Unhas berhasil mencapai 730 publikasi terindeks Scopus dari semua bidang ilmu. Publikasi terbanyak didominasi lima fakultas yang berasal dari eksakta. Sayangnya, tak satu pun perwakilan dari ilmu sosial.
Berdasarkan data yang dihimpun identitas, publikasi Unhas yang terindeks Scopus meningkat dari tahun sebelumnya (2017) dari 401 menjadi 730. Tentunya ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi Unhas, khususnya fakultas atau peneliti yang turut berkontribusi.
Merunut dari banyaknya publikasi, ternyata Fakultas Teknik (FT) menempati peringkat pertama. Menyusul Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Kedokteran (FK), dan Fakultas Pertanian (Faperta).
Kenyataan ini, menunjukkan data Scopus dari Publication Management Center (PMC) Unhas publikasi fakultas bidang ilmu sosial masih rendah dibandingkan fakultas bidang eksakta, seperti tercermin dari lima fakultas yang telah disebutkan.
Sekadar diketahui, ada empat fakultas membina program studi sosial di Unhas. Di antaranya Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Fakultas Hukum (FH), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Dari sejumlah paper yang dipublikasi, FEB terbanyak terindeks Scopus mencapai 23 paper, sementara yang lainnya masih jauh dari harapan karena hanya mampu sampai tujuh.
Menanggapi data ini, Penasihat Asosiasi Pengelola Jurnal Hukum Indonesia (APJHI), Prof Dr Irwansyah SH MH bilang, alasan kurangnya publikasi terindeks Scopus bidang ilmu sosial dengan eksakta karena persoalan novelty. “Penelitian itu harus ada novelty-nya. Kalau mereka (fakultas eksakta), yah eksperimental, sedangkan penelitian soal hukum, yah deskprisi. Sehingga, kita dianggap tidak ada temuan baru,” ungkapnya.
Terkait kolaborasi disiplin ilmu, Irwansyah menyebutkan ada beberapa hal yang bisa dilakukan. “Sebenarnya bergantung dari tema dan skop penelitian. Skop itu butuh hal-hal yang baru saja. Walau skopnya lebih kecil tapi ada hal baru yang dimunculkan. Kasus malaria misalnya, itu bisa dikolaborasi dari berbagai disiplin ilmu. Dari FKM bisa melihat dari sisi sanitasi lingkungan, kedokteran tentang penyakit yang ditimbulkan, sementara dari sosial terhadap budaya bersih masyarakat yang endemik malaria itu,” bebernya.
Irwansyah juga menyinggung soal dana yang kadang menjadi kendala bagi peneliti. “Kita jangan terpaku pada pihak universitas, meski ada dana yang disediakan. Kita bisa menjalin dengan pihak ketiga untuk pendanaan tersebut. Contohnya tadi soal malaria di Papua yang menjadi momok. Kita bisa bekerjasama dengan pihak perusahaan yang karyawaannya terserang malaria,” imbunya.
Pandangan serupa terkait minimnya publikasi ilmu sosial terindeks Scopus, diakui peneliti senior dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas, Prof Dr Abdul Hakim Yassi Dipl TESI MA. Menurutnya, penelitian ilmu sosial itu berada di level mendeskripsikan atau mengidentifikasi. “Scopus memang mengharuskan demikian. Dari scopus itu, mestinya kontribusi practical maupun teoritical ada sesuatu metology yang ada keterbaruan teroinya. Persoalannya, itu tadi, terdapat gap yang selalu ingin dia munculkan. Gap yang selalu dia (Scopus) kejar,” bebernya.
Menyinggung susah ilmu sosial menembus Scopus, Hakim Yassi menilai, tergantung pada masing-masing individu. “Yah, memang diakui, sedikitnya peneliti tembus Scopus, dijadikan rata-rata yang menyebabkan ilmu sosial rendah Scopus,” katanya.
Meski begitu, Hakim Yassi mengakui, ini hanya persoalan waktu saja. “Dulu kita tidak terlalu perhatikan. Belakangan, ternyata dari menteri dipaksa seperti itu oleh pemerintah. Memaksa para rektor untuk mengangkat indikator ke dunia. Kini, Indonesia sudah masuk sedikit lebih tinggi dibandingkan negara lainnya di Asia Tenggara,” terangnya.
