Fakultas Hukum (FH) Universitas Hasanuddin (Unhas) sering kali menarik perhatian publik. FH Unhas tidak hanya menyandang status sebagai fakultas elit, tetapi juga menonjolkan mahasiswanya yang cerdas dan kritis dalam berpikir.
Meski demikian, FH juga kerap kali menjadi saksi nyata mahasiswa yang tak luput dari kesalahan dan konflik. Arsip identitas Unhas mencatat serangkaian kegaduhan yang terjadi di FH mulai dari tahun 2002 hingga 2010.
Pada 2002, identitas mencatat, FH nyaris terbakar akibat ulah oknum tak bertanggung jawab. Api sempat melalap ruang bendahara, menghanguskan meja dan beberapa dokumen.
“Kasus ini sudah kami serahkan ke pihak berwajib, meski pelakunya belum terungkap,” ujar Pembantu Dekan II FH pada masanya, Muzakkir SH MH. Peristiwa itu membuat perasaan mahasiswa was was, karena kampus yang harusnya menjadi ruang aman justru sebaliknya.
Tak berhenti di situ, edisi Identitas akhir Oktober 2002 mencatat sekretariat Majelis Perwakilan Mahasiswa (Maperwa) juga menjadi korban. Sekelompok mahasiswa membuat api unggun kecil yang tiba-tiba membesar hingga membakar dinding tripleks.
Tak lama kemudian, mahasiswa dan petugas pemadam berhasil memadamkan api, sementara polisi menyita sejumlah barang di lokasi untuk kepentingan penyelidikan. Peristiwa ini kembali menambah keresahan warga FH.
Selain kebakaran, berbagai kericuhan juga kerap menimpa mahasiswa FH. Arsip Identitas edisi akhir Mei 2005 mencatat penikaman terhadap dua mahasiswa FH, Bayu dan Enjang, akibat adu mulut yang berujung tawuran di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP).
Aparat kepolisian sempat mengejar pelaku, sementara saksi menilai adanya pengaruh minuman keras ikut memicu perkelahian tersebut. Peristiwa itu membuat mahasiswa FH sadar bahwa gesekan kecil di antara fakultas bisa berujung tragedi.
Seolah belum cukup, dalam arsip identitas edisi awal Mei 2008, tercatat bahwa pemilu raya mahasiswa FH juga berakhir ricuh. Saat hasil sementara menunjukkan dominasi salah satu calon, pendukung calon lain merasa tidak puas.
Ketegangan meningkat hingga KPU Hukum bersama Satpam Unhas mengamankan kotak suara. Bentrokan pun tak terelakkan, sehingga panitia menunda penghitungan suara dan menjadwalkannya ulang setelah situasi benar-benar kondusif.. Insiden ini menunjukkan bahwa dinamika demokrasi mahasiswa tidak selalu berjalan mulus, bahkan di fakultas yang identik dengan hukum sekalipun.
Setahun berselang, terbitan identitas Juni 2009 kembali mencatat kasus pemukulan terhadap mahasiswa FH bernama Irfano akibat konflik kecil saat ujian. Beberapa mahasiswa membalas teguran ringan dengan kata-kata yang memicu kemarahan hingga akhirnya menganiaya Irfano, menyebabkan matanya lebam dan perutnya terasa perih.
Kasus ini berlanjut ke Polwiltabes Makassar, melibatkan proses perdamaian serta sidang Komdis FH, dengan kewajiban bagi para pelaku untuk melapor rutin setiap Senin dan Kamis. Meski telah ada kesepakatan damai, insiden ini menjadi bukti bahwa emosi yang tak terkendali dapat mencederai nama baik mahasiswa hukum.
Masih di tahun yang sama, arsip identitas edisi Akhir Oktober 2009, tercatat rapat angkatan mahasiswa FH angkatan 2008 berakhir ricuh. Pemilihan ketua angkatan yang awalnya berjalan lancar terganggu oleh segerombolan mahasiswa yang menolak hasil rapat.
Emosi memuncak, kursi terlempar ke mana-mana, dan dosen bersama Pembantu Dekan III harus turun tangan untuk melerai. Mahasiswa yang terlibat kemudian dibawa untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Peristiwa ini memperlihatkan bahwa forum internal sekalipun rawan diwarnai konflik ketika ego lebih menonjol daripada musyawarah.
Rangkaian insiden ini menjadi peringatan agar mahasiswa membiasakan diri menegakkan aturan sejak dini. Pembentukan karakter adalah salah satu kunci bagaimana menyikapi segala sesuatu dengan tanggung jawab. Di setiap konflik, meski pahit, tetap menyimpan pelajaran penting tentang disiplin, toleransi, serta kesadaran akan konsekuensi tindakan.
Marcha Nurul Fadila Jalil
