“Nasib telah memilih kita menjadi manusia-manusia celaka yang bertanggung jawab membongkar skandal-skandal itu.”
Sejarah panjang penjajahan kolonialisme bangsa Belanda sudah dikenalkan pada berbagai tingkat di institusi pendidikan. Fakta sejarah ini kebanyakan diajarkan melalui buku-buku dengan sudut pandang pertama para pribumi nusantara.
Rasina, novel terbaru Iksaka Banu mencoba menunjukkan realitas sosial zaman Hindia Belanda di Kota Batavia dan Kepulauan Banda. Bercerita tentang intrik penyelundupan budak dan opium (getah buah yang memabukkan) yang dilakukan oleh pedagang Belanda, serta sejarah kelam Kepulauan Banda hingga dikuasai Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau perusahaan dagang Hindia Belanda Timur.
Novel ini menggunakan dua latar waktu dan tempat yang berbeda, kehidupan di Batavia pada 1755 dan era pendudukan VOC di Kepulauan Banda pada 1621. Terpaut waktu seratus tahun lebih antara keduanya, tetapi memiliki hubungan yang sangat erat antara masa lalu hingga dapat membentuk masa kini.
Tidak seperti kebanyakan novel atau buku di Indonesia yang membahas kolonialisme dari sudut pandang pribumi, Iksaka Banu memberikan sudut pandang cerita dari Landdrost (petugas penegak hukum) dan seorang juru tulis VOC di Kepulauan Banda. Keduanya berkulit putih dan berasal dari tanah Belanda.
Plot pertama berlatar di Batavia, membawa kita bertemu dengan Baljuw (kepala penegak hukum) bernama Jan Aldemaar Staalhart dan dua orang bawahannya Landdrost bernama Joost Bortsveld dan Izaak Griezelig. Ketiganya selalu ditemani pasukan Kaffer (budak kulit hitam) yang berasal dari kawasan Afrika dan telah dimerdekakan sebagai petugas keamanan. Joost adalah karakter yang akan kita ikuti sepanjang novel ini.
Para petugas penegak hukum ini melakukan penyelidikan penyelundupan opium dan penyiksaan budak yang dilakukan orang-orang kelas atas di Batavia. Hal ini kemudian mempertemukan mereka dengan Rasina, seorang budak bisu keturunan bangsawan Banda. Ia menjadi kunci dalam membongkar persekongkolan yang dilakukan para elit VOC dan saudagar-saudagar kaya di Batavia.
Kala itu, Kota Batavia diberlakukan pemisahan wilayah antara orang Belanda dan penduduk lainnya. Identitas kelompok mengakar sangat kuat terutama bagi orang-orang Belanda yang tinggal di dalam benteng. Lain juga dengan para keturunan Cina, mereka menjadi saudagar yang menjalankan proses ekonomi dan berperan dalam distribusi kebutuhan masyarakat umum. Sedangkan, para pribumi tersingkir ke pinggiran kota untuk mencari makan sebagai tenaga kerja. Bagi yang tidak mampu menghidupi diri berakhir sebagai budak, dipekerjakan, dan dipelihara para tuan Belanda maupun Cina.
Alur cerita kemudian ditarik ke seratus tahun sebelumnya di Kepulauan Banda. Lewat catatan harian Kakek sang Baljuw bernama Hendriek Cornelis Adam, penaklukan Kepulauan Banda yang kaya akan rempah pala oleh VOC mulai bergulir.
Perdagangan pala dengan banyak pihak menghasilkan kesejahteraan bagi penduduk Kepulauan Banda, tetapi juga mengundang banyak kepentingan lain. Hal ini pula yang menjadi salah satu alasan Gubernur Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen berlayar untuk merebut Kepulauan Banda pada 1621 silam.
Hendriek Cornelis Adam sebagai juru tulis Letnan tentara VOC terlibat secara langsung dalam proses penaklukan Kepulauan Banda. Ia menulis dan mencatat setiap bagian ekspedisi militer berdarah tersebut, mulai dari persiapan para tentara di Ternate hingga ditangkap dan dibantainya penduduk Kepulauan Banda.
Walaupun dalam bentuk fiksi, novel ini berhasil menangkap dan menjelaskan intrik dari fakta sejarah. Iksaka Banu menggunakan penceritaan sejarah alternatif, seperti latar waktu dan tempat, peristiwa, dan tokoh-tokoh penting didasarkan pada fakta sejarah. Ia juga menambahkan tokoh fiksi yang dapat menjelaskan kejadian-kejadian masa itu dengan lebih menarik. Hal ini memungkinkan kita memberikan sudut pandang berbeda atas sejarah bangsa besar ini.
Selain itu, penggambaran realitas sosial yang dialami oleh masyarakat pada zaman tersebut dideskripsikan dengan nyata dan hidup. Mulai dari kehidupan para orang Belanda di rumah-rumah besar dengan puluhan budaknya, saudagar Cina yang menjual barang-barang sehari-hari, hingga para pribumi yang mencari sesuap nasi dengan pekerjaan kasar.
Uniknya, Iksaka Banu menyediakan peta abad ke-18 yang dapat diakses melalui Kode QR agar para pembaca dapat dengan mudah mengikuti petualangan Joost Borstvel dan teman-temannya.
Novel ini dapat menjadi pesan untuk kita semua, bahwa pertentangan antara kebaikan dan kejahatan dirasakan setiap manusia. Mereka yang memilih untuk mendengarkan nurani harus siap menempuh jalan panjang dan berliku untuk memperjuangkan nilai tersebut.
M. Ridwan
Data Buku
Judul: Rasina
Penulis: Iksaka Banu
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : Cetakan I, 2023
Tebal Buku : 587 halaman
ISBN : 978-602-481-986-6