Beraktivitas di luar ruangan pada siang hari bukanlah sebuah pilihan yang bijak akhir-akhir ini. Cuaca panas yang ekstrem telah melanda berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab terjadinya fenomena tersebut ialah emisi karbon.
Emisi karbon bisa disebabkan oleh bahan bakar fosil di bidang manufaktur, pemanasan, dan transportasi, serta emisi yang diperlukan dalam menghasilkan listrik untuk keperluan barang dan jasa yang dikonsumsi.
Bukan tanpa perlawanan dari alam, beberapa jenis pepohonan bisa menyimpan karbon. Namun tak banyak yang tahu jika di dasar laut, terdapat tanaman yang punya kekuatan untuk menyerap karbon, yaitu lamun.
Dilansir dari artikel Mongabay, satu kilometer padang lamun mampu menyimpan dua kali lebih banyak karbon dibanding hutan.
Sayangnya di Indonesia sendiri, masih banyak padang lamun yang belum tervalidasi. Pada kegiatan Lestari Summit 2024 di Jakarta, Direktur Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Imran Amin menyebut jika pemetaan padang lamun di Indonesia baru mencapai 10 persen.
Selain karena laut Indonesia yang luas, masalah tersebut juga terjadi akibat teknologi yang digunakan dalam pemetaan lamun masih belum cukup mutakhir untuk membantu para peneliti.
Maka dari itu, Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Muhammad Alif Muqorrabin yang didampingi oleh Prof Dr Nurjannah ST MSi dan Dr Supriadi ST MSi melakukan penelitian dengan memetakan lamun menggunakan unmanned aerial vehicle (UAV) dan metode object sased image analysis (OBIA) di Pulau Barrang Lompo.
“Saya memilih penelitian ini karena orang-orang masih kurang meneliti dalam melakukan pemetaan lamun menggunakan Drone. saya yang menjadi peneliti pertama pemetaan dan kerapatan lamun sampai tingkat spesies di kampus Unhas,” kata Alif, Kamis (22/08).
Butuh pesawat nirawak
Metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari penentuan stasiun, pengambilan foto udara, pengambilan data in situ, pengolah data UAV, dan analisis statistik. Pengambilan data in situ merujuk pada proses pengumpulan informasi langsung di lokasi lapangan, dalam hal ini pulau Barrang Lompo yang dipilih karena terjangkau oleh si peneliti dan ekositem lamunnya masih banyak.
Area penelitian dibagi menjadi kuadran berbentuk persegi dengan ukuran 50 x 50 cm, kemudian data dikumpulkan dengan memperkirakan persentase area kuadran yang tertutup oleh lamun. Dengan cara ini, peneliti dapat memperoleh informasi mendetail tentang distribusi lamun dan kondisi lingkungan di sepanjang jalur yang telah ditentukan.
Selanjutnya untuk membantu pengamatan lamun secara detail, mahasiswa FIKP itu menyelam dan melakukan pendataan didalam air menggunakan kertas underwater dan sabak plastik untuk mencatat data lapangan.
Selain pengamatan secara langsung dengan menyelam, ia melakukan pengamatan melalui udara dengan menggunakan pesawat nirawak DJI GS Pro. Adapun elevasi penerbangannya yakni 30 dan 50 meter. Hasil dari akuisisi foto di udara akan digabungkan menjadi satu gambar peta yang akurat dan terukur.
“Data gambar yang dihasilkan lebih baik dan beresolusi tinggi, masing-masing resolusinya adalah 1,3 dan 2,2 cm/pixel,” ungkapnya.
Setelah itu, hasil gambar akan melalui seleksi objek (masking) untuk menghilangkan daratan dan sampah. Proses segmentasi pada masing-masing citra dilakukan menggunakan aplikasi open source System for Automated Geoscientific Analyses (SAGA), yang memungkinkan analisis dan pengolahan data geospasial secara efisien dan gratis.
Saat ingin mengekstrak data penelitian menjadi digital number guna klasifikasi tutupan lamun, mereka dibagi menjadi empat kelas, yaitu sangat jarang, jarang, padat, dan sangat padat.
“Dari foto orthomosaic yang dihasilkan dalam pengambilan data secara in situ, saya berhasil mengidentifikasi 80 titik dan 8 spesies lamun, yaitu Cymodocea rotundata (Cr), Cymodocea serrulate (Cs), Halodule pinifolia (Hp), Halophila ovalis (Ho), Halodule uninervis (Hu), Enhalus acroides (Ea), Syringodium isoetifolium (Si), dan Thalassia hemprichii (Th),” sebut pria yang lulus pada Mei kemarin.
Tantangan penelitian
Tantangan dalam melakukan pemetaan lamun secara in situ tidak terlepas dari berbagai kendala, seperti kondisi cuaca yang tidak menentu, keberadaan awan yang menghalangi pengamatan, aliran ombak laut yang tidak stabil, serta kesulitan dalam menentukan koordinat lokasi yang akurat akibat ketidakakuratan Global Positioning System (GPS).
Selain itu, ketersediaan perangkat lunak yang digunakan untuk pemetaan lamun masih sangat terbatas. Begitu pula literatur pengolahan data melalui perangkat lunak yang tersedia. Sebab saat ini, hanya ada satu literatur yang tersedia.
“Saya sudah membaca sekitar 100 jurnal, tetapi literatur yang menjelaskan secara detail pengolahan data lamun hampir tidak ada. Saya hanya menemukan satu literatur, dan itu pun tidak menjelaskan secara detail,” jelasnya.
Muh Fadhel Perdana