SEJAK berdiri pada 1956, Universitas Hasanuddin (Unhas) ibarat kapal berlayar menuju dermaga tujuan. Dipimpin seorang nakhoda yang disebut rektor. Kalau nakhoda dibantu mualim, maka rektor dibantu Wakil Rektor (WR), dulu disebut Pembantu Rektor (PR). Saat ini, Unhas akan melakukan pemilihan rektor (Pilrek). Ada baiknya kita menengok ke belakang, bagaimana proses Pilrek dari masa ke masa.
Rektor pertama Unhas terpilih terkesan unik. Tidak ada pemilihan secara voting maupun musyawarah mufakat, sebagaimana sistem demokrasi dianut saat itu. Jabatan pimpinan universitas pun saat itu bukan sebutan rektor melainkan presiden.
Presiden atau rektor pertama Unhas adalah Prof Mr Abdul Gaffar Pringgodigdo. Dia merupakan Presiden atau Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Jadi merangkap Rektor Unhas dan Unair. Dia dipilih jadi Rektor Unhas, karena Unair adalah universitas terdekat dari Makassar. Selain itu, dia terpilih karena belum ada calon yang tepat menjadi pimpinan Unhas.
Namun, alumnus Universitas Leiden Belanda ini hanya menjabat selama setahun. Itu dikarenakan Presiden Pertama Indonesia, Ir Soekarno pada tahun 1957, menugaskan Prof Djokomarsaid Tirtodiningrat menjadi Rektor Unhas tanpa rangkap jabatan rektor di universitas lainnya.
Presiden Soekarno selaku Kepalan Negara, menugaskan Djokomarsaid melalui Surat Keputusan Kepala Negara, bertanggal 28 Maret 1957 no 107/M/Tahun 1957. Di masa kepemimpinannya, Djokomarsaid berhasil menelurkan lima alumni pertama Unhas di tahun 1960, di antaranya; Mr M Natsir Said (terdaftar di Unhas 1954), Mr JV Warouw (terdaftar di Unhas 1951), Mr FXJ Kalangi (terdaftar di Unhas 1953), Mr A Zainal Abidin Farid (1953), dan Mr Thomas Brotosajogjo (1954).
Namun, tiga tahun menjabat Rektor Unhas, yakni pada bulan Februari 1960, Djokomarsaid mengundurkan diri. Maka untuk mengisi kekosongan jabatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Prijono, mengeluarkan Surat Keputusan Menteri P dan K tanggal 9 Februari 1960 nomor 13368/C.III. Dalam surat itu salah seorang mantan Menteri Penerangan Indonesia, Arnold Mononutu, resmi menjadi Rektor ketiga Unhas.
Arnold Mononutu menjabat selama lima tahun. Lalu digantikan oleh salah seorang dari kelima alumni pertama Unhas, yakni Dr Muhammad Nartsir Said, SH, pada tahun 1965. Sebenarnya, Natsir Said bukan praktisi murni melainkan seorang militer dengan pangkat Letnan Kolonel (Letkol). Dia adalah Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XIV Hasanuddin. Dia ditugaskaryakan sebagai Rektor Unhas keempat, karena saat itu masih berlaku Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Ia mengemban tugas rektor sampai tahun 1969 atau selama empat tahun.
Setelah itu, pemilihan rektor dilakukan melalui penjaringan calon rektor yang dilakukan Senat Universitas Hasanuddin dengan memilih calon lebih dari satu orang untuk dikirim ke pemerintah pusat. Dari para calon yang dikirim itu, pemerintah memilih salah seorang dari mereka dan menngesahkannya menjadi Rektor Unhas. Itu dimulai dari rektor kelima, Prof Andi Hafid, disusul Prof A Amiruddin, Prof Hasan Walinono, Prof Fachruddin, hingga Prof Basri Hasanuddin.
Pada tahun 1997, sistem perwakilan melalui Senat Universitas masih dijalankan. Hanya saja, tidak lagi dikirim ke pusat untuk dipilih di sana, melainkan melalui pemungutan suara. Sehingga, Prof Rady A Gani yang ditunjuk menjadi Pembantu Rektor I (PR 1) setelah menjabat Bupati Wajo, terpilih melalui voting yang dilakukan para anggota Senat Universitas. Dia unggul tipis satu suara dengan mengumpulkan 31 suara, atas saingannya Prof dr Syarifuddin Wachid, yang juga Pembantu Rektor III, dengan 30 suara.
Sistem pemilihan rektor melalui Senat Universitas sempat diperdebatkan. Potensi nepotisme dengan melihat latar belakang kelompok fakultas dan geopolitik (kesukuan/kedaerahan) sangat besar pada sistem ini. Makanya, tahun 2001 wacana pemilihan rektor secara langsung ramai diperbincangkan.
