Ada-ada saja problematika yang terjadi pada kolam renang Unhas. Nyatanya, kolam renang yang rata-rata dikunjungi sekitar empat puluh orang pada hari aktif dan seratus orang pada akhir pekan ini masih saja diliputi permasalahan kejernihan air. Mengingat kejernihan air adalah aspek utama yang penting pada sebuah kolam renang, problematika ini harus di selesaikan.
Ditemui oleh tim identitas, Hamid, salah satu karyawan kolam renang mengangguk menyetujui. Ia menegaskan bahwa uang tiket saja tidak akan cukup untuk menyiapkan fasilitas bagi kolam renang, dibutuhkan subsidi yang memadai. Biaya obat yang digunakan untuk menjernihkan air tercatat hampir mencapai sepuluh hingga dua belas juta tiap bulannya. Obat- obat yang digunakan antara lain trichloroisocyanuric acid, poly aluminium chloride, soda ash dense, kaporit 60, aluminium sulfate. Belum lagi gaji karyawan yang terhitung empat juta per bulan. Patut disedihkan, pemasukan tahunan pada 2019 sebanyak 350 juta dengan rata-rata pemasukan sebanyak lima ratus ribu rupiah perhari tidak mampu membendung problematika yang ada.
“Terdapat banyak fasilitas yang harus dibenahi, saya rasa uang tiket saja tidak cukup. Jika ingin dibenahi, yang kita butuhkan adalah subsidi,” tutur pria bertubuh tinggi tersebut.
Problematika kejernihan air bertambah parah dengan rusaknya mesin pada alat filter air sejak diadakannya Pekan Olahraga Nasional (POMNAS) tahun 2017. Kerusakan tersebut tentu menambah beban perihal bagaimana membuat air tetap jernih dan sehat. Hamid bahkan mengaku telah mengajukan proposal pengadaan fasilitas, termasuk perbaikan mesin dan pipa yang bocor demi menunjang daya guna fasilitas filter air untuk persiapan menghadapi perlombaan tahunan yang diadakan oleh UKM Renang, Kejuaraan Renang Antar Mahasiswa Seluruh Indonesia (KRAMSI) tahun 2019.
Namun sayangnya, meski proposal yang diajukan oleh Unit Pelayanan Terpadu Pengelolaan Prasarana dan Utilitas Kampus (UPT PPUK) ke pihak rektorat diterima, bentuk realisasi sebagaimana yang diharapkan tidak juga didapatkannya. Mengingat biaya perbaikan yang dipatok Hamid sekitar milyaran, ia pribadi tidak tahu menahu perihal merk dari alat tersebut.
Fakta itu tentu sangat disayangkan, problematika kejernihan air kini hanya bergantung pada obat dan alat vakum. Salah satu anggota UKM Renang, Anto, mahasiswa Departemen Ilmu Komputer Unhas angkatan 2016 bahkan berujar bahwa alat vakum itu tidak lagi layak digunakan karena daya hisapnya yang kurang sempurna.
“Banyak sekali fasilitas yang saya kira perlu dibenahi, seperti alat vakum, wc, dan lain sebagainya. Alat vakum sendiri itu sudah tidak lagi kuat daya hisapnya,” keluhnya.
Pria yang satu ini pun menuturkan bahwa matanya sering merasa perih tatkala berenang efek takaran obat yang diberikan yang di kolam renang demi menjaga kejernihan air.
Di sisi lain, terdapat pertanyaan besar terkait transparansi keuangan pengelolaan aset kolam renang mengingat ketiadaan catatan laporan tentang rata-rata nominal pendapat harian dan mingguan atas penjualan tiket, selain kertas kecil bukti kas yang merangkum pendapatan harian.
M19