Universitas Hasanuddin pernah membuka program kuliah ekstensi. Lantas apa saja kejadian yang pernah mencuat saat program itu ada?
Program kuliah ekstensi pernah berlaku di Unhas. Program itu hadir di bangku perkuliahan sebagai jalan keluar bagi mereka yang bekerja, atau terhalang batas umur untuk mengambil program S1 reguler. Sehingga mereka diberikan kesempatan mengikuti kuliah sore atau malam hari.
Dilansir dari bundel identitas edisi Maret 2002 bahwa hampir semua fakultas di Unhas mempunyai program ekstensi. Program itu awalnya ditujukan bagi mahasiswa yang terancam Drop Out dan bagi mereka yang bekerja sehingga tidak punya waktu untuk mengikuti perkuliahaan reguler.
Selain itu, berdasarkan bundel identitas edisi akhir Oktober 1999, Pembantu Rektor I masa itu, Prof Dr Natsir Nessa, mengatakan bahwa program ekstensi bertujuan melayani keinginan mahasiswa yang ingin melanjutkan ke sekolah tinggi, tetapi mempunyai banyak keterbatasan. Misalnya keterbatasan umur dan waktu sehingga mereka tidak bisa masuk ke program reguler S1. Tak hanya itu, melalui program tersebut Unhas juga ingin memberi kesempatan bagi mereka yang bekerja untuk melanjutkan kuliahnya.
Meski begitu, sejumlah masalah kerap terjadi. Salah satu masalah program ekstensi kala itu adalah program D3 perpustakaan. Mahasiswa D3 perpustakaan yang ingin melanjutkan ke program S1 reguler, bisa melanjutkan studi di ilmu komunikasi dengan syarat hanya 24 SKS D3 mata kuliah mereka yang diakui. Sementara bila melalui jalur ekstensi, hampir seluruh SKS (80-110) D3 mereka diakui.
Jadi, cukup dengan menambah 50 hingga 60 SKS lagi, statusnya sudah dapat setara dengan program reguler S1. “Padahal kurikulum D3 dan S1 sangat jauh berbeda. Suatu kejanggalan jika SKS dari mahasiswa D3 diakui semuanya,”tutur salah satu dosen Fakultas Hukum kala itu yang tak ingin disebutkan namanya.
Selain masalah penyetaraan SKS D3 ke S1 yang tidak wajar. Ada pula polemik bahwa yang bisa mengikuti program ekstensi ini terbuka juga bagi calon mahasiswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang baru saja lulus tapi tidak lulus UjianMasuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Hal itu senada dengan terbitan identitas edisi Maret 2002 yang menuliskan bahwa tujuan program ekstensi mulai diselewengkan tidak lagi seperti tujuan semula. “Lulusan SMA yang tidak lulus UMPTN dan berhasrat mengecap nikmatnya kuliah di Perguruan Tinggi, sudah bisa mengikuti program ekstensi. Syaratnya punya duit banyak, itu saja. Soal ijazah tidak masalah,”tulis identitas, Maret 2002.
Birokrat Unhas tidak bisa menampik bahwa program ekstensi menjadi salah satu penolong defisit keuangan Unhas masa itu. PR I Unhas waktu itu, Dr Djabir Hamzah, mengaku tidak bisa berbuat banyak soal longgarnya persyaratan mengikuti program ekstensi.
“Ini hanyalah ketidaksengajaan yang keterusan, karena terlambat ditegur, akhirnya kesalahan itu makin membesar. Lagi pula, program ekstensi itu kan bisa meningkatkan penghasilan dosen yang punya kemampuan lebih,”katanya.
Jauh ke belakang program ekstensi tersebut mendapat banyak kritikan dari kalangan aktivis mahasiswa. Hal itu disebabkan selain sebagai “ajang cari keuntungan”, program ekstensi kala itu membuat banyak dosen di kelas reguler lebih peduli dengan mahasiswa dan kelasnya di kelas ekstensi dan cenderung mengabaikan mahasiswanya di kelas reguler. Kalimat satire atau sindiran terhadap program ekstensi pun sering dilontarkan aktivis Unhas waktu itu. Semisal“apasih yang tidak bisa di Unhas, asalkan ada duit banyak.”
Kini program ekstensi sudah tidak ada di Unhas. Ke depannya apabila diadakan kembali, adalah hal mutlak untuk mengadakan pembaruan sistem dan tata kelola yang baik.
Muh. Syahrir