Menyangkut dana yang dibutuhkan untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah, Hakim Yassi menyatakan bukan masalah. “Bahkan Unhas siap memberikan dananya. Hanya saja, untuk Quartil 1 ini, agak mahal karena bisa mencapai Rp17 juta. Sementara kalau di Unhas, paling banter kita bisa dapatkan hingga Rp20 juta,” ujarnya.
Sementara itu, salah seorang dosen yang produktif menerbitkan hasil penelitiannya, Anwar Mallongi SKM MSc PhD, memberi saran untuk kolaborasi dalam memublikasikan hasil penelitian ilmiah. “Persoalan yang sering dialami adalah karena bahasa yang digunakan. Kadang hasil penelitian kita sudah bagus, tapi penyajiannya dalam bentuk tulis kadang kurang. Nah, kadang editor itu belum melihat hasil penelitian tetapi penyajiannya bahasanya tidak menarik, langsung mengabaikan. Akibatnya, penelitian yang maksimal tadi, gagal terpublikasi,” terangnya.
Soal reward yang didapatkan dari peneliltian yang telah dipublikasikan itu, Anwar menyebutnya bervariasi, bergantuing dari tingkatan quartilnya. Misalnya, Q1: Rp25 juta, Q2: Rp20 juta, Q3: Rp15 juta, dan Q4: Rp10 juta. “Hanya saja, karena ini kerja kolektif, maka ditetapkan penulis utama mendapatkan 60% dari total dana yang diterima. Dan itu, baru bisa diterima setelah menunggu antara tiga sampai lima bulan baru dicairkan,” ungkapnya.
Disinggung mengenai Unhas bisa menyediakan dosen yang fokus penelitian saja, Anwar menyebut ada. “Saat ini, sudah ada empat dosen yang telah terdafar di Unhas untuk fokos penelitian,” katanya, meski belum bisa menyebut siapa-siapa nama keempat dosen tersebut dengan alasan takut salah sebut. Dia hanya menyebut kalau dirinya saat ini, mendapatkan kesempatan untuk mengikuti konfrensi Internasional di Finlandia, guna bertemu dan bertukar pengalaman dengan sejumlah peneliti dunia lainnya.
Unhas berhasil mencapai 730 publikasi terindeks Scopus dari semua bidang ilmu. Publikasi terbanyak didominasi lima fakultas yang berasal dari eksakta. Sayangnya, tak satu pun perwakilan dari ilmu sosial.
Berdasarkan data yang dihimpun identitas, publikasi Unhas yang terindeks Scopus meningkat dari tahun sebelumnya (2017) dari 401 menjadi 730. Tentunya ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi Unhas, khususnya fakultas atau peneliti yang turut berkontribusi.
Merunut dari banyaknya publikasi, ternyata Fakultas Teknik (FT) menempati peringkat pertama. Menyusul Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Kedokteran (FK), dan Fakultas Pertanian (Faperta).
Kenyataan ini, menunjukkan data Scopus dari Publication Management Center (PMC) Unhas publikasi fakultas bidang ilmu sosial masih rendah dibandingkan fakultas bidang eksakta, seperti tercermin dari lima fakultas yang telah disebutkan.
Sekadar diketahui, ada empat fakultas membina program studi sosial di Unhas. Di antaranya Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Fakultas Hukum (FH), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Dari sejumlah paper yang dipublikasi, FEB terbanyak terindeks Scopus mencapai 23 paper, sementara yang lainnya masih jauh dari harapan karena hanya mampu sampai tujuh.
Menanggapi data ini, Penasihat Asosiasi Pengelola Jurnal Hukum Indonesia (APJHI), Prof Dr Irwansyah SH MH bilang, alasan kurangnya publikasi terindeks Scopus bidang ilmu sosial dengan eksakta karena persoalan novelty. “Penelitian itu harus ada novelty-nya. Kalau mereka (fakultas eksakta), yah eksperimental, sedangkan penelitian soal hukum, yah deskprisi. Sehingga, kita dianggap tidak ada temuan baru,” ungkapnya.
Terkait kolaborasi disiplin ilmu, Irwansyah menyebutkan ada beberapa hal yang bisa dilakukan. “Sebenarnya bergantung dari tema dan skop penelitian. Skop itu butuh hal-hal yang baru saja. Walau skopnya lebih kecil tapi ada hal baru yang dimunculkan. Kasus malaria misalnya, itu bisa dikolaborasi dari berbagai disiplin ilmu. Dari FKM bisa melihat dari sisi sanitasi lingkungan, kedokteran tentang penyakit yang ditimbulkan, sementara dari sosial terhadap budaya bersih masyarakat yang endemik malaria itu,” bebernya.
