Sulawesi Selatan (Sulsel) memilliki keanekaragaman tradisi dan budaya yang dapat menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Sejumlah budaya dan tradisi di Sulsel memiliki potensi besar dalam peningkatan pariwisata lokal. Hal ini dapat kita temui ketika berkunjung di berbagai daerah.
Keragaman tradisi dan budaya tersebutlah yang kemudian mendorong Dra St Nursa’adah MHum melakukan eksplorasi budaya di Sulsel dalam mengembangkan eksistensi kebudayaan sebagai pariwisata budaya.
“Kami menyadari bahwa eksplorasi budaya sebagai pariwisata lokal sudah umum di daerah-daerah seperti Maros, Bugis, Soppeng, dan Wajo. Itulah yang membuat kami tertarik untuk melihat lebih jauh, khususnya ke arah selatan, seperti Jeneponto dan Takalar,” ucap dosen Fakultas Ilmu Budaya tersebut, Jumat (08/09).
Salah satu tradisi kebudayaan yaitu Jeknek Sappara. Tradisi ini merupakan perayaan pada bulan Safar dalam kalender Islam yang dilakukan dengan ritual unik menghiasi Desa Balangloe Tarowang, di Kabupaten Jeneponto.
Jeneponto dipilih sebagai lokasi penelitian karena dianggap memiliki daya tarik tersendiri namun belum dikenal secara luas. Dari hal tersebut, ia kemudian mengangkat penelitian berjudul “Eksistensi Ritual Budaya Jeknek Sappara di Desa Balangloe Tarowang Kabupaten Jeneponto sebagai Pariwisata Budaya Berbasis Kearifan Lokal.”
Dalam penelitiannya, Nursa’adah mengamati tradisi Jeknek Sappara sebagai salah satu tradisi yang sangat diminati oleh penduduk setempat. Ritual ini menjadi sangat istimewa karena orang-orang yang pulang kampung dari perantauan jauh lebih antusias menyambut Jeknek Sappara daripada merayakan Hari Raya Idul Fitri.
“Kami penasaran mengapa orang begitu antusias menghadiri ritual ini. Ini menjadi salah satu titik awal penelitian kami,” ujarnya.
Tradisi kebudayaan Jeknek Sappara ini merupakan tradisi upacara adat sebagai ungkapan penghormatan dan rasa terima kasih dari raja kepada seseorang yang dianggapnya berjasa. Keunikan dari tradisi ini karena turut dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Mereka percaya, pelaksanaan tradisi ini akan membawa keberkahan dan dianggap memiliki nilai-nilai kebudayaan yang tinggi.
Sa’adah menyebut, istilah Jeknek Sappara juga diketahui di daerah lain, tetapi tidak memiliki ritual seperti yang ada di Desa Balangloe.
“Saya tahu ada istilah ‘Jeknek Sappara’ di kampung saya, tetapi tidak pernah ada ritual yang menyertainya,” katanya.
Dalam penelitian tersebut, dijelaskan berbagai macam ritual yang dilakukan, dari pengantar hingga dilaksanakan, Jeknek Sappara menjadi puncak dari tradisi. Adapun tradisi tersebut ialah Patoeng, A’rurung Kalompoang, Dengka Pada, Pakarena, Paolle, Akraga, A’jeknek’, dan Ammanyukang.
Dengan kolektifitas masyarakat desa Balangloe, tradisi tersebut masih tetap bertahan karena adanya rasa kepemilikan mereka terhadap tradisi ini.
“Mereka itu merasa bangga sekali jadi pemilik tradisi ini karena tidak ditemui di daerah lain, bangga sekali mereka kalau ditanya, senang juga kalau ada orang dari luar yang menonton. Mereka merasa diapresiasi,” tutur Sa’adah.
Sejarah awal tradisi ritual ini sulit ditelusuri. Hal itu dikarenakan tidak adanya dokumen tertulis yang membahas hal itu. Meski demikian, masyarakat setempat percaya ritual ini telah ada sejak lama. Nursa’adah beranggapan ritual ini sudah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia. Namun melihat dari makna namanya, ritual ini baru muncul setelah masuknya Islam.
Artikel tersebut juga menjelaskan modernisasi dan perubahan dalam pemahaman masyarakat setempat dalam melihat ritual tradisi ini. Pengaruh agama dan pengetahuan modern ritual ini tidak lagi dilestarikan sebagai suatu keyakinan, tetapi pada bagaimana melestarikan identitas budaya dan pengembangan potensi pariwisata lokal.
Pengaruh modernisasi juga membawa perubahan terhadap ritual yang dilakukan. Sa’adah menyebut terdapat ritual yang telah dihilangkan, yaitu ritual yang mengadu ayam antara kelompok satu dengan yang lainnya. Ritual ini dihilangkan karena dianggap tidak lagi sesuai dengan zaman dan dapat menimbulkan kericuhan.
Perkembangan agama dan ilmu pengetahuan telah mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap budaya ini. Kendati demikian, masyarakat tetap memilih untuk melestarikannya, tidak hanya karena dianggap sebagai bagian dari identitas mereka, tetapi bentuk perayaan dan kegembiraan. Mereka percaya bahwa tradisi ini memiliki potensi pariwisata lokal yang dapat memberikan manfaat di masa depan.
Melihat potensi pariwisata budaya dari tradisi ini, pemerintah setempat turut berperan aktif dalam mendukung eksistensinya. Kehadiran pemerintah setempat membantu dalam kelancaran ritual dengan memberi keamanan dan perlengkapan yang dibutuhkan.
Ritual Jeknek Sappara bukan hanya agenda perayaan tahunan yang berharga, tetapi juga sebagai salah satu kekayaan warisan budaya Indonesia untuk selalu dilestarikan, khususnya bagi generasi muda. Potensi ini dapat dimanfaatkan sebagai aset pariwisata budaya lokal yang berpotensi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Dengan dukungan dari pemerintah dan semangat masyarakat lokal, tradisi ini akan terus lestari dan menjadi salah satu daya tarik unik di Sulsel.
Miftah Triya Hasanah