Mentari belum menyingsing di balik kaki langit dan suara toa masjid baru saja menggema dari kejauhan, namun seorang laki-laki sudah berdiri di samping mobil pengangkut rumput laut. Dengan berpeluh keringat, ia beristirahat sejenak dari rutinitasnya menaikkan karung-karung rumput laut ke dalam mobil pengangkut.
Setelah selesai, lelaki itu dengan sigap mengambil kemudi dan tancap gas menuju Kota Makassar sejauh 60 kilometer. Udara dingin di jalan dihabiskan selama tiga sampai empat jam karena beban mobil yang berlebih tidak mampu menempuh perjalanan sekaligus. Setelah membawa rumput laut, ia lalu bersiap untuk pulang.
Idul Akbar, berperawakan tinggi, rambut ikal, dan kulit gelap karena sinar matahari mulai bercerita tentang kehidupannya sebagai pengangkut rumput laut. Pekerjaan ini dijalankan sekali hingga beberapa kali seminggu dengan upah yang tidak menentu.
Mengangkut rumput laut sudah dilakoni Idul sejak SMA hingga sekarang kuliah di Unhas demi menutupi biaya pendidikan. “Saya tidak mau terlalu membebani orang tua, apalagi saya UKT (Uang kuliah Tunggal) 7, yang 5 juta, mahal,” ucapnya, Kamis (25/04).
Idul mengaku sulit mengatur waktu bekerja dan belajar saat awal perkuliahan. Pekerjaan banyak menyita waktunya karena harus pulang pergi Jeneponto-Makassar bahkan di hari perkuliahan. “Saat perkuliahan dilakukan secara offline, saya sangat sulit mengatur waktu dan beberapa kali harus tidak masuk kelas karena masih di Jeneponto,” keluh mahasiswa semester enam tersebut.
Benang merah tentang jalan hidup Idul ini juga bersinggungan dengan kisah seorang pria yang sedang mengenyam pendidikan tahun kedua di kampus merah. Namanya Fadhil, seorang mahasiswa yang saat ini bekerja tetap sebagai kapster di tempat pangkas rambut.
Setiap pagi kala matahari mulai menampakkan wujudnya, Fadhil bergegas menuju kampus mengikuti mata kuliah pertamanya. Selepas kelas, ia menyempatkan diri ke tempat kerjanya terlebih dahulu karena pelanggan biasanya datang sebelum jam operasional pangkas rambut. Sepulang kuliah pada pukul setengah 4 sore, Fadhil kembali melanjutkan pekerjaan hingga malam tiba.
Bukan kemauan, tetapi keadaanlah yang menuntut Fadhil harus memutar otak untuk menyambung hidup secara mandiri. Ibunya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, sedangkan ayahnya yang dulu tenaga honorer kini terbaring sakit.
Ia bercerita, ada rasa tanggung jawab yang melekat dalam dirinya semenjak sang ayah tidak bekerja lagi. Fadhil memiliki empat adik, salah satunya sempat berkuliah di Universitas Dipanegara namun harus berhenti karena kendala biaya. Satunya lagi tamat SMA, tapi sekarang harus berjuang melawan penyakit jiwa.
“Saya bekerja untuk adik-adik karena ingin mengurangi beban orang tua. Coba mungkin adik saya tidak sakit, mungkin saya bisa fokus kuliah saja. Cuma karena keadaan begini, jadi mau bagaimana lagi,” tutur mahasiswa Sastra Jepang itu, Senin (27/05).
Selain Idul dan Fadhil, lelahnya pontang panting kuliah sambil kerja juga dirasakan oleh Chozy, seorang mahasiswa Fakultas Teknik Unhas. Chozy juga harus mengimbangi rutinitas akademiknya dengan bekerja sebagai barista di sebuah kedai kopi sejak semester tiga.
Keputusan ini mau tidak mau dijalani Chozy karena pembayaran kuliah sebesar 5,5 juta tidak mampu dilunasi. Biasanya, Chozy bekerja dari pukul 8 hingga 11, kemudian pulang setelah tengah malam karena harus membersihkan kedai. Setibanya di rumah, ia langsung mengerjakan tugas kuliah sampai pukul 3 dini hari.
Wajar saja jika rutinitas tersebut sempat membuat Chozy stres karena harus mengimbangi antara keduanya. Ia bahkan pernah mendapat nilai E pada semester lima karena tidak punya waktu mengerjakan tugas dari dosen.
“Tekanan pekerjaan dan tugas-tugas kuliah sempat membuat saya stres,” ungkap mahasiswa angkatan 2021 tersebut.
Menurut Kepala Program Studi Psikologi Unhas, Dr Ichlas Nanang Afandi SPsi MA, beban ganda bagi mahasiswa yang harus bekerja sambil kuliah adalah hal yang nyata. Kelelahan fisik yang dialami akan mempengaruhi mental seseorang mahasiswa yang dapat berujung pada kesulitan berkonsentrasi dan mudah emosi.
Idul, Fadhil, dan Chozy adalah tiga wajah dari ribuan mahasiswa yang berjuang keras menyeimbangkan kuliah dan pekerjaan. Setiap hari, mereka harus berjibaku dengan tugas-tugas akademik dan tekanan pekerjaan yang menguras energi.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, biaya pendidikan perguruan tinggi sebesar 4,98 juta rupiah. Pada 2021, angka ini meroket mencapai 14,47 juta rupiah. Peningkatan tersebut tentunya akan berdampak pada besaran biaya yang harus dikeluarkan mahasiswa dan orang tua yang membiayai mereka. Lantas sudah idealkah UKT mahasiswa saat ini?
Tim Laput