Perubahan iklim kini menjadi isu serius di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia. Di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), dampak dari perubahan iklim ini sangat signifikan, terutama dalam sektor pertanian.
Sebagai salah satu negara agraris, perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian karena bergantung langsung ke alam. Kondisi alam yang buruk akan berdampak buruk pula pada kondisi pertanian masyarakat. Akibatnya, mata pencaharian masyarakat tani bisa terganggu.
Di Indonesia hal ini jelas sangat terasa karena ekonomi mayoritas penduduk Indonesia saat ini masih bergantung pada mata pencahariannya sebagai petani. Isu-isu yang beredar dari banyaknya petani yang mengalami gagal panen hingga impor beras menjadi sorotan utama dari daruratnya perubahan iklim ini.
Lantas bagaimana para petani di Sulsel melihat fenomena ini? Hal itulah yang berusaha diungkap oleh seorang mahasiswa program Doktor atau S3 Pertanian Universitas Hasanuddin, Dr Arifah Zainuddin SP. Penelitiannya terkait perubahan iklim ini kemudian diterbitkan dalam artikel berjudul “Persepsi Petani tentang Perubahan Iklim dan Dampaknya terhadap Mata Pencaharian di Sulawesi Selatan”.
Penelitian yang dilakukan Arifah itu menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan memilih 100 rumah tangga petani secara acak untuk diwawancarai. Adapun daerah yang menjadi sampel pada penelitian diwakili oleh Kota Makassar, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Bone, dan Tana Toraja.
Pada empat wilayah yang diteliti, didapati telah terjadi perubahan suhu dari waktu ke waktu. Sebanyak 89 persen responden menyatakan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan suhu permukaan meningkat dan musim kemarau yang lebih panjang.
Suhu bumi secara umum cenderung semakin hangat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang diperoleh Arifah, dalam rentang waktu 1971 hingga 2006 saja, suhu mengalami peningkatan 0,5 derajat celcius di atas rata-rata suhu global.
Makassar dan Bone menjadi wilayah yang paling terdampak dari perubahan iklim ini. Makassar mengalami kesulitan untuk memperoleh air bersih akibat kemarau panjang karena limpasan air dari Bendungan Bili-Bili mengalami penurunan yang signifikan. Di Bone, debit air yang semakin berkurang menyebabkan terjadinya gagal panen.
Sementara di Tana Toraja, dampak dari perubahan iklim tak begitu terasa karena kondisinya yang berada di dataran tinggi. Meski demikian, para petani mengakui telah terjadi perubahan jadwal musim hujan dari tahun-tahun sebelumnya. Kondisi serupa terjadi di Bulukumba yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Musim hujan bergeser hingga puluhan hari dan tidak dapat diprediksi secara pasti.
Perubahan iklim telah mengubah pola musiman. Mayoritas petani Sulsel memandang bahwa musim menjadi tidak normal. Rencana petani dan nelayan yang melihat awal musim dengan tanda-tanda alam menjadi kacau akibat perubahan iklim.
Di Bone misalnya, ketika para petani telah melihat bintang di barat muncul yang menjadi pertanda akan datangnya musim hujan, ternyata hal itu tidak sesuai prediksi. Akibatnya, petani yang terlanjur mulai menanam wijen dan kacang tanah harus merasakan kerugian.
Pergeseran musim hujan dan panjangnya musim kemarau menyebabkan petani pada sawah tadah hujan terlambat memulai musim tanam karena tidak adanya atau berkurangnya curah hujan. Ketika penelitian dilakukan, Arifah menemukan aktivitas petani di beberapa wilayah ini terlambat beberapa minggu dibandingkan tahun sebelumnya. Kejadian yang paling serius adalah kegagalan panen di Bone akibat kemarau panjang.
“Kalau berbicara data, pada tahun 2018 sekitar 2.400 bencana terjadi di Indonesia, sehingga petani kita yang sangat bergantung pada iklim mengalami penurunan produksi yang sangat signifikan mencapai 1-1,5 persen dalam sepuluh tahun terakhir,” ungkapnya.
Sementara di Makassar dan Bulukumba, musim yang sulit untuk diprediksi mempengaruhi jumlah tangkapan ikan nelayan. Mereka terpaksa harus mengubah rencana mereka karena musim yang tidak menentu.
“Karena cuaca tidak menentu, seperti angin kencang dan hujan, nelayan yang seharusnya melaut, mengurungkan niatnya bahkan yang sudah di tengah laut harus pulang meskipun belum mendapatkan hasil sama sekali,” ujarnya.
Beberapa petani harus kehilangan pekerjaan
Selain menyajikan data terkait dampak yang dialami oleh para petani, penelitian yang dilakukan alumni S3 Pertanian Unhas ini juga mengungkapkan fakta bahwa masih banyak petani yang masih menggunakan cara tradisional dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim. Ditemukan bahwa masyarakat masih mempercayai kearifan lokal yang berkaitan dengan alam, sehingga bentuk adaptasi yang dilakukan adalah dengan memperbaiki nilai religius atau dengan beribadah.
Namun tidak sedikit juga yang sudah mulai beradaptasi dengan perubahan yang ada. “Jadi mereka sudah mulai menerima informasi ilmiah terkait perubahan iklim dari kelompok petani yang mereka masuki dan dari media sosial maupun radio atau media lainnya,” kata Arifah.
Adapun beberapa petani yang melakukan upaya lainnya sebagai bentuk adaptasinya, di antaranya dengan melakukan alih fungsi lahan hingga bermigrasi ke kota. Hasil panen yang menurun tajam serta serangan hama yang tak kunjung terhenti membuat mereka terpaksa beralih profesi. Mereka yang kehilangan pekerjaannya mencoba untuk mengadu nasib ke kota untuk mencari penghasilan lain, seperti menjadi tukang batu dan tukang kayu.
“Sudah banyak juga yang berjualan di rumahnya karena tidak bisa lagi mengharapkan hasil sawahnya,” tambahnya,
Pilunya lagi, karena dampak dari perubahan iklim yang membuat banyak petani tidak menghasilkan akhirnya membuat mereka terlilit hutang demi memenuhi kebutuhan mereka. Permasalahan yang terjadi ini sangat memerlukan perhatian dari masyarakat dan pemerintah.
Dalam menangani perubahan iklim ini, terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan, di antaranya dengan menggunakan pengetahuan lokal dan penerapan adaptasi berbasis ilmiah. Perubahan iklim ini tidak hanya berdampak pada kekeringan saja, melainkan juga pada peningkatan hama yang menyerang lahan pertanian.
“Pengetahuan lokal seperti mengusir hama menggunakan air tembakau dan membuat perangkap tikus merupakan tradisi yang sudah mulai berkurang saat ini,” ucapnya.
Seiring berkembangnya pengetahuan dan teknologi, banyak petani yang juga beralih menggunakan pestisida untuk membasmi hama. Para petani juga sudah diperkenalkan dengan inovasi lainnya seperti penggunaan bibit padi yang tahan kekeringan hingga budidaya Salinan Ibu (Salibu).
“Budidaya ini tidak lagi menggunakan bibit, tetapi tunas-tunas kecil yang ditumpukkan kembali sehingga dapat bertahan di musim-musim yang kurang air,” jelasnya.
Melalui penelitian ini, diharapkan agar isu-isu perubahan iklim dapat dipahami oleh seluruh kalangan, utama bagi pemerintah sebagai penentu kebijakan. Arifah juga menegaskan, isu perubahan iklim ini merupakan isu yang krusial sehingga diperlukan peran dari setiap kalangan untuk mengambil bagian terhadap perubahan yang terjadi.
Jum Nabillah
