Jiwanya terpatri di bidang sastra, namun takdir membawanya ke dunia sains. Semangatnya dalam menjelajahi berbagai disiplin ilmu telah menginspirasi kita untuk semangat belajar, membuktikan bahwa batasan hanya berlaku bagi mereka yang berhenti mencari.
Dia adalah Prof Dr Ir M. Arifin Sallatang MA, Doktorandus Sastra yang mengabdikan diri di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas). Lantas, bagaimana bisa?
Jauh sebelum itu, Arifin merupakan salah satu orang beruntung yang dapat merasakan manisnya pendidikan di tengah penjajahan Belanda. Sebab pada masa itu, hanya orang-orang tertentu yang diizinkan bersekolah.
Meski begitu, hidup Arifin juga tidak lepas dari pergolakan sejarah pada masa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) antara 1948-1949 hingga membuatnya terpaksa meninggalkan Luwu dan mengungsi ke Bone. Di pengungsian itulah, benih kecintaan Arifin pada pendidikan mulai tumbuh. Dirinya sempat menjadi guru di Bone pada 1956–1957, sebelum hijrah ke Makassar dan kuliah di Unhas mulai 1958.
Di Unhas, Arifin mengambil kuliah di Fakultas Ekonomi, Hukum, dan Sastra Timur. Dari ketiga fakultas itu, ia berhasil menamatkan pendidikan di Fakultas Sastra Timur. Sembari kuliah, Arifin juga bekerja sebagai pegawai di Unhas dan pernah menduduki jabatan Kepala Kepegawaian. Keahliannya di bidang sastra lalu membuat Arifin diangkat sebagai dosen Fakultas Sastra Timur setelah melepas status mahasiswa.
Namun seiring waktu, siapa sangka pria kelahiran Bulukumba ini malah meneruskan karirnya di Fakultas Pertanian. Berawal pada 1964 saat Arifin diajak oleh Fachruddin, salah satu pendiri Fakultas Pertanian untuk membenahi administrasi yang baru dibentuk sekaligus menjadi dosen di fakultas tersebut. Berkat kemampuan dan jiwa amanahnya, Arifin bahkan dipercaya sebagai Dekan Fakultas Pertanian pada 1986-1989.
“Beliau itu dari Sastra Timur sama dengan Prof Mattulada, lalu pindah ke Fakultas Pertanian dan jadi dekan. Padahal dulu kan jelas, Fakultas Pertanian itu lulusan eksakta yang harus dibimbing oleh seorang insinyur, sedangkan papi pada saat itu bukan insinyur,” tutur Ansar, anak ketiga Arifin, Senin (20/05).
Dikutip dari tribunnews.com, Arifin selama mengajar di Fakultas Pertanian telah melahirkan pemimpin-pemimpin hebat Sulawesi Selatan (Sulsel) hingga Indonesia, mulai dari Almarhum Rektor Unhas Prof Dr Radi A Gani (1997-2006), Menteri Pertanian RI (2004-2009) Dr Andi Amran Sulaiman, Gubernur Sulsel Prof Dr Ir Nurdin Abdullah MSi, Wagub Sulsel (2009-2019) Ir Agus Arifin Nu’mang Msi, dan Wali Kota Makassar Ir Ilham Arief Siradjuddin (2004-2014).
Sebagai akademisi yang punya latar belakang ilmu budaya dan sastra, Arifin dikenal aktif meneliti dan menghasilkan karya ilmiah di bidang sosio-kultural pertanian. Salah satu penelitiannya yang banyak dijadikan rujukan para akademisi berjudul “Punggawa Sawi Suatu Studi Sosiologi Kelompok Kecil” merupakan disertasi doktoralnya pada 1982.
Di lingkungan keluarga, Arifin adalah pribadi yang lebih mengutamakan pendidikan daripada harta warisan untuk anak-anak. Dirinya berkomitmen tidak akan mewariskan harta ke anak-anaknya demi mencegah perselisihan antar saudara yang biasa terjadi sekarang.
“Dia sampaikan ke anak-anaknya, hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan hidupmu. Jangan pernah kalian berharap saya akan wariskan harta, berupa tanah dan sejenisnya saat saya meninggal,” ungkap Ansar mengenai pesan ayahnya.
Kepribadian Arifin yang tegas, prinsipil, serta menghargai integritas keluarga patut diteladani. Ia mengajarkan nilai-nilai luhur kepada anak-anak melalui kegiatan sederhana sehari-hari, salah satunya saat makan. Caranya cukup unik, ia memberikan piring dengan warna berbeda pada setiap anaknya sebagai penanda identitas masing-masing.
Filosofi di balik metode piring berwarna ini mengajarkan anak-anak Arifin agar tidak mengambil hak milik orang lain. Jika salah satu dari mereka mengambil piring berwarna lain saat makan, maka Arifin akan menegur agar tidak mengulanginya. Tidak hanya itu, Arifin juga mendidik anak-anaknya agar tidak berlebihan dan serakah dalam mengambil makanan.
“Kalau saya ambil makanan agak banyak itu saya ditegur. Jangan kau ambil berlebihan, kalau sudah habis baru ambil lagi. Kalau kau ambil banyak lalu kau sisa, siapa yang mau makan sisamu,” ungkap Ansar mengutip wejangan sang ayah yang begitu bermakna.
Sayangnya, pengabdian Arifin akhirnya harus terhenti pada 18 April 2020 akibat diabetes mellitus yang diderita. Kini, Institut Teknologi dan Sains Prof Dr HM Arifin Sallatang hadir untuk menghargai jasa mendiang Arifin sekaligus meneruskan cita-citanya mencerdaskan bangsa.
Khaila Thahirah