Dalam laporan utama identitas edisi awal Februari 2001, wacana ini menuai pro kontra. Wacana ini berhembus ketika suksesi pemilihan Dekan Fakultas Sastra yang dilakukan secara langsung. Selain itu, semangat demokrasi masih hangat terasa saat itu, sebab reformasi baru saja berlalu.
“Di era demokratis seperti sekarang ini, sangat tidak bijak jika kita tidak berani memulai sesuatu yang baik, seperti pemilihan langsung rektor,” ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi, Prof Halide, yang dikenal sebagai salah seorang tokoh pendidik saat itu.
Bahkan hasil poling yang diadakan identitas terkait mekanisme pemilihan rektor secara langsung, menunjukkan sebanyak 87,44% setuju pemilihan melibatkan mahasiswa dan dosen. Sayangnya, hal itu tidak menuai hasil. Sebab, civitas akademika hanya mengusulkan nama-nama calon yang berpeluang, tetapi hak memilih dan menentukan tetap berada di tangan anggota Senat Univeristas.
Wacana pemilihan rektor secara langsung masih berhembus sampai tahun 2005. Gagasan pemilihan rektor secara langsung itu pun mulai mendapat titik cerah. Kelompok Lektor dan Asisten (Lekas) yang memprakarsai hal itu berhasil menembus dinding penghalang gedung rektorat. Untuk pertama kali dalam perebutan tahta orang nomor satu Unhas, seluruh dosen ikut terlibat. Saat itu kursi rektor yang sempat diduduki Prof Rady, mendapatkan wajah baru, yakni mantan Dekan Fakultas Kedokteran, Prof Dr dr Idrus Paturusi.
Walaupun ada aura baru pada pemilihan rektor tahun 2005, tetapi keterlibatan mahasiswa masih belum dapat terlaksana. Dekan FKM saat itu, Prof Razak Thaha mendukung mahasiswa ikut terlibat dalam pemlihan rektor. “Bisa juga mereka terlibat dan membuat kontrak politik untuk calon rector,” usulnya.
Aura pemilihan rektor tahun 2005 tidak berlanjut. Jangankan keterlibatan mahasiswa, pemilihan rektor pada tahun 2009 hanya melibatkan senat fakultas dan senat universitas. Maka pada masa itu, taktik memenangkan pemilihan rektor mesti melihat geopolitik di tiap fakultas. Seperti Agrokompleks, Medikalkompleks, teknik, dan Fiskompleks. Masa itu, untuk kedua kalinya Prof Dr dr Idrus Paturusi terpilih menjadi penghuni lantai delapan gedung rektorat.
Lima tahun selanjutnya, masa jabatan Idrus Paturusi usai sudah. Perubahan sistem pemilihan rektor kembali diutak-atik. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 33 tahun 2012, membuat Mendikbud mempunyai hak suara dan ikut pula memilih. Suara Mendikbud disediakan sebanyak 35% dari jumlah pemilih yang hadir.
Ketua Pemilihan Rektor periode 2009, Prof Dr Halide, menyatakan aturan baru itu sama dengan aturan dahulu. Yaitu demokrasi bawah, berarti mengumpulkan suara dari bawah, sebelum diusulkan ke Mendikbud seperti dahulu senat universitas mengajukan nama-nama calon.
Prof HM Tahir Kasnawi, SU selaku Ketua Panita Pemilihan Rektor tahun 2013 mengungkapkan suara dari Unhas lebih diprioritaskan daripada suara menteri. “Suara menteri sangat berpengaruh pada hasilnya nanti, tapi suara orang Unhas tetap prioritas,” ujarnya.
Pemilihan pun berjalan. Hasilnya mengejutkan. Untuk pertama kalinya Unhas dipimpin seorang perempuan, Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu MA. Dosen dari Fakultas Sosial dan Ilmu Politik ini berhasil unggul dari dua pesaingnya, Dr dr Wardihan Sinrang dan Prof dr Irawan Yusuf, PhD.
Usai pemilihan rektor, peraturan menteri terkait pemilihan pimpinan universitas digugat. Keinginan itu datang dari kubu Dr dr A Wardihan Sinrang MS. Di Pengadilan Tata Usaha Negara kota Makassar gugatan ini disidangkan. Namun gugatan itu tak mendapat titik cerah. Dan Prof Dr Dwia Ariestina MA pun melenggang mulus ke lantai delapan gedung rektorat.
Begitulah lika liku pemilihan nakhoda Unhas. Dari masa ke masa pengangkatan nakhoda punya sejarahnya masing-masing. Mari melihat sejarah yang akan datang, apakah lika likunya bertambah ruwet? Ataukah malah kembali ke aturan yang pernah berlalu?
Diolah dari berbagai sumber