Mantan Sekretaris Kabinet Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Unhas (SMFT-UH) periode 2021/2022, Wulan Febryana kerap mendapat cap sebagai perempuan yang tidak pantas karena mengurus organisasi kemahasiswaan (Ormawa).
“Kamu tidak perlu repot mengurusi organisasi. Perempuan tidak pantas,” cerita Wulan.
Cap Wulan sebagai perempuan tidak layak memimpin dilontarkan teman, junior, senior, dan dosen. Ia menuturkan stigma yang ia dapatkan bukan hanya dalam bentuk ucapan. Contohnya perempuan tidak dilibatkan dalam sejumlah program atau kegiatan. Selain itu, usulan atau suara mereka tidak didengarkan. Namun, ia tetap menjalankan roda organisasi hingga selesai.
“Saya bertanggung jawab, membuktikan perempuan bisa aktif di Ormawa, terlibat dalam sejumlah program,” ujar mahasiswa teknik pertambangan itu, Minggu (30/7).
Menurutnya, perempuan kerap dipandang sebelah mata di Ormawa. Situasi itu tidak lepas dari pandangan kebanyakan orang yang menganggap perempuan lebih menggunakan perasaan ketimbang logika. Apalagi untuk menduduki jabatan strategis, ada standar tertentu yang diskriminatif. Laki-laki memiliki kebebasan memilih, berbeda dengan perempuan. “Kebanyakan laki-laki diberi kebebasan untuk memilih lebih banyak ketimbang perempuan,” tuturnya.
Mantan Presiden BEM KM FKM Unhas Periode 2021-2022, Fitri Ardina menyatakan ada stereotip bagi perempuan yang aktif dalam berlembaga. Sebelum menjadi ketua, ia merasa ada tantangan secara personal bagi seorang perempuan yang aktif dalam organisasi. “Muncul anggapan suara perempuan tidak didengar,” kata dia.
Namun ia terus menjalankan perannya sebagai ketua lembaga Mahasiswa (Lema). Dia menyebutkan beban dan tantangan perempuan dan laki-laki sama saat memimpin organisasi. “Menjadi ketua lembaga bukan soal perempuan atau laki-laki, tapi tentang tujuan yang mau dicapai dan visi misinya,” kata dia.
Dua perempuan itu contoh pemimpin yang menduduki jabatan strategis di Lema. Data Instagram setiap Lema tentang jumlah pengurus Lema Fakultas Se-Unhas pada periode Agustus 2023 menunjukkan jumlah perempuan yang menjadi pengurus lembaga mahasiswa telah mencapai 54% dari 261 orang.
Data dikelompokkan menurut jurusan kesehatan, agrokompleks, Soshum, dan Saintek. Pada jurusan kesehatan, sebanyak 62,5% pemegang jabatan strategis merupakan perempuan. Pada jurusan Saintek, hanya ada 16% posisi jabatan strategis. Jurusan Agrokompleks sebanyak sebesar 45,5%. Untuk sosial Humaniora, tidak terlalu jauh beda dari Saintek, sebesar 23,1% dari total jabatan strategis.
Tantangan Perempuan dalam Lema
Dosen Sosiologi Unhas yang meneliti tentang Gender, Dr Nuvida RAF S Sos MA mengatakan keterlibatan pemimpin perempuan pada bidang saintek rendah karena jumlah mahasiswi juga kurang. “Pada umumnya semakin banyak jumlah perempuannya maka peluang untuk aktif akan tinggi juga,” kata dia.
Faktor lainnya adalah titik awal antara laki-laki dan perempuan terlibat dalam lembaga berbeda. “Partisipasi perempuan itu berbeda dengan laki-laki karena titik startnya beda. Maka harus ada tindakan afirmasi untuk mendorong perempuan ikut terlibat,” kata dia.
Selain itu, perempuan mengalami tantangan berlapis. Menurut dia, kegiatan kemahasiswaan yang berlangsung di malam hari membuat sebagian perempuan merasa tidak aman dan khawatir dengan keselamatannya.
