.
Kekuasaan telah melihat polarisasi dan menganggap ada celah dalam pergerakan mahasiswa. Di sisi lain, kita setidaknya masih meyakini adanya eksistensi pergerakan mahasiswa walaupun terlihat pasang surut. Begitu pula kita menjadi selalu berpikir mencari alternatif pergerakan yang lebih efisien.
Di titik itulah, Mei 2021 harus diperingati bukan dengan agenda 23 tahun lalu. Tetapi rentetan peristiwa yang terjadi tiga tahun terakhir dari tewasnya beberapa mahasiswa, kekerasan fisik terhadap demonstran, dan tuntutan yang belum selesai. Mestinya menjadi semangat untuk tetap melanjutkan gerakan mahasiswa. Gerakan yang dapat disalurkan tanpa menghadirkan massa fisik, melainkan memanfaatkan teknologi. Sebaik-baik pilihan mungkin itu yang mesti dilakukan.
Arisal
Redaktur Pelaksana PK identitas Unhas 2021
Editor : Sri Hardiana