Menjelang masa Pemilihan Umum (Pemilu), Indonesia dihangatkan dengan isu politik dinasti. Akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PPU-XXI/2023 terkait usia minimal Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) UU Nomor 7 Tahun 2017, dianggap sebagai jalan mulus dalam memperpanjang tongkat estafet dinasti Jokowi.
Dalam putusan tersebut, MK memperbolehkan mereka yang berusia di bawah 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai Capres-Cawapres, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Maka putra sulung Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka sekaligus keponakan Ketua MK, Anwar Usman akhirnya mantap maju sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Menanggapi isu tersebut, masyarakat berbondong-bondong menggiring opini seputar penerapan politik dinasti dalam kawasan Indonesia. Melansir RRi.co.id politik dinasti adalah sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam satu hubungan keluarga, yang identik dengan kerajaan bukan negara demokrasi.
Lantas mengapa politik dinasti dapat terjadi di negara demokrasi? Serta apa saja bahaya politik dinasti bagi bangsa? Simak wawancara khusus Reporter PK identitas Unhas, Nurul Fahmi Bandang bersama Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Amiruddin Ilmar SH MH, Rabu (06/12).
Apa yang dimaksud dengan polotik dinasti dan apakah hal tersebut memang biasa terjadi?
Sebenarnya, politik dinasti atau yang sering kali disebut politik kekerabatan tidak bisa dihindari. Artinya, kita tidak mungkin menghalangi kekerabatan untuk mencari sebuah posisi tertentu. Yang terpenting adalah harus mengikuti aturan dan mekanisme. Politik dinasti bisa mengakar karena semua elemen yang seharusnya berfungsi di dalam negara tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Misalnya, partai-partai politik yang seharusnya berperan penting dalam melihat praktik politik dinasti. Mereka cenderung menjadi rentan terhadap semacam keambiguan yang dimiliki untuk kemudian bersikap terhadap politik dinasti. Selain itu, kita melihat sisi kepentingan pengaturan, apalagi sisi penegakan hukum Indonesia memang sangat lemah. Itulah yang menjadi penyebab kita mudah diterobos dan diterabas, sehingga politik dinasti atau kekerabatan dapat berkembang sedemikian rupa di Indonesia.
Bagaimana tanggapan Anda terkait putusan MK tersebut?
Kalau melihat putusan MK terkait dengan politik dinasti, menurut saya itu sebuah keputusan yang sangat buruk. Di dalam sisi ketatanegaraan kita sebenarnya mencederai proses demokrasi dan perjalanan hukum, sehingga kemudian apa yang menjadi kepentingan bersama yaitu bagaimana demokrasi itu bisa berjalan dengan baik, akhirnya tercedera. Ini menjadi sisi buruk dari perjalanan demokrasi Indonesia ke depannya. Sudah sepatutnya kita lebih peka terhadap sesuatu yang perlu diperbaiki, bukan hanya dibiarkan begitu saja.
Bagaimana keterkaitan politik dinasti dan nepotisme dalam suatu pemerintahan?
Politik dinasti memang erat kaitannya dengan nepotisme. Meskipun di Indonesia sendiri, nepotisme sangat terlarang dan sudah diatur tegas dalam ketentuan Undang-Undang mengenai praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Apa saja dampak yang ditimbulkan dari penerapan politik dinasti?
Kalau melihat politik dinasti tanpa pembatasan dan persyaratan yang ketat, bagi saya tentu ini akan sangat berbahaya. Negara ini menganut prinsip negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Sudah pasti jelas akan melemahkan di sisi penegakan hukum. Kemudian karena adanya nepotisme, maka ujung-ujungnya akan melahirkan korupsi. Hal ini kemudian menjadi satu-kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan satu dengan yang lain. Makanya, praktik KKN itu menjadi satu entitas yang memang harus dihindari.
Bagaimana politik dinasti kemudian mempengaruhi kinerja lembaga pemerintahan di Indonesia?
Kalau politik dinasti menjadi hal lumrah, maka otomatis akan berpengaruh pada sisi kinerja kelembagaan. Karena pasti orang beranggapan tidak mungkin kita mendapatkan satu promosi yang baik kalau tidak dekat dengan dinasti atau kekerabatan tersebut. Pada sisi lemahnya kinerja pasti akan memunculkan istilah nepotisme. Kalau bukan teman, sahabat, atau keluarganya, maka tidak mungkin mendapat posisi-posisi kunci di dalam jabatan pemerintahan.
Bagaimana dampak yang dihadapi masyarakat terhadap penerapan politik dinasti?
Membahas dampaknya kepada masyarakat, tentunya hal ini akan memberi suatu nuansa bahwa sebenarnya proses-proses penempatan di dalam jabatan kekuasaan pasti tidak sesuai dengan apa yang menjadi kepentingan dan ketentuan pemerintahan. Masyarakat kemudian menjadi apatis melihat kondisi seperti itu dan ujung-ujungnya akan melahirkan ketidakpuasan serta ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintahannya.
Bagaimana peran kampus sebagai institusi pendidikan menyikapi politik dinasti?
Kampus memiliki peran penting terkait hal ini. Di perguruan tinggi terhimpun para akademisi yang harus menjadi pengingat dengan cara memberikan rekomendasi perbaikan terhadap kondisi yang ada.
Data Diri Narasumber
Nama: Prof Dr Aminuddin Ilmar SH MH
Tempat/Tanggal Lahir: Sengkang, 10 September 1964
Riwayat Pendidikan
S1: Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin, 1988
S2: Ilmu Hukum, Universitas Airlangga, 1992
S3: Ilmu Hukum, Universitas Airlangga 1995