Indonesia memasuki babak baru dalam upaya menuju negara maju. Langkah besar pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut terlihat dari keputusannya untuk memindahkan ibu kota yang semula berada di Pulau Jawa ke Kalimantan. Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, kelak akan menjadi wilayah ibu kota baru yang dinamai Ibu Kota Nusantara (IKN).
Sebagai pusat dari sebuah negara, maka pemindahan ibu kota sudah semestinya mempertimbangkan berbagai hal, mulai dari sosial, ekonomi, politik, hingga hukum. IKN yang berada tepat di tepi Selat Makassar juga tidak lepas dari kajian para akademisi.
Karena itu kemudian Guru Besar Fakultas Hukum Unhas, Prof Dr Judhariksawan SH MH, mencoba meneliti terkait kedudukan IKN yang berada di tepi Selat Makassar sebagai bagian dari Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dari sudut pandang hukum internasional.
Ide penelitian ini muncul ketika isu pemindahan ibu kota mulai terealisasi. Sebagai akademisi, Judhariksawan menyadari ada hal yang sangat strategis dan krusial ketika ibu kota negara akan berada di Kalimantan Timur.
“Penelitian ini untuk melihat sejauh mana norma hukum laut internasional menjadi salah satu pertimbangan dalam proses perpindahan ibu kota tersebut,” ucapnya melalui kegiatan bedah buku Nusantara di Selat Makassar, (6/5/2023).
Jika ditelisik dari Hukum Laut Internasional, IKN berada di ALKI II, yaitu Selat Makassar. ALKI II meliputi jalur lintas perairan Laut Sulawesi, Selat Makassar, Selat Lombok, dan Laut Lombok. Wilayah ini merupakan perairan terbuka, yang artinya semua kapal-kapal asing memiliki hak lintas di wilayah laut Indonesia tersebut.
Kebebasan navigasi di wilayah ALKI menjadi sebuah ancaman tersendiri. Ini menjadi krusial ketika melihat posisi IKN yang berada di wilayah itu. Hal ini dikarenakan semua kapal asing memiliki hak navigasi di jalur ALKI, baik itu kapal laut, kapal selam, hingga kapal militer.
“Tidak ada batasan jenis kapalnya seperti apa mau yang induk, nuklir, yang biasa-biasa saja semua memiliki hak untuk melintas,” jelas Judhariksawan kepada identitas melalui WhatsApp, Sabtu (20/4).
Baginya, ada kekhawatiran soal potensi kerawanan keamanan dan pertahanan kalau terkait dengan penggunaan Selat Makassar. Pengawasan yang kurang cakap dapat berimbas terhadap eksistensi keamanan ibu kota di Kalimantan Timur.
Jika menoleh pada beberapa tahun silam, terdapat beberapa kasus di mana kapal militer berlalu-lalang di wilayah ALKI yang telah ditetapkan Indonesia, salah satunya pada tahun 2003.
Saat itu, pesawat tempur Amerika Serikat melintas di laut Jawa. Tak tinggal diam, Indonesia pun mengirimkan pesawat tempur untuk memberikan deterrence. Namun alat komunikasi dari pesawat tempur Indonesia diretas oleh Amerika yang menyebabkan terputusnya komunikasi saat itu.
“Bayangkan kalau hal itu terjadi di Selat Makassar (yang dekat IKN), kita nggak bisa apa-apa itu,” ucapnya.
Wilayah laut masih bersifat parsial
Berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, negara kepulauan seperti Indonesia memiliki kewenangan untuk menentukan ALKI yang akan menjadi sarana pelayaran internasional. Adapun ketika suatu negara tidak menetapkan jalur lautnya maka prinsip “normally used routes for international navigation” akan berlaku.
Penetapan jalur laut Indonesia dilakukan pada Maritime Safety Committee ke-69 di London tahun 1998 dan disetujui oleh International Maritime Organization (IMO). Hasil sidang komite tersebut menciptakan Resolusi MSC.72 (69) mengenai rute pelayaran. Menurut Judhariksawan, penetapan tersebut merupakan hasil keberhasilan diplomasi pemerintah saat itu.
“Penetapan itu tidak serta merta kita menetapkan sendiri dan itu perdebatannya luar biasa, kita harus bicara ke pengguna jalur laut itu,” tambahnya.
Kendati demikian, wilayah laut yang ditetapkan Indonesia puluhan tahun silam tersebut rupanya masih bersifat parsial. Artinya, Indonesia masih belum menetapkan secara keseluruhan wilayah lautnya karena masih dibatasi oleh ALKI.
Oleh karena itu, untuk meminimalisir ancaman keamanan, setiap kapal asing yang hendak melintas harus melalui jalur koordinat yang telah ditetapkan, sehingga pengawasan kapal asing bisa dimaksimalkan, termasuk kapal selam dan pesawat udara.
Judhariksawan berharap, seharusnya negara mempunyai sistem pengawasan di gerbang masuk menuju Selat Makassar. Sistem ini bisa dihadirkan di Kota Makassar sebagai salah satu kota yang dilintasi ALKI II tersebut.
“Tapi itu itu masih sekedar gagasan dari saya,” pungkasnya.
Zakia Safitri Sijaya