Asap tipis mengepul dari mangkuk. Kuah pekat berwarna cokelat tua. Aroma bawang goreng dan jeruk nipis menyeruak. Di sampingnya, ketupat kecil tersusun rapi. Itulah coto Makassar. Bagi orang awam, ia hanyalah makanan. Namun di Sulawesi Selatan, coto adalah bahasa sosial, simbol penghormatan, ikatan budaya, dan dalam dunia politik menjadi sebuah isyarat kuasa.
Tahun 2023 di Negeri Kincir Angin, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Makassar, Indira Yusuf Ismail membawa hidangan yang sering juga disebut “coto Mangkasara” itu ke Festival Tong Tong Den Haag. Ia memperkenalkan hidangan berkuah pekat itu bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia sebagai bagian dari promosi budaya Indonesia. Festival itu dikenal sebagai salah satu ajang budaya Asia terbesar di Eropa. Dengan tampilnya coto Makassar di bentala internasional itu, kuliner tradisional ini tidak lagi hanya hadir di meja, tetapi juga menjadi bagian dari diplomasi kuliner Indonesia di panggung global.
Penelitian dari Gastronomica Journal menyebut, makanan bisa menjadi bentuk soft power. Ia bekerja dengan halus, melintasi batas negara tanpa bahasa formal tentang diplomasi. Coto Makassar dalam festival itu bukan hanya kuah kental dan daging juga jeroan sapi yang direbus. Ia adalah pesan budaya dan identitas yang menyeberang benua.
Dalam studi hubungan internasional, praktik ini sering disebut gastrodiplomacy atau culinary diplomacy. Negara dan aktor lokal menggunakan makanan untuk membangun citra, mengikat relasi, dan memikat publik asing.
Cerita lain datang dari panggung politik nasional. Saat Anies Baswedan bertandang ke rumah Jusuf Kalla (JK) di Makassar, JK menyajikan menu makanan yang telah ada sejak zaman Kerajaan Gowa itu sebagai menu utama. Bukan sembarang jamuan, hidangan itu menyiratkan keakraban sekaligus pengakuan. JK, tokoh Sulawesi Selatan yang disegani, memilih coto sebagai medium pertemuan. Di balik semangkuk kuah hangat itu, ada pesan tentang kebersamaan, tentang legitimasi politik, tentang jembatan antara Jakarta dan Makassar. Sajian itu bisa dibaca sebagai bentuk penghormatan. Sekaligus, strategi halus untuk menunjukkan keakraban politik.
Bagi pengamat politik, peristiwa itu menarik. Sebab sering kali, isyarat kecil jauh lebih berbicara dibanding pidato panjang. Satu mangkuk coto beralaskan piringan kecil bisa berarti sebuah jembatan komunikasi.
Di Sulawesi Selatan sendiri, coto Makassar hadir di hampir setiap kunjungan pejabat. Bupati Luwu Utara, Indah Dwi Putri misalnya. Dalam banyak lawatan, ia selalu disambut dengan hidangan ini. Pada dasarnya, coto Makassar menjadi hidangan istimewa yang disajikan dalam acara-acara penting atau untuk menjamu tamu kehormatan. Seakan ia tidak berhenti di dapur-dapur rumah, namun sampai ke ruang ruang politik lokal.
Mengapa coto Makassar selalu hadir di meja-meja politik? Karena di meja makan itulah keakraban lahir. Orang-orang menunjukkan penghormatan dengan menyajikan makanan sebagai identitas mereka. Bagi pejabat, kehangatan itu adalah modal politik.
Pierre Bourdieu menyebut praktik seperti ini sebagai habitus. Sesuatu yang diulang, diwariskan, lalu menjadi bagian alami dalam budaya politik. Coto Makassar adalah bagian dari habitus itu. Sup daging yang dimasak dalam waktu yang lama itu menjelma medium simbolik yang menyatukan rakyat dan elite.
Sebuah artikel yang berjudul “Gastrodiplomacy: Assessing the role of food in decision-making” yang ditulis oleh Charles Spence dari Oxford University melihat bagaimana makanan dapat memengaruhi pengambilan keputusan. Dari hal itu, makanan tradisional sering dipakai untuk membangun legitimasi politik. Dengan menyantap atau menyajikan makanan khas, seorang politisi seolah berkata seperti ini.
“Saya bagian dari kalian. Saya paham budaya kalian.”
Coto Makassar, dengan kuah pekatnya, menjadi dialek politik khas Sulawesi Selatan. Ia lebih halus dari kampanye terbuka. Tapi efeknya bisa lebih mendalam. Dari satu sendok kuah, lahir kedekatan emosional yang sulit.
Namun, apakah coto Makassar hanya dijadikan alat politik? Apakah ia dimanfaatkan sekadar untuk pencitraan? Pertanyaan ini wajar. Sebab dalam realitas kehidupan kita saat ini, politik simbolik kadang berhenti di meja makan, tanpa menyentuh persoalan rakyat sehari-hari.
Jejak coto Makassar dalam politik Indonesia tidak bisa kita diabaikan. Ia sudah hadir di panggung budaya hingga ke kancah internasional. Santapan yang cocok disandingkan dengan ketupat itu menjadi bagian dari strategi politik lokal. Ia pun menjadi bahasa halus yang menyatukan antara pejabat dan rakyat, maupuan antara pejabat itu sendiri di Sulawesi Selatan.
Inilah sebuah pelajaran dari semangkuk coto Makassar. Kekuasaan tidak selalu diraih lewat pidato atau strategi keras. Kadang, ia hadir lewat sesuatu yang sederhana. Satu mangkuk kuah kental, asap hangat yang mengepul, dan rasa gurih yang membaurkan jarak.
Di balik setiap sendok coto Makassar yang disajikan, selalu ada cerita. Tentang diplomasi. Tentang kedekatan. Tentang bagaimana rasa bisa berubah menjadi kuasa.
Andika Wijaya
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Angkatan 2023
Sekaligus Reporter PK identitas Unhas 2025
