Pertanyaan tentang kapan ia dikaruniai seorang anak terlontar dari ibu dan kedua saudaranya saat makan malam. Basri hanya bisa terdiam dan sedikit mengelak, sedangkan istrinya, Salma menepi bersama anak-anak iparnya yang sedang bermain tak jauh dari meja makan. Terdengar seperti hinaan, kedua saudaranya mencurigai Basri mengalami kemandulan.
Basri and Salma in a Never-Ending Comedy menceritakan tentang sepasang suami istri, Basri (Arham Rizky Saputra) dan Salma (Rezky Chiki). Mereka menghabiskan hari-harinya bekerja sebagai tukang odong-odong dengan menghibur dan mengasuh anak orang lain tanpa memiliki anak mereka sendiri.
Dengan dialek dan budaya lokal Makassar yang khas, film yang diproduksi Hore Pictures dan XRM Media itu menampilkan budaya patriarki yang masih kental di Indonesia. Hal tersebut terlihat saat perseteruan yang terjadi di ruang makan setelah istri Firman (Saudara Basri) menolak permintaan suaminya untuk membangunkan anak bungsunya yang sedang tertidur. Selain itu, budaya kumpul keluarga dengan nuansa seksis juga ditonjolkan.
Hal tersebut sama dengan pernyataan Rezky Chiki saat pemutaran film di Jakarta Film Week 2023. “Misalnya ada acara religius sebagai wadah kumpul keluarga, tapi malah obrolan di dalamnya justru seksis dan cenderung menyudutkan perempuan serta peran perempuan dalam rumah tangga,” ungkapnya dikutip dari website resmi Jakarta Film Week.
Memang jika dilihat data Badan Pusat Statistik (BPS), skor Indeks Kesetaraan Gender (IKG) di Indonesia masih sangat timpang, sebesar 0,447 poin. Ini menempatkan Indonesia di urutan 87 dari 146 negara.
Kehendak perempuan yang seringkali dinomorduakan menjadi pemandangan yang buruk jika diutamakan, seperti kebebasan perempuan dalam mempertahankan otoritas tubuhnya sendiri. Selain itu, ungkapan bernada religius ”banyak anak, banyak rezeki” acap kali diucapkan oleh Ibu Basri. Walaupun singkat, slogan itu menjadi standar baku bahwa sebuah pasangan harus menjadi orang tua.
Kemunculan film ini seakan merespons isu yang sempat hangat dibincangkan, yaitu child-free. Isu yang dipopulerkan oleh seorang konten kreator asal Indonesia yang saat ini tinggal di Jerman. Pernyataannya yang menyebut jika ia dan suaminya tak ingin punya anak, sempat memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Sebenarnya keputusan tak memiliki anak itu sudah biasa dilakukan oleh beberapa keluarga di luar negeri, seperti Perancis dan Amerika Serikat. Namun dengan budaya yang masih kuat, keputusan seperti itu masih tabu di negara-negara Asia seperti Indonesia.
Karya garapan sineas asal makassar, Khozy Rizal, ini merupakan satu-satunya perwakilan Asia dalam Festival Film Cannes Ke-76 di Perancis. Terpilih dari 4.200 film yang berkompetisi, film ini menjadi salah satu dari 11 film pendek di seksi Short Films yang memperebutkan Palme d’Or di Festival Film Cannes.
Berkat kekuatan skripnya, sutradara Makassar Is a City for Football Fans dan Ride to Nowhere ini juga mendapat pendanaan untuk Basri and Salma in a Never-Ending Comedy dari Singapore International Film Festival.
Tak hanya baik di sisi plot cerita, film tersebut juga menampilkan sinematografi yang apik dengan warna yang begitu mencolok di setiap adegannya. Kelap-kelip lampu gerobak dan pilihan warna baju para pameran mengingatkan penulis pada pilihan warna di film besutan Korea Selatan, Squid Game.
Berdurasi sekitar 15 menit, film ini resmi tayang di platform bioskoponline.com. Sayangnya, film tersebut dilabeli 17+ karena dibumbui dengan obrolan dengan adegan yang seksis dan kasar. Khozy bahkan tak sungkan menampilkan gestur vulgar dalam setiap klipnya. Ditambah, topik yang disajikan juga akan sangat sulit dicerna bagi mereka dibawah umur.
Dengan alurnya yang cepat, penonton tak perlu khawatir akan kehilangan pesan pada filmnya. Penonton justru akan tergugah dengan pesan yang diangkat dalam film tersebut. Film ini berhasil menyajikan komedi yang dipenuhi satir dan ironi yang tentunya sangat relate akan realitas perkawinan di Indonesia.
Selamat menonton teman-teman.
Achmad Ghiffary M