Perkuliahan ini seharusnya sangat menyenangkan. Sebagai seorang mahasiswa Fakultas Pertanian kampus ternama, mata kuliah Dasar-Dasar Budidaya adalah salah satu yang paling ditunggu-tunggu. Namun hari ini, perhatianku terserap oleh kalimat pembuka dosen favoritku yang kini masih semangat menjelaskan materinya.
Terngiang-ngiang suara lantangnya di kepalaku. Sebelum masuk materi, ia bertanya di depan kelas, “Jika lulusan kedokteran akan menjadi dokter, maka lulusan pertanian seharusnya menjadi?” Ia menggantungkan pertanyaannya, anehnya, tidak ada yang menyambut pertanyaan itu. Empat puluh mahasiswa ‘Fakultas Pertanian’ dalam ruangan kecil itu bungkam.
Aku yakin, bukan karena tidak tahu jawabannya, tapi semua mahasiswa ini mungkin cenderung tidak mau menerima kenyataan tuntutan profesi mereka kelak pasca wisuda. Kejadian pagi tadi menyentak sesuatu dalam diriku. Sebuah kesadaran akan timpangnya kesan dan nilai profesi di negeri ini.
Pernah kubaca dalam sebuah berita, Menteri Pertanian Indonesia 2014-2019, Amran Sulaiman ternyata telah lama sadar akan hal ini. Ia sempat mengatakan bahwa kebanyakan generasi muda tidak ingin menjadi petani karena profesi ini dianggap miskin, kotor, dan melelahkan. Jujur, tidak bisa diriku tidak setuju dengan pertanyaan itu. Nyatanya, itulah yang terjadi. Perkembangan pola pikir tentang petani masih menjadi bayang-bayang alasan runtuhnya kemauan anak muda untuk menjadikan petani sebagai cita-cita.
Sehubungan dengan itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga pernah meneliti fenomena ini. Riset itu menemukan bahwa modernisasi berpengaruh terhadap pilihan pekerjaan di masa depan. Khususnya untuk penduduk pedesaan, adanya tuntutan modernisasi memicu migrasi besar-besaran ke perkotaan. Hal ini menyebabkan pertanian skala kecil yang banyak berpusat di daerah kecil ditinggalkan.
Aku melirik ke sisi kanan ruangan, masih merenungkan, jika memang anak muda saat ini enggan menjadi petani, apa betul karena sebatas profesi petani tidak sesuai dengan standar modern yang ada saat ini? Otakku semakin keras berpikir, pasti ada alasan di balik itu. Mengambil perumpamaan profesi lain yang lebih ‘elit.’ Mengapa beberapa profesi justru sangat diagungkan dan banyak dicita-citakan? Padahal harfiahnya, semua profesi sama-sama memiliki fungsi menjaga kehidupan manusia tetap berjalan baik.
Apa karena masalah ekonomi? Ah… aku kira diriku telah menemukan salah satu jawaban. Tanpa menunjukkan sedikitpun kemunafikan, kebanyakan orang saat ini bersekolah untuk mendapatkan pekerjaan yang kemudian dapat membuatnya hidup berkecukupan dengan banyak uang. Namun mirisnya, anggapan miring tentang perekonomian petani masih berkembang di masyarakat. Bukan tanpa alasan, petani saat ini terkurung dalam dilema antara harga dan teknologi.
Pernah sekali dosenku menyampaikan keluhan petani binaannya saat kelas. Katanya, petani tersebut mengeluh bahwa profesinya saat ini adalah pekerjaan yang sangat amat berat. Karena membutuhkan ketahanan fisik dan mental. Bagaimana tidak? Minimnya penerapan teknologi mutakhir dalam pertanian skala kecil di Indonesia mengharuskan petani banting tulang untuk merawat tanamannya. Di samping itu, mereka harus diresahkan dengan keadaan pasar yang tidak menentu.
Dosenku kala itu melanjutkan, inflasi yang kian memburuk tiap tahun dan tidak adanya kepastian harga produksi pasca panen di Indonesia membuat beban pikiran petani menjadi semakin kompleks. Bayangkan, ketika masa perawatan, harga pupuk dan pestisida sedang tinggi-tingginya, pengolahan tentu tidak mudah, dan ketika panen, harus dihadapkan dengan penurunan harga jual yang mencekik. Sangat tidak adil membayangkan mereka berjuang dalam keabu-abuan.
Selain itu, penggunaan teknologi yang masih minim juga menjadi salah satu alasan petani menjadi kurang diminati. Pekerjaan ini disamping membutuhkan pengetahuan dan pengalaman, juga memaksa pelakunya untuk bekerja keras. Berurusan dengan tanah, tanpa atap berteman dengan terik matahari, sekedar penyediaan air dan pupuk pun membutuhkan tenaga fisik yang kuat. Hal ini menjadikan perkataan Amran tentang petani yang miskin, kotor, dan sangat melelahkan benar adanya.
Kesadaranku terpulihkan oleh pertanyaan penting dari dalam otakku. “Lalu, apa yang harus dilakukan?” Petani adalah pekerjaan yang penting, berhubungan langsung dengan ketahanan pangan dan kontribusinya terasa dalam tiap suap yang kita makan setiap hari. Tentu saat ini seharusnya menjadi era kejayaan pertanian, namun kembali lagi, apa yang sebenarnya bisa dilakukan untuk mewujudkan itu?
Kuraih gawaiku, mataku awas mencari artikel setelah jari-jariku mengetik “Cara menumbuhkan minat generasi muda terhadap pertanian” di kolom pencarian Google. Namun, isi beberapa artikel tidak beragam, hanya seputar memaksimalkan penggunaan teknologi, pemberian jenjang pendidikan yang tinggi, dan lainnya. Menurutku, terkesan tidak konkret. Bagaimana petani yang untuk membeli pupuk saja susah ingin diarahkan untuk menggunakan drone? Jika pendidikan yang tinggi menjadi jaminan, lalu mengapa tidak satupun mahasiswa di kelasku kini yang bisa menjawab pertanyaan dosenku tadi?
Bukankah seharusnya penjaminan kesejahteraan petani lebih penting diperhatikan saat ini? Bukankah buruknya kondisi ekonomi petani membuat profesi ini jarang diminati?
Banyak sekali pertanyaan berputar di otakku. Sampai kelas berakhir pun, aku tetap tidak bisa menemukan kesimpulan, mataku terarah ke papan tulis yang hampir penuh dengan coretan. Tapi pikiranku mencari jawaban. Mungkin memang permasalahan ini harus dituntaskan dengan penetapan batas harga yang dapat menutupi biaya produksi petani, atau bantuan distribusi hasil panen yang lebih baik oleh pemerintah, atau bisa jadi peresmian petani lapangan sebagai salah satu bagian pengabdi di bawah pemerintah, atau banyak jalan lain.
Belum kutemukan bagaimana mulai memulihkan profesi ini. Tentu kita tidak mau dua puluh tahun kemudian kelaparan karena profesi petani sudah ditinggalkan, bukan? Yang jelas, permasalahan ini sangat kompleks, remaja tanggung sepertiku tentu hanya bisa melakukan sedikit hal. Seperti menulis artikel ini contohnya. Sisanya harus dilaksanakan oleh pihak berwenang, semoga ada kesadaran menghampiri mereka dan kita semua.
Anisa Luthfia Basri
Mahasiswa Agroteknologi Fakultas Pertanian Unhas angkatan 2019
Sekaligus Koordinator SDM PK identitas Unhas 2023