Irwansyah juga menyinggung soal dana yang kadang menjadi kendala bagi peneliti. “Kita jangan terpaku pada pihak universitas, meski ada dana yang disediakan. Kita bisa menjalin dengan pihak ketiga untuk pendanaan tersebut. Contohnya tadi soal malaria di Papua yang menjadi momok. Kita bisa bekerjasama dengan pihak perusahaan yang karyawaannya terserang malaria,” imbunya.
Pandangan serupa terkait minimnya publikasi ilmu sosial terindeks Scopus, diakui peneliti senior dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas, Prof Dr Abdul Hakim Yassi Dipl TESI MA. Menurutnya, penelitian ilmu sosial itu berada di level mendeskripsikan atau mengidentifikasi. “Scopus memang mengharuskan demikian. Dari scopus itu, mestinya kontribusi practical maupun teoritical ada sesuatu metology yang ada keterbaruan teroinya. Persoalannya, itu tadi, terdapat gap yang selalu ingin dia munculkan. Gap yang selalu dia (Scopus) kejar,” bebernya.
Menyinggung susah ilmu sosial menembus Scopus, Hakim Yassi menilai, tergantung pada masing-masing individu. “Yah, memang diakui, sedikitnya peneliti tembus Scopus, dijadikan rata-rata yang menyebabkan ilmu sosial rendah Scopus,” katanya.
Meski begitu, Hakim Yassi mengakui, ini hanya persoalan waktu saja. “Dulu kita tidak terlalu perhatikan. Belakangan, ternyata dari menteri dipaksa seperti itu oleh pemerintah. Memaksa para rektor untuk mengangkat indikator ke dunia. Kini, Indonesia sudah masuk sedikit lebih tinggi dibandingkan negara lainnya di Asia Tenggara,” terangnya.
Menyangkut dana yang dibutuhkan untuk penelitian dan penulisan karya ilmiah, Hakim Yassi menyatakan bukan masalah. “Bahkan Unhas siap memberikan dananya. Hanya saja, untuk Quartil 1 ini, agak mahal karena bisa mencapai Rp17 juta. Sementara kalau di Unhas, paling banter kita bisa dapatkan hingga Rp20 juta,” ujarnya.
Sementara itu, salah seorang dosen yang produktif menerbitkan hasil penelitiannya, Anwar Mallongi SKM MSc PhD, memberi saran untuk kolaborasi dalam memublikasikan hasil penelitian ilmiah. “Persoalan yang sering dialami adalah karena bahasa yang digunakan. Kadang hasil penelitian kita sudah bagus, tapi penyajiannya dalam bentuk tulis kadang kurang. Nah, kadang editor itu belum melihat hasil penelitian tetapi penyajiannya bahasanya tidak menarik, langsung mengabaikan. Akibatnya, penelitian yang maksimal tadi, gagal terpublikasi,” terangnya.
Soal reward yang didapatkan dari peneliltian yang telah dipublikasikan itu, Anwar menyebutnya bervariasi, bergantuing dari tingkatan quartilnya. Misalnya, Q1: Rp25 juta, Q2: Rp20 juta, Q3: Rp15 juta, dan Q4: Rp10 juta. “Hanya saja, karena ini kerja kolektif, maka ditetapkan penulis utama mendapatkan 60% dari total dana yang diterima. Dan itu, baru bisa diterima setelah menunggu antara tiga sampai lima bulan baru dicairkan,” ungkapnya.
Disinggung mengenai Unhas bisa menyediakan dosen yang fokus penelitian saja, Anwar menyebut ada. “Saat ini, sudah ada empat dosen yang telah terdafar di Unhas untuk fokos penelitian,” katanya, meski belum bisa menyebut siapa-siapa nama keempat dosen tersebut dengan alasan takut salah sebut. Dia hanya menyebut kalau dirinya saat ini, mendapatkan kesempatan untuk mengikuti konfrensi Internasional di Finlandia, guna bertemu dan bertukar pengalaman dengan sejumlah peneliti dunia lainnya.
Tim Laput