Sosok Prof Dr Mr Andi Zainal Abidin Farid sudah tidak asing lagi oleh para penggiat hukum Sulawesi Selatan (Sulsel). Nama guru besar Universitas Hasanuddin (Unhas) ini diabadikan sebagai salah satu ruang promosi di Fakultas Hukum. Di balik kiprahnya pada Hukum Pidana, ia kerap mengukir ilmunya di bidang sejarah Bugis-Makassar.
Prof Zainal lahir di Kecamatan Gilireng, Wajo, pada 14 Agustus 1926, dan merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Di masa kecilnya, ia tumbuh di masa sulit, karena ayahnya diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda di penjara Sukamiskin, Jawa Barat selama 14 tahun lamanya, karena dituduh melawan pemerintahan kolonial. Prof Zainal muda sempat beberapa kali pindah sekolah akibat kondisi politik pada saat itu.
Walaupun tumbuh di zaman yang penuh konflik, ia merupakan anak yang sangat suka belajar dan juga berolahraga, seperti sepak bola dan renang. Saat menempuh pendidikan sekolah Jepang di Makassar, Prof Zainal sempat kesulitan dalam mata pelajaran aljabar, ilmu ukur, dan geopolitik. Namun, ia tidak menyerah begitu saja. Dengan tekad belajar yang sungguh-sungguh, masalah itu dapat ia atasi dan berhasil menjadi lulusan terbaik pada 1945.
Karier hukumnya dimulai saat ia berpindah ke Sekolah Menengah Kebangsaan Agama (SMKA), atas saran dari gurunya karena nilai yang tinggi dalam mata pelajaran hukum pidana. Selama bersekolah di SMKA, prestasinya begitu mengagumkan sampai ia tamat pada 1953.
Setelah selesai, ia langsung diangkat menjadi pegawai di Kejaksaan Negeri Makassar dengan pangkat jaksa muda. Namun, ia tidak cepat puas dengan apa yang telah dicapai, dan semangatnya untuk belajar tetap tinggi. Pada 1954, ia menjalani pendidikan di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Indonesia cabang Makassar, sebutan Unhas kala itu.
Di tengah kesibukannya sebagai jaksa, Prof Zainal dapat lulus sebagai sarjana muda setara diploma, dengan predikat cumlaude pada 1956. Setelah itu, ia pun ditunjuk langsung menjadi Kepala Bagian Umum Pengawas Kejaksaan. Di tahun yang sama, ia ditugaskan untuk belajar oleh Kementerian Kehakiman, agar fokus meraih gelar sarjana hukum. Hingga pada 1958, ia diangkat menjadi dosen tetap dalam mata kuliah Ilmu Hukum Pidana FH Unhas.
Selama menjabat sebagai dosen, ia dikenal sebagai pribadi tegas namun tetap ramah. Ia tidak pernah marah atau bersikap keras kepada mahasiswanya, dan lebih suka mengajar melalui keteladanan. Ia juga banyak menyumbangkan ilmunya pada berbagai sekolah di Makassar, dan menjadi guru honorer di Sekolah Menengah Atas (SMA) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), SMA Islam, SMA Peralihan, Sekolah Panitera Pengadilan Negeri (SPPN), hingga kursus agraria.
Selain kecintaannya kepada hukum, Prof Zainal juga menaruh perhatian pada sejarah Sulsel. Menurut keterangan sang anak, Herawati Abidin Geerhan, ia melanjutkan studi doktoral pada jurusan Sejarah Antropologi UI.
Pria yang akrab disapa Puang Baso ini sempat mengemban amanah sebagai anggota MPR utusan daerah, karena berperan penting terhadap perkembangan sejarah dan kebudayaan Sulsel. Ia memiliki perhatian besar pada pelurusan sejarah Bugis-Makassar, terlihat dari upayanya untuk mengoreksi setiap cerita maupun berita yang tidak akurat.
Salah satu kontribusi historis yang paling signifikan adalah usulannya untuk mengganti nama kota dari Ujung Pandang kembali menjadi Makassar. Prof Zainal merupakan salah satu penggagas utama di balik perubahan nama ini.
“Pada saat itu, ayah saya diminta dan didukung oleh Kodam Hasanuddin, serta pihak Pemerintah Kota dan Provinsi setempat untuk menggagas nama Makassar. Dia bersama dengan Prof Mattulada, yang selalu bersemangat dalam meluruskan narasi sejarah,” ungkapnya, Senin (06/10).
Dalam kesehariannya, Prof Zainal dikenal sebagai pribadi yang cenderung pendiam. Ia lebih suka menulis dan membaca. Namun, ia memiliki ketertarikan yang lebih jika sedang membahas hukum, sejarah, ataupun silsilah keluarga.
Hal ini dikarenakan dirinya merupakan keturunan bangsawan, yakni La Maddukelleng. Bahkan saat La Maddukelleng diangkat sebagai Pahlawan Nasional, Prof Zainal yang mewakili keluarganya untuk menerima penghargaan tersebut. Tak hanya itu, ia bersahabat dengan mantan jaksa agung, Baharuddin Lopa, yang juga menjadi promotor doktoralnya.
“Dia telah menulis banyak buku mengenai hukum pidana, sejarah, dan kebudayaan Sulawesi Selatan. Koleksi-koleksi karyanya itu banyak diwakafkan kepada FH Unhas dan lembaga arsip Kabupaten Wajo,” lanjutnya.
Prof Dr Andi Zainal Abidin Farid wafat pada 2007. Bahkan menjelang akhir hayatnya, ia masih sempat menguji mahasiswa S2. Dedikasinya dalam keilmuan tentu patut diteladani. Harapannya, nilai-nilai yang diwariskan senantiasa menginspirasi, dan namanya akan diingat dalam lintasan hukum dan sejarah Bugis-Makassar.
Fahry Muhammad