Ia menyebutkan nilai-nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat juga berperan dalam menghambat keaktifannya dalam Lema. Nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat lebih banyak menempatkan perempuan pada posisi subordinat atau posisi kedua sehingga cara pandang yang terbentuk oleh perempuan berbeda dengan laki-laki.
Sebagian orang menganggap perempuan tidak rasional dalam berpikir dan laki-laki dianggap lebih rasional. Padahal, menurutnya, perempuan jauh lebih komprehensif dalam berpikir dan bertindak, hati-hati, dan berorientasi ke depan. Namun, kenyataan tersebut masih diabaikan oleh masyarakat.
Stereotip itu menyebabkan perempuan merasa bahwa tidak menguntungkan bagi dirinya untuk maju dalam lembaga. “Lembaga mahasiswa saya lihat adalah area terbuka, siapa pun bisa berpartisipasi. Tapi, perempuan ketika diberi peluang, dia butuh izin yang lebih rumit daripada laki-laki. Makanya lebih sering tidak aktif,” ujar dia.
Untuk mendukung perempuan mengambil peran-peran aktif, maka perlu affirmative action seperti memberi kuota khusus bagi perempuan untuk meruntuhkan stigma. Perempuan dan laki-laki bisa saling mendukung.
Ketua BEM Fisip Unhas, Abdullah Dzakwan Djuanda berpandangan perempuan tidak seharusnya ditempatkan pada posisi nomor dua. “Menurutku terlalu sia-sia kalau kita berpandangan seperti beberapa dekade yang lalu, mungkin di tahun 60-an saat perempuan menjadi nomor dua. Saat ini saya melihat perempuan berperan penting dalam lembaga kemahasiswaan,” ujarnya.
Ia paham kegiatan organisasi pada malam hari kerap menjadi ganjalan bagi perempuan untuk aktif berorganisasi. Namun, usaha memberi pemahaman dan ruang aman dalam organisasi sudah diberikan secara informal di lembaganya. “Saling menjaga keamanan laki-laki maupun perempuan kami tekankan. Contohnya, mengantar teman dan memastikan dia aman,” kata dia.
Ketua Umum BEM KM FMIPA Unhas, Muhammad Alif Ismail mengatakan perempuan sangat diperlukan dalam mentransformasi nilai dan pengetahuannya dalam lembaga. Perempuan dan laki-laki punya kesempatan yang sama untuk memimpin dan berkembang di lembaga kemahasiswaan.
Meskipun, ia juga menyadari bahwa sebagai ketua lembaga ia memberikan porsi khusus tersendiri bagi perempuan. Namun itu bukan karena gendernya, tetapi lebih kepada sejauh mana kemampuannya dan perannya dalam Lema itu sendiri.
Di sisi lain, salah satu mahasiswa Teknik Informatika yang juga anggota Organisasi Kemahasiswaan Fakultas Teknik Unhas, Muh Chairul Sahar mengamini bahwa ada stigma yang diberikan kepada perempuan yang ingin menduduki jabatan strategis. Seperti perempuan dianggap bukan pemimpin yang ideal dan budaya patriarki yang masih ada di Lema. Kondisi ini menurut dia menjadi hal yang menyebabkan sulitnya perempuan mencapai posisi teratas dalam Lema.
Pada pandangan yang berbeda, Mahasiswa Arkeologi yang bukan anggota Lema, R. Nurzulhiyyah Isnaini A W, juga memiliki pandangan yang serupa, bahwa perempuan ketika memimpin di Lema akan dianggap remeh, karena ‘mental template’ yang ditanamkan bahwa perempuan hanya bisa bergantung pada laki-laki.
Wulan Febryana dan Fitri Ardina memiliki harapan yang sama. Bahwa semoga peran dalam Organisasi kemahasiswaan ke depannya bukan dilihat berdasarkan gendernya apa, namun berdasarkan kemampuan yang orang itu miliki dan visi apa yang mereka ingin capai saat berada di suatu posisi strategis.
***
Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.
Penulis: Muh. Amar Masyhudul